Usut Kasus Peretasan Media dan Akun Pribadi Tanpa Diskriminasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam peretasan situs media Tempo.co serta akun Twitter dan WhatsApp milik orang-orang yang kritis terhadap pemerintah. Polisi diminta mengusut peristiwa-peristiwa tersebut.
"Serangan di ruang siber seperti ini merupakan upaya pembungkaman pers yang seharusnya dilindungi di dalam negara demokrasi. Seperti diketahui, beberapa waktu yang tidak lama, hal serupa juga terjadi terhadap tokoh-tokoh masyarakat," ujar Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu.
Berdasarkan data ICJR, terjadi beberapa serangan siber. Bentuknya, ada peretasan akun WhatsApp dan Twitter, serta kebocoran data pribadi. Mereka yang pernah mengalami, antara lain Ravio Patra dan epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono.
( ).
Erasmus menyatakan, hak berpendapat dan kebebasan pers merupakan kebebasan eksklusif untuk media dalam menyampaikan pemberitaan. Tentu sesuai dengan fakta yang didapat. Pertanggungjawaban atau penyelesaian sengketa terhadap pemberitaan seharusnya melalui mekanisme Dewan Pers .
"Sejauh ini Indonesia memang belum memiliki kebijakan perlindungan data pribadi. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi masih menjadi pekerjaan rumah (PR) untuk dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)," ungkapanya.
Dia menjelaskan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebenarnya telah mengatur proteksi bagi serangan siber. Peretasan dalam klausul hukum merupakan 'akses ilegal' yang dilakukan terhadap komputer atau sistem elektronik milik orang lain.
( ).
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 30 ayat 1 UU ITE. Untuk peretasan yang menyasar orang per orang tercantum pada Pasal 32 ayat 1 UU ITE. Pasal itu berbunyi: setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun, mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilanhkan, memindahkan, menyembunyikan, suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elekronik milik orang lain atau publik.
Aturan hukum sudah ada, tapi penanganan dan ketanggapan aparat penegak hukum dalam mengusut kasus serupa kerap berbeda. Terkadang mengalami double standar terhadap mereka yang kritis terhadap pemerintah.
Contohnya, kasus peretasan WhatsApp Ravio Patra. Erasmus menerangkan waktu peretasan hingga penangkapan Ravio yang diduga merupakan rekayasa untuk mengkriminalisasi hanya berlangsung beberapa jam. Namun, pengungkapan siapa pelaku peretasan sebenarnya cenderung tak responsif.
Kasus seperti ini kemungkinan dapat bertambah, maka perlu langkah aktif dari aparat penegak hukum. Adanya perubahan perilaku masyarakat dari kegiatan offline ke daring selama masa pandemi Covid-19 , maka serangan-serangan siber akan banyak ditemukan.
"Dengan ini ICJR menyerukan aparat penegak hukum, khususnya, kepolisian untuk secara profesional segera menuntaskan kasus-kasus peretasan ini. Penggunaan pasal-pasal dalam UU ITE tanpa dikriminasi," pungkasnya.
"Serangan di ruang siber seperti ini merupakan upaya pembungkaman pers yang seharusnya dilindungi di dalam negara demokrasi. Seperti diketahui, beberapa waktu yang tidak lama, hal serupa juga terjadi terhadap tokoh-tokoh masyarakat," ujar Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu.
Berdasarkan data ICJR, terjadi beberapa serangan siber. Bentuknya, ada peretasan akun WhatsApp dan Twitter, serta kebocoran data pribadi. Mereka yang pernah mengalami, antara lain Ravio Patra dan epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono.
( ).
Erasmus menyatakan, hak berpendapat dan kebebasan pers merupakan kebebasan eksklusif untuk media dalam menyampaikan pemberitaan. Tentu sesuai dengan fakta yang didapat. Pertanggungjawaban atau penyelesaian sengketa terhadap pemberitaan seharusnya melalui mekanisme Dewan Pers .
"Sejauh ini Indonesia memang belum memiliki kebijakan perlindungan data pribadi. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi masih menjadi pekerjaan rumah (PR) untuk dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)," ungkapanya.
Dia menjelaskan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebenarnya telah mengatur proteksi bagi serangan siber. Peretasan dalam klausul hukum merupakan 'akses ilegal' yang dilakukan terhadap komputer atau sistem elektronik milik orang lain.
( ).
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 30 ayat 1 UU ITE. Untuk peretasan yang menyasar orang per orang tercantum pada Pasal 32 ayat 1 UU ITE. Pasal itu berbunyi: setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun, mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilanhkan, memindahkan, menyembunyikan, suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elekronik milik orang lain atau publik.
Aturan hukum sudah ada, tapi penanganan dan ketanggapan aparat penegak hukum dalam mengusut kasus serupa kerap berbeda. Terkadang mengalami double standar terhadap mereka yang kritis terhadap pemerintah.
Contohnya, kasus peretasan WhatsApp Ravio Patra. Erasmus menerangkan waktu peretasan hingga penangkapan Ravio yang diduga merupakan rekayasa untuk mengkriminalisasi hanya berlangsung beberapa jam. Namun, pengungkapan siapa pelaku peretasan sebenarnya cenderung tak responsif.
Kasus seperti ini kemungkinan dapat bertambah, maka perlu langkah aktif dari aparat penegak hukum. Adanya perubahan perilaku masyarakat dari kegiatan offline ke daring selama masa pandemi Covid-19 , maka serangan-serangan siber akan banyak ditemukan.
"Dengan ini ICJR menyerukan aparat penegak hukum, khususnya, kepolisian untuk secara profesional segera menuntaskan kasus-kasus peretasan ini. Penggunaan pasal-pasal dalam UU ITE tanpa dikriminasi," pungkasnya.
(zik)