Spirit Advokasi Anti-Amerika
Rabu, 31 Juli 2024 - 11:26 WIB
Anak Agung Banyu Perwita
Pemerhati Kajian Pertahanan
Siswanto Rusdi
Direktur Namarin
BUKU ini pada dasarnya mencoba mencari jawaban ideal apakah ketika sebuah negara menjalin kerja sama militer dengan negara negara lain yang berujung pada pembukaan pangkalan militer akan lebih menggerus kedaulatannya atau tidak.
baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”
Di tengah meningkatnya dinamika geopolitik dunia dan kawasan dewasa ini, pertanyaan di atas semakin relevan untuk diperdebatkan di kala power politics menjadi formula untuk mempertahanan eksistensi negara-bangsa. Secara lebih spesifik, buku ini mencoba mengkritisi kebijakan luar negeri dan pertahanan Filipina dan Amerika Serikat (AS) terkait keberadaan pangkalan militer AS di bumi Filipina.
Bila kita telisik lebih dalam, hubungan AS-Filipina pada dasarnya dilandasi pada hubungan sejarah yang panjang dan budaya yang kuat serta nilai-nilai demokrasi yang sama. Perjanjian pertahanan bersama AS-Filipina di tahun 1951, misalnya, memberikan landasan yang kuat bagi kemitraan pertahanan antara kedua negara. Mentalitas perang dingin pada masa itu merupakan satu-satunya argumen utama pembentukan pangkalan militer AS di Filipina.
Sementara itu, pada tahun 2014, Filipina meningkatkan kerja sama pertahanan yang lebih kuat dengan AS dengan membentuk “Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang Ditingkatkan” (EDCA/Enhanced Defense Cooperation Agreement). EDCA ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Angkatan Bersenjata Filipina dalam menghadapi ancaman militer dari China di Laut China Selatan. Untuk menanggapi aktivitas dan ekspansi Tiongkok di Laut China Selatan , EDCA dianggap sebagai opsi pencegahan yang paling kredibel, dan oleh karenanya Filipina harus merespons agresivitas Tiongkok di kawasan yang dipersengketakan tersebut.
Pemerhati Kajian Pertahanan
Siswanto Rusdi
Direktur Namarin
BUKU ini pada dasarnya mencoba mencari jawaban ideal apakah ketika sebuah negara menjalin kerja sama militer dengan negara negara lain yang berujung pada pembukaan pangkalan militer akan lebih menggerus kedaulatannya atau tidak.
baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”
Di tengah meningkatnya dinamika geopolitik dunia dan kawasan dewasa ini, pertanyaan di atas semakin relevan untuk diperdebatkan di kala power politics menjadi formula untuk mempertahanan eksistensi negara-bangsa. Secara lebih spesifik, buku ini mencoba mengkritisi kebijakan luar negeri dan pertahanan Filipina dan Amerika Serikat (AS) terkait keberadaan pangkalan militer AS di bumi Filipina.
Bila kita telisik lebih dalam, hubungan AS-Filipina pada dasarnya dilandasi pada hubungan sejarah yang panjang dan budaya yang kuat serta nilai-nilai demokrasi yang sama. Perjanjian pertahanan bersama AS-Filipina di tahun 1951, misalnya, memberikan landasan yang kuat bagi kemitraan pertahanan antara kedua negara. Mentalitas perang dingin pada masa itu merupakan satu-satunya argumen utama pembentukan pangkalan militer AS di Filipina.
Sementara itu, pada tahun 2014, Filipina meningkatkan kerja sama pertahanan yang lebih kuat dengan AS dengan membentuk “Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang Ditingkatkan” (EDCA/Enhanced Defense Cooperation Agreement). EDCA ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Angkatan Bersenjata Filipina dalam menghadapi ancaman militer dari China di Laut China Selatan. Untuk menanggapi aktivitas dan ekspansi Tiongkok di Laut China Selatan , EDCA dianggap sebagai opsi pencegahan yang paling kredibel, dan oleh karenanya Filipina harus merespons agresivitas Tiongkok di kawasan yang dipersengketakan tersebut.
Lihat Juga :
tulis komentar anda