Penebusan Tanah Tergadaikan
loading...
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
KETIMPANGAN pemilikan dan penguasaan tanah di negeri ini dikhawatirkan merupakan keniscayaan sepanjang waktu. Dulu eksplisit tertuang di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 56/Prp/1960, bahwa para petani yang mempunyai tanah (sawah dan/atau tanah kering) sebagian terbesar masing-masing tanahnya kurang dari 1 hektare (rata-rata 0,6 ha sawah atau 0,5 ha tanah kering). Luas sesempit itu pasti tidak cukup untuk hidup yang layak.
Di satu sisi banyak petani tunakisma, dan di sisi lain ada tuan-tuan tanah. Tuan tanah itu menguasai tanah, luasnya berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu hektare. Sebagian dipunyai dengan hak milik, dan selebihnya (bagian terbesar), dikuasainya dengan hak gadai atau sewa.
Kala itu pemilikan tanah hak milik di Jawa, Madura, Sulawesi Selatan, Bali, Lombok, hanya terdapat 5.400 orang. Luas lahan sawahnya lebih dari 10 ha (di antaranya 1.000 orang yang mempunyai lebih dari 20 ha). Pemilikan tanah-kering berukuran lebih dari 10 ha adalah 11.000 orang, di antaranya 2.700 orang mempunyai lebih dari 20 ha.
Dalam kenyataannya, jauh lebih banyak jumlah orang menguasai tanah lebih dari 10 ha dengan hak gadai atau sewa. Tanah-tanah itu berasal dari kepunyaan para tani yang, karena sesuatu hal, terpaksa menggadaikan atau menyewakan kepada tuan-tuan tanah.
Dari data di atas tergambarkan bahwa ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah itu sedemikian parah. Hal demikian secara yuridis dikatakan sah. Mengapa? Karena tidak ada ketentuan hukum yang melarang gadai tanah.
Gadai adalah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang uang padanya. Selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi (“pemegang-gadai”). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang tersebut.
Penebusan gadai tergantung pada kemauan dan kemampuan yang menggadaikan. Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, berpuluh tahun, bahkan ada pula yang dilanjutkan oleh para pewaris penggadai, dan pemegang gadai karena penggadai tidak mampu untuk menebus tanahnya kembali. Kebanyakan gadai tanah diadakan dengan imbangan yang sangat merugikan penggadai, dan sangat menguntungkan pihak pelepas uang. Teranglah bahwa gadai tanah menunjukkan praktik-praktik pemerasan.
Praktik demikian bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia. Karena itu, di dalam UUPA hak gadai dikategorikan hak-hak sifatnya “sementara”. Hak demikian diusahakan dihapus dalam waktu singkat. Sebelum penghapusannya terealisasi, hak gadai tanah diatur sedemikian rupa, agar hilang unsur-unsur pemerasannya dan terhadap gadai yang sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih wajib mengembalikan tanahnya kepada pemilik dalam waktu sebulan, setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
Hak gadai tanah baru dapat dihapuskan (artinya dilarang) jika sudah tersedia lembaga perkreditan yang mampu menyuplai kredit yang dibutuhkan petani. Kini lembaga-lembaga perkreditan telah marak di seluruh pelosok Tanah Air. Dengan itu mestinya gadai tanah dihapus secara alamiah. Bila logika demikian berlaku secara linier, maka ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah mulai berkurang (teratasi). Benarkah demikian? Kenyataannya tidak.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
KETIMPANGAN pemilikan dan penguasaan tanah di negeri ini dikhawatirkan merupakan keniscayaan sepanjang waktu. Dulu eksplisit tertuang di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 56/Prp/1960, bahwa para petani yang mempunyai tanah (sawah dan/atau tanah kering) sebagian terbesar masing-masing tanahnya kurang dari 1 hektare (rata-rata 0,6 ha sawah atau 0,5 ha tanah kering). Luas sesempit itu pasti tidak cukup untuk hidup yang layak.
Di satu sisi banyak petani tunakisma, dan di sisi lain ada tuan-tuan tanah. Tuan tanah itu menguasai tanah, luasnya berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu hektare. Sebagian dipunyai dengan hak milik, dan selebihnya (bagian terbesar), dikuasainya dengan hak gadai atau sewa.
Kala itu pemilikan tanah hak milik di Jawa, Madura, Sulawesi Selatan, Bali, Lombok, hanya terdapat 5.400 orang. Luas lahan sawahnya lebih dari 10 ha (di antaranya 1.000 orang yang mempunyai lebih dari 20 ha). Pemilikan tanah-kering berukuran lebih dari 10 ha adalah 11.000 orang, di antaranya 2.700 orang mempunyai lebih dari 20 ha.
Dalam kenyataannya, jauh lebih banyak jumlah orang menguasai tanah lebih dari 10 ha dengan hak gadai atau sewa. Tanah-tanah itu berasal dari kepunyaan para tani yang, karena sesuatu hal, terpaksa menggadaikan atau menyewakan kepada tuan-tuan tanah.
Dari data di atas tergambarkan bahwa ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah itu sedemikian parah. Hal demikian secara yuridis dikatakan sah. Mengapa? Karena tidak ada ketentuan hukum yang melarang gadai tanah.
Gadai adalah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang uang padanya. Selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi (“pemegang-gadai”). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang tersebut.
Penebusan gadai tergantung pada kemauan dan kemampuan yang menggadaikan. Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, berpuluh tahun, bahkan ada pula yang dilanjutkan oleh para pewaris penggadai, dan pemegang gadai karena penggadai tidak mampu untuk menebus tanahnya kembali. Kebanyakan gadai tanah diadakan dengan imbangan yang sangat merugikan penggadai, dan sangat menguntungkan pihak pelepas uang. Teranglah bahwa gadai tanah menunjukkan praktik-praktik pemerasan.
Praktik demikian bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia. Karena itu, di dalam UUPA hak gadai dikategorikan hak-hak sifatnya “sementara”. Hak demikian diusahakan dihapus dalam waktu singkat. Sebelum penghapusannya terealisasi, hak gadai tanah diatur sedemikian rupa, agar hilang unsur-unsur pemerasannya dan terhadap gadai yang sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih wajib mengembalikan tanahnya kepada pemilik dalam waktu sebulan, setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
Hak gadai tanah baru dapat dihapuskan (artinya dilarang) jika sudah tersedia lembaga perkreditan yang mampu menyuplai kredit yang dibutuhkan petani. Kini lembaga-lembaga perkreditan telah marak di seluruh pelosok Tanah Air. Dengan itu mestinya gadai tanah dihapus secara alamiah. Bila logika demikian berlaku secara linier, maka ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah mulai berkurang (teratasi). Benarkah demikian? Kenyataannya tidak.