Pemerintah Diminta Bersikap Terkait Maraknya Peretasan Media
Senin, 24 Agustus 2020 - 16:18 WIB
JAKARTA - Serangan siber terhadap media-media di Indonesia sedang masif. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers meminta media dan jurnalis yang mengalami serangan digital untuk terbuka kepada publik.
(Baca juga: Usut Kasus Peretasan Media dan Akun Pribadi Tanpa Diskriminasi)
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan, kebebasan pers Indonesia mendapatkan dua pukulan dalam waktu dekat. Pertama, vonis bersalah dan hukuman penjara selama 3 bulan 15 hari terhadap Pemimpin Redaksi Banjarhits Diananta Putra Sumedi.
(Baca juga: Pemulihan Akun Sosmed yang Diretas bisa Dilakukan oleh Penyedia Platform)
Dengan adanya vonis tersebut menjadi preseden bahwa karya jurnalistik bisa dilakukan pemidanaan. Ade menerangkan pukulan kedua adalah serangan digital yang masif dan sistemik terhadap media nasional, seperti Tempo.co dan Tirto.id.
(Baca juga: Kasus Baru di Qatar dan Kuwait, Total 1.355 WNI Positif Covid-19)
Berdasarkan data LBH Pers, ada lima media yang mengalami peretasan. "Saya berharap perusahaan media dan jurnalis terbuka ketika ada serangan sehingga publik dan masyarakat sipil bisa men-support dan mengadvokasi bersama-sama," kata Ade dalam konferensi pers daring "Melawan Peretasan", Senin (24/8/2020).
Dampak peretasan ini bukan hanya terhadap media, tetapi bisa ke masyarakat luas. Ade menjelaskan peretasan media digital ini terkait obat virus Corona (Covid-19) yang dibuat oleh Universitas Airlangga, Badan Intelijen Negara, dan TNI AD.
"Pemerintah harus bersikap terkait masifnya peretasan. Kami tidak menuduh dilakukan oleh yang diberitakan. Dalam konteks ini, (pemerintah) harus melindungi kebebasan pers. Negara harus aktif," tegasnya.
Ade menyayangkan, sampai hari ini belum ada respons dari pemerintah mengenai maraknya kasus peretasan media. Peretasan ini melanggar dua pasal dalam dua undang-undang (UU) berbeda.
Pertama, tindakan peretasan ini melanggar pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Kedua, melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Apa yang dilakukan pelaku merupakan bagian dari menghambat kerja-kerja jurnalistik," pungkasnya.
(Baca juga: Usut Kasus Peretasan Media dan Akun Pribadi Tanpa Diskriminasi)
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan, kebebasan pers Indonesia mendapatkan dua pukulan dalam waktu dekat. Pertama, vonis bersalah dan hukuman penjara selama 3 bulan 15 hari terhadap Pemimpin Redaksi Banjarhits Diananta Putra Sumedi.
(Baca juga: Pemulihan Akun Sosmed yang Diretas bisa Dilakukan oleh Penyedia Platform)
Dengan adanya vonis tersebut menjadi preseden bahwa karya jurnalistik bisa dilakukan pemidanaan. Ade menerangkan pukulan kedua adalah serangan digital yang masif dan sistemik terhadap media nasional, seperti Tempo.co dan Tirto.id.
(Baca juga: Kasus Baru di Qatar dan Kuwait, Total 1.355 WNI Positif Covid-19)
Berdasarkan data LBH Pers, ada lima media yang mengalami peretasan. "Saya berharap perusahaan media dan jurnalis terbuka ketika ada serangan sehingga publik dan masyarakat sipil bisa men-support dan mengadvokasi bersama-sama," kata Ade dalam konferensi pers daring "Melawan Peretasan", Senin (24/8/2020).
Dampak peretasan ini bukan hanya terhadap media, tetapi bisa ke masyarakat luas. Ade menjelaskan peretasan media digital ini terkait obat virus Corona (Covid-19) yang dibuat oleh Universitas Airlangga, Badan Intelijen Negara, dan TNI AD.
"Pemerintah harus bersikap terkait masifnya peretasan. Kami tidak menuduh dilakukan oleh yang diberitakan. Dalam konteks ini, (pemerintah) harus melindungi kebebasan pers. Negara harus aktif," tegasnya.
Ade menyayangkan, sampai hari ini belum ada respons dari pemerintah mengenai maraknya kasus peretasan media. Peretasan ini melanggar dua pasal dalam dua undang-undang (UU) berbeda.
Pertama, tindakan peretasan ini melanggar pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Kedua, melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Apa yang dilakukan pelaku merupakan bagian dari menghambat kerja-kerja jurnalistik," pungkasnya.
(maf)
tulis komentar anda