PP Kesehatan Dinilai Perlu Direvisi jika Timbulkan Polemik
Jum'at, 02 Agustus 2024 - 19:17 WIB
JAKARTA - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dinilai perlu direvisi jika menimbulkan polemik di masyarakat. Salah satu hal yang menimbulkan pro dan kontra yakni terkait penggabungan banyak klaster di dalam satu PP.
“Dengan menggabungkan seluruh kluster di dalam satu PP akan menimbulkan kesulitan ke depan jika terdapat substansi yang harus direvisi. Mengingat, peraturan turunan dapat bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, maka revisi atau perbaikan merupakan keniscayaan, karena ini bertujuan untuk mempertahankan supremasi hukum,” ujar Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) dr. Mahesa Pranadipa, Jumat (2/8/2024).
Dia mengatakan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 mencakup sekitar 100 isu yang harus diatur dalam PP. Umumnya, PP turunan dari sebuah UU dibuat berdasarkan klaster isu dan melibatkan berbagai pihak terkait.
Akan tetapi, dalam kasus PP Nomor 28 Tahun 2024, penggabungan berbagai macam bahasan terkait kesehatan hanya diatur dalam satu aturan. Pendekatan ini dinilai bisa menimbulkan kesulitan di masa mendatang jika nantinya diperlukan revisi pada substansi peraturan.
Mahesa juga menyoroti masalah lain yang berpotensi muncul akibat minimnya keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses perumusan aturan kesehatan. Pasalnya, pemangku kepentingan akan menjadi pihak yang paling terdampak dari disahkannya sebuah aturan.
Mahesa memandang bahwa hal ini akan berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat. "Hal lain juga, dengan minimnya keterlibatan stakeholder dalam penyusunan PP, akan berpotensi menimbulkan polemik,” imbuhnya.
Sejumlah pasal dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 mendapat sorotan tajam dari masyarakat, terutama terkait pengetatan aturan yang akan membawa dampak masif bagi masyarakat dan industri. Persoalan lain mengenai susu formula, donor ASI, hingga dokter asing juga turut mendapat respons pro-kontra dari masyarakat.
Menurut dia, masih membutuhkan waktu untuk mengkaji secara menyeluruh isi peraturan baru ini apakah sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau tidak. Kendati demikian, dirinya pun menyoroti munculnya perdebatan di beberapa pasal yang menjadi fokus perhatian banyak pihak.
“Terbukti banyak uji materi terhadap produk regulasi yang diuji di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung. Banyak jurisprudensi regulasi yang direvisi atau dibatalkan. Jika banyak polemik maka perlu perbaikan,” imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa setiap regulasi baik dalam bentuk UU maupun turunannya, tidak ada yang sempurna. Dia menegaskan perlunya perbaikan sebuah aturan jika aturan tersebut justru menjadi permasalahan di masyarakat.
Diketahui, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, pengesahan aturan pelaksana Undang-Undang Kesehatan tersebut menjadi penguat bagi pemerintah untuk membangun kembali sistem kesehatan yang tangguh di seluruh Indonesia. “Kami menyambut baik terbitnya peraturan ini, yang menjadi pijakan kita untuk bersama-sama mereformasi dan membangun sistem kesehatan sampai ke pelosok negeri,” ujar Budi dikutip dari laman resmi Kementerian Kesehatan.
“Dengan menggabungkan seluruh kluster di dalam satu PP akan menimbulkan kesulitan ke depan jika terdapat substansi yang harus direvisi. Mengingat, peraturan turunan dapat bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, maka revisi atau perbaikan merupakan keniscayaan, karena ini bertujuan untuk mempertahankan supremasi hukum,” ujar Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) dr. Mahesa Pranadipa, Jumat (2/8/2024).
Dia mengatakan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 mencakup sekitar 100 isu yang harus diatur dalam PP. Umumnya, PP turunan dari sebuah UU dibuat berdasarkan klaster isu dan melibatkan berbagai pihak terkait.
Akan tetapi, dalam kasus PP Nomor 28 Tahun 2024, penggabungan berbagai macam bahasan terkait kesehatan hanya diatur dalam satu aturan. Pendekatan ini dinilai bisa menimbulkan kesulitan di masa mendatang jika nantinya diperlukan revisi pada substansi peraturan.
Mahesa juga menyoroti masalah lain yang berpotensi muncul akibat minimnya keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses perumusan aturan kesehatan. Pasalnya, pemangku kepentingan akan menjadi pihak yang paling terdampak dari disahkannya sebuah aturan.
Mahesa memandang bahwa hal ini akan berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat. "Hal lain juga, dengan minimnya keterlibatan stakeholder dalam penyusunan PP, akan berpotensi menimbulkan polemik,” imbuhnya.
Sejumlah pasal dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 mendapat sorotan tajam dari masyarakat, terutama terkait pengetatan aturan yang akan membawa dampak masif bagi masyarakat dan industri. Persoalan lain mengenai susu formula, donor ASI, hingga dokter asing juga turut mendapat respons pro-kontra dari masyarakat.
Menurut dia, masih membutuhkan waktu untuk mengkaji secara menyeluruh isi peraturan baru ini apakah sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau tidak. Kendati demikian, dirinya pun menyoroti munculnya perdebatan di beberapa pasal yang menjadi fokus perhatian banyak pihak.
“Terbukti banyak uji materi terhadap produk regulasi yang diuji di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung. Banyak jurisprudensi regulasi yang direvisi atau dibatalkan. Jika banyak polemik maka perlu perbaikan,” imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa setiap regulasi baik dalam bentuk UU maupun turunannya, tidak ada yang sempurna. Dia menegaskan perlunya perbaikan sebuah aturan jika aturan tersebut justru menjadi permasalahan di masyarakat.
Diketahui, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, pengesahan aturan pelaksana Undang-Undang Kesehatan tersebut menjadi penguat bagi pemerintah untuk membangun kembali sistem kesehatan yang tangguh di seluruh Indonesia. “Kami menyambut baik terbitnya peraturan ini, yang menjadi pijakan kita untuk bersama-sama mereformasi dan membangun sistem kesehatan sampai ke pelosok negeri,” ujar Budi dikutip dari laman resmi Kementerian Kesehatan.
(rca)
tulis komentar anda