Masyarakat Lokal Terpinggirkan, Kebijakan Ekspor Pasir Laut Dinilai Diskriminatif
Minggu, 04 Agustus 2024 - 17:08 WIB
JAKARTA - Keberadaan PP Nomor 26 Tahun 2023 lebih cenderung memprioritaskan keuntungan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya laut , terutama dalam konteks hasil sedimentasi laut. Hal ini menimbulkan konflik dengan Pasal 56 UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan yang secara eksplisit menekankan pentingnya perlindungan lingkungan laut sebagai prioritas utama.
“Dari itu diskrepansi antara kedua regulasi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, terutama di wilayah pesisir dan laut,” ujar Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC) Marcellus Hakeng Jayawibawa di Jakarta, Sabtu (3/8/2024).
Dalam perspektif hukum lingkungan terjadi ketidaksesuaian antara PP Nomor 26 Tahun 2023 dan UU Kelautan menyoroti persoalan mendasar dalam kerangka regulasi Indonesia. Hal ini dijabarkan pula dengan sangat gamblang oleh Hakeng dalam penelitian terakhir yang dilakukan olehnya, kemudian dituangkan dalam tesis berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Pengelolaan Sumber Daya Laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 Berdasarkan Perlindungan Kelestarian Kelautan” dalam kapasitas sebagai Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
Tesis ini telah diuji, dipertahankan, serta disidangkan, pada 20 Juli 2024, dengan hasil sangat baik di hadapan para penguji yakni Prof Dr St Laksanto Utomo sebagai ketua penguji, Prof Dr Erwin Owan Hermansyah sebagai penguji I, dan Dr Dwi Atmoko sebagai penguji II.
Dalam konteks yuridis normatif, penelitian Hakeng menggunakan pendekatan perundang-undangan dan kasus untuk menyoroti ketidakselarasan antara regulasi dan realitas lapangan. Teknik analisis tersebut sangat membantu dalam mengorganisir dan mengurutkan data, sehingga memberikan gambaran yang jelas tentang konflik regulasi, dampak lingkungan, dan diskriminasi yang terjadi.
Ditemukan dalam penelitian ini bahwa diperlukan revisi dan penegakan hukum yang lebih tegas untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya laut dapat dilakukan secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan dan masyarakat lokal.
Revisi tersebut juga harus didasarkan pada kajian ilmiah dan masukan dari berbagai pihak. “Agar mampu mengakomodir kepentingan yang beragam serta meminimalisir potensi konflik di masa mendatang,” kata Hakeng.
“Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai prioritas pemerintah dalam melindungi lingkungan laut, terutama dalam menghadapi tekanan pembangunan ekonomi yang terus meningkat,” ujarnya Hakeng yang juga Pembina Perhimpunan Mahasiswa Peduli Hukum (PMPH).
“Dari itu diskrepansi antara kedua regulasi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, terutama di wilayah pesisir dan laut,” ujar Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC) Marcellus Hakeng Jayawibawa di Jakarta, Sabtu (3/8/2024).
Dalam perspektif hukum lingkungan terjadi ketidaksesuaian antara PP Nomor 26 Tahun 2023 dan UU Kelautan menyoroti persoalan mendasar dalam kerangka regulasi Indonesia. Hal ini dijabarkan pula dengan sangat gamblang oleh Hakeng dalam penelitian terakhir yang dilakukan olehnya, kemudian dituangkan dalam tesis berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Pengelolaan Sumber Daya Laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 Berdasarkan Perlindungan Kelestarian Kelautan” dalam kapasitas sebagai Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
Tesis ini telah diuji, dipertahankan, serta disidangkan, pada 20 Juli 2024, dengan hasil sangat baik di hadapan para penguji yakni Prof Dr St Laksanto Utomo sebagai ketua penguji, Prof Dr Erwin Owan Hermansyah sebagai penguji I, dan Dr Dwi Atmoko sebagai penguji II.
Dalam konteks yuridis normatif, penelitian Hakeng menggunakan pendekatan perundang-undangan dan kasus untuk menyoroti ketidakselarasan antara regulasi dan realitas lapangan. Teknik analisis tersebut sangat membantu dalam mengorganisir dan mengurutkan data, sehingga memberikan gambaran yang jelas tentang konflik regulasi, dampak lingkungan, dan diskriminasi yang terjadi.
Ditemukan dalam penelitian ini bahwa diperlukan revisi dan penegakan hukum yang lebih tegas untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya laut dapat dilakukan secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan dan masyarakat lokal.
Revisi tersebut juga harus didasarkan pada kajian ilmiah dan masukan dari berbagai pihak. “Agar mampu mengakomodir kepentingan yang beragam serta meminimalisir potensi konflik di masa mendatang,” kata Hakeng.
“Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai prioritas pemerintah dalam melindungi lingkungan laut, terutama dalam menghadapi tekanan pembangunan ekonomi yang terus meningkat,” ujarnya Hakeng yang juga Pembina Perhimpunan Mahasiswa Peduli Hukum (PMPH).
Lihat Juga :
tulis komentar anda