Mengkaji Kata Konstantir di Dunia Pejabat Pembuat Akta Tanah
Senin, 24 Agustus 2020 - 19:24 WIB
Wanita yang kerap terlibat dan mempelopori berbagai kegiatan bakti sosial di tengah kesibukannya itupun juga mengatakan, bahwa menurutnya yang pertama perlu diteliti dan dikaji terlebih dahulu adalah mengenai sebab musabab dari statement atau pernyataan itu.
"Bahwa memang benar, dengan munculnya format/standardisasi Akta Peralihan Hak/Akta Transport yang dibuat oleh BPN RI. Form tersebut menjadikan 'seolah-olah' PPAT hanya membuat suatu Akta Relaas saja, terlebih PPAT dimaknai sebagai Pejabat "Pembuat" Akta Tanah, padahal senyatanya yang melakukan jual beli dan Akta Peralihan Hak Atas Tanah (APHAT) adalah para pihak itu sendiri, artinya keberadaan PPAT sebenarnya memastikan atau pemenuhan syarat unsur "terang", untuk meyakini dan memverifikasi bahwa yang dilakukan para pihak adalah benar-benar "Riil dan Tunai". Sebab apabila tidak, akan jatuh lagi pada perikatan perjanjian lagi," jelasnya.
Tintin juga menambahkan, harus diingat bahwa dalam terjemahan Buku III KUHPerdata Prof Subekti memberi judul "Perikatan" untuk (verbintenis) bukan Perjanjian (overeenkomst), mengapa? karena dalam Buku III juga dikenal pula Perikatan Peralihan Hak atau Akta Transport selain dari Perjanjian.
"Lalu apa yang dimaksud dengan konstantir? Maknanya adalah disebut 'pernyataan' para pihak, sebagai PPAT tidak boleh hanya mendengar pernyataan dari salah satu pihak saja (misal dari Pembeli saja), benarkah si pemilik berkeinginan menjual tanahnya juga harus pula didengar pernyataannya atau dikonstantir pula," tutur Tintin
Dengan demikian, timbul pertanyaan besar dari Dosen Ilmu Hukum yang mengajar di salah satu universitas ternama di Jakarta itu. Dia mempertanyakan, apakah tepat bila dikatakan PPAT tidak mengkonstatir atau tidak memperhatikan pernyataan para pihak.
Jika memang demikian, menurutnya telaahan yang disampaikan terkait konstantir menjadi konyol atau terlampau "absurd".
"Setelah mengkonstantir pernyataan para pihak, Pejabat Umum menindaklanjuti dengan tahap "mengkualifisir" pernyataan-pernyataan para pihak berdasarkan dokumen-dokumen pendukung yang disampaikan oleh para pihak itu sendiri. Benarkah si penjual adalah pemilik tanah dan si Pembeli membeli berdasarkan kesepakatan atau perjanjian jual beli, bukan karena utang piutang. Hal ini dilakukan agar tidak melanggar larangan milik beding," paparnya.
Kemudian yang terakhir, setelah mengkualifisir maka menurut Tintin, tahap berikutnya adalah "mengkonstituir", yaitu merumuskan atau menyimpulkan kehendak para pihak. Apakah para pihak ingin membuat Akta Jual Beli (AJB) atau Akta Peralihan Hak lainnya.
"Secara pribadi Saya berharap agar pada setiap kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pencerahan dan edukasi, sebaiknya tidak menyertakan kepentingan lain di dalamnya. Sehingga apa yang diharapkan dari niat awal dilakukanya kegiatan tersebut dapat terealisasi dengan baik. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai setiap niat baik yang kita lakukan, aamiin," pungkasnya.
"Bahwa memang benar, dengan munculnya format/standardisasi Akta Peralihan Hak/Akta Transport yang dibuat oleh BPN RI. Form tersebut menjadikan 'seolah-olah' PPAT hanya membuat suatu Akta Relaas saja, terlebih PPAT dimaknai sebagai Pejabat "Pembuat" Akta Tanah, padahal senyatanya yang melakukan jual beli dan Akta Peralihan Hak Atas Tanah (APHAT) adalah para pihak itu sendiri, artinya keberadaan PPAT sebenarnya memastikan atau pemenuhan syarat unsur "terang", untuk meyakini dan memverifikasi bahwa yang dilakukan para pihak adalah benar-benar "Riil dan Tunai". Sebab apabila tidak, akan jatuh lagi pada perikatan perjanjian lagi," jelasnya.
Tintin juga menambahkan, harus diingat bahwa dalam terjemahan Buku III KUHPerdata Prof Subekti memberi judul "Perikatan" untuk (verbintenis) bukan Perjanjian (overeenkomst), mengapa? karena dalam Buku III juga dikenal pula Perikatan Peralihan Hak atau Akta Transport selain dari Perjanjian.
"Lalu apa yang dimaksud dengan konstantir? Maknanya adalah disebut 'pernyataan' para pihak, sebagai PPAT tidak boleh hanya mendengar pernyataan dari salah satu pihak saja (misal dari Pembeli saja), benarkah si pemilik berkeinginan menjual tanahnya juga harus pula didengar pernyataannya atau dikonstantir pula," tutur Tintin
Dengan demikian, timbul pertanyaan besar dari Dosen Ilmu Hukum yang mengajar di salah satu universitas ternama di Jakarta itu. Dia mempertanyakan, apakah tepat bila dikatakan PPAT tidak mengkonstatir atau tidak memperhatikan pernyataan para pihak.
Jika memang demikian, menurutnya telaahan yang disampaikan terkait konstantir menjadi konyol atau terlampau "absurd".
"Setelah mengkonstantir pernyataan para pihak, Pejabat Umum menindaklanjuti dengan tahap "mengkualifisir" pernyataan-pernyataan para pihak berdasarkan dokumen-dokumen pendukung yang disampaikan oleh para pihak itu sendiri. Benarkah si penjual adalah pemilik tanah dan si Pembeli membeli berdasarkan kesepakatan atau perjanjian jual beli, bukan karena utang piutang. Hal ini dilakukan agar tidak melanggar larangan milik beding," paparnya.
Kemudian yang terakhir, setelah mengkualifisir maka menurut Tintin, tahap berikutnya adalah "mengkonstituir", yaitu merumuskan atau menyimpulkan kehendak para pihak. Apakah para pihak ingin membuat Akta Jual Beli (AJB) atau Akta Peralihan Hak lainnya.
"Secara pribadi Saya berharap agar pada setiap kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pencerahan dan edukasi, sebaiknya tidak menyertakan kepentingan lain di dalamnya. Sehingga apa yang diharapkan dari niat awal dilakukanya kegiatan tersebut dapat terealisasi dengan baik. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai setiap niat baik yang kita lakukan, aamiin," pungkasnya.
(dam)
tulis komentar anda