Ungkap Pembunuhan Demas Laira
Selasa, 25 Agustus 2020 - 06:44 WIB
KABAR kematian Demas Laira, wartawan media online Sulawesion.com di Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, pada Kamis (20/8) dini hari, hingga kini masih menyesakkan dada. Kematian wartawan muda yang diduga meregang nyawa lantaran dibunuh ini masih menyisakan misteri, baik siapa pelaku dan motif di baliknya.
Tak hanya keluarga dan orang-orang terdekat almarhum, publik begitu menunggu hasil kerja keras kepolisian untuk mengungkap tuntas peristiwa yang memprihatinkan ini. Keberhasilan aparat dalam pengungkapan kasus tersebut setidaknya akan menjadi jawaban bahwa negara secara serius membasmi kejahatan di tengah masyarakat, pun dengan korban dari kalangan jurnalis.
Di sisi lain, penangkapan pelaku nantinya juga diharapkan akan menjadi pintu baru membuka persoalan ini sebenarnya. Publik akan mendapat titik terang bahwa, kematian Demas Laira ini apakah dilatarbelakangi persoalan peribadi atau dampak dari kerja-kerja jurnalistiknya. Jangan sampai kematian Demas berakhir dengan hasil pengungkapan semu seperti halnya kasus terbunuhnya Fuad Muhammad Syafrudin (Udin) wartawan Bernas Yogyakarta di Bantul, 1996 silam.
Terlepas dari persoalan pribadi ataupun kerja jurnalistik, kekerasan yang dialami oleh Demas Laira sangatkan memilukan. Dari data di lokasi kejadian terungkap, di tubuh korban terdapat sedikitnya 21 bekas tusukan senjata tajam. Ini menandakan begitu bengisnya pelaku saat menganiaya Demas hingga tak berdaya dan meregang nyawa.
Pendekatan kekerasan ini tidak boleh dibiarkan. Apalagi jika diketahui pemicunya adalah ketidaksukaan pelaku atau aktor intelektual atas karya-karya junalistik yang dibuat korban. Jika ini benar terjadi, tentu hal tersebut menambah panjang catatan buruk perjalanan pers di Indonesia. Kekerasan demi kekerasan terus saja terjadi. Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik sebagai payung hukum insan pers nyatanya belum mampu sepenuhnya memberikan pengayoman dan perlindungan.
Khalayak yang merasa keberatan dengan produk pers justru masih mengedepankan aspek kekerasan, bukan klarifikasi atau pendekatan dialogis. Fakta inilah yang ke depan perlu menjadi perhatian pekerja pers, pemerintah, dan stakeholder lainnya.
Belum hilang dalam ingatan publik, baru-baru ini, Diananta Putra Sumedi, eks Pemimpin Redaksi media online di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, yakni Banjarhits.id juga ditahan kepolisian. Diananta dibui lantaran diadukan seseorang dengan pasal pencemaran nama baik. Berita Diananta berjudul Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel, dianggap pelapor mengandung SARA. Namun ketika proses klarifikasi dan mediasi telah tuntas di Dewan Pers sebagaimana merujuk UU Nomor 40/1999, nyatanya kasus ini tak lantas final. Kepolisian justru terus menyidik dan Diananta baru bisa lepas dari tahanan Senin (17/8).
Kasus Demas dan Diananta menunjukkan bahwa perjuangan yang dihadapi para pekerja pers untuk mendapat perlindungan nyatanya belum selesai. Kondisi inilah yang mendesak perlunya kesepahaman bersama. Dalam kurun 1996-sekarang, setidaknya ada 11 kasus pembunuhan yang menimpa wartawan. Catatan buruk bangsa ini jangan sampai terus terulang. Apalagi pengusutan kasusnya berujung gamang.
Di atas semua itu, para wartawan dan pekerja pers juga dituntut untuk meningkatkan profesionalisme kerja. Dengan modal itu, maka lubang-lubang yang memicu kekerasan bisa dihindari. Kasus kekerasan yang menimpa Demas sudah selayaknya yang terakhir kali dan menjadi pelajaran berharga bagi semua.
Tak hanya keluarga dan orang-orang terdekat almarhum, publik begitu menunggu hasil kerja keras kepolisian untuk mengungkap tuntas peristiwa yang memprihatinkan ini. Keberhasilan aparat dalam pengungkapan kasus tersebut setidaknya akan menjadi jawaban bahwa negara secara serius membasmi kejahatan di tengah masyarakat, pun dengan korban dari kalangan jurnalis.
Di sisi lain, penangkapan pelaku nantinya juga diharapkan akan menjadi pintu baru membuka persoalan ini sebenarnya. Publik akan mendapat titik terang bahwa, kematian Demas Laira ini apakah dilatarbelakangi persoalan peribadi atau dampak dari kerja-kerja jurnalistiknya. Jangan sampai kematian Demas berakhir dengan hasil pengungkapan semu seperti halnya kasus terbunuhnya Fuad Muhammad Syafrudin (Udin) wartawan Bernas Yogyakarta di Bantul, 1996 silam.
Terlepas dari persoalan pribadi ataupun kerja jurnalistik, kekerasan yang dialami oleh Demas Laira sangatkan memilukan. Dari data di lokasi kejadian terungkap, di tubuh korban terdapat sedikitnya 21 bekas tusukan senjata tajam. Ini menandakan begitu bengisnya pelaku saat menganiaya Demas hingga tak berdaya dan meregang nyawa.
Pendekatan kekerasan ini tidak boleh dibiarkan. Apalagi jika diketahui pemicunya adalah ketidaksukaan pelaku atau aktor intelektual atas karya-karya junalistik yang dibuat korban. Jika ini benar terjadi, tentu hal tersebut menambah panjang catatan buruk perjalanan pers di Indonesia. Kekerasan demi kekerasan terus saja terjadi. Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik sebagai payung hukum insan pers nyatanya belum mampu sepenuhnya memberikan pengayoman dan perlindungan.
Khalayak yang merasa keberatan dengan produk pers justru masih mengedepankan aspek kekerasan, bukan klarifikasi atau pendekatan dialogis. Fakta inilah yang ke depan perlu menjadi perhatian pekerja pers, pemerintah, dan stakeholder lainnya.
Belum hilang dalam ingatan publik, baru-baru ini, Diananta Putra Sumedi, eks Pemimpin Redaksi media online di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, yakni Banjarhits.id juga ditahan kepolisian. Diananta dibui lantaran diadukan seseorang dengan pasal pencemaran nama baik. Berita Diananta berjudul Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel, dianggap pelapor mengandung SARA. Namun ketika proses klarifikasi dan mediasi telah tuntas di Dewan Pers sebagaimana merujuk UU Nomor 40/1999, nyatanya kasus ini tak lantas final. Kepolisian justru terus menyidik dan Diananta baru bisa lepas dari tahanan Senin (17/8).
Kasus Demas dan Diananta menunjukkan bahwa perjuangan yang dihadapi para pekerja pers untuk mendapat perlindungan nyatanya belum selesai. Kondisi inilah yang mendesak perlunya kesepahaman bersama. Dalam kurun 1996-sekarang, setidaknya ada 11 kasus pembunuhan yang menimpa wartawan. Catatan buruk bangsa ini jangan sampai terus terulang. Apalagi pengusutan kasusnya berujung gamang.
Di atas semua itu, para wartawan dan pekerja pers juga dituntut untuk meningkatkan profesionalisme kerja. Dengan modal itu, maka lubang-lubang yang memicu kekerasan bisa dihindari. Kasus kekerasan yang menimpa Demas sudah selayaknya yang terakhir kali dan menjadi pelajaran berharga bagi semua.
(ras)
tulis komentar anda