Dilema Teknologi Pendingin Udara sebagai Strategi Adaptasi Iklim di Indonesia

Selasa, 04 Juni 2024 - 23:48 WIB
Alison Subiantoro. FOTO/DOK.PRIBADI
Alison Subiantoro, B.Eng, M.Eng, Ph.D

Dosen Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer UKRIDA

SALAH satu tantangan terbesar dunia saat ini adalah perubahan iklim (dulu lazim disebut pemanasan global). Indonesia, karena posisinya yang ada di zona tropis, terdampak langsung dengan suhu udara yang semakin panas. Banyak dari kita yang mungkin masih ingat bahwa suhu udara siang hari di Jakarta pada tahun 1980-an umumnya sekitar 32°C tapi sekarang sudah sering di atas 34°C, bahkan kadang menembus 37°C. Data BMKG (Bdan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) mengkonfirmasi yang kita rasakan, dimana ada tren peningkatan konsisten suhu udara rata-rata sebesar 0,1°C sampai 1°C di berbagai tempat di Indonesia selama 30 tahun terakhir.



Menyikapi tren perubahan iklim yang memanas seperti ini, ditambah dengan daya beli masyarakat yang terus meningkat, salah satu respons adaptasi iklim yang paling umum di Indonesia adalah meningkatkan penggunaan sistem pendingin udara, khususnya sistem pendingin ruangan yang berbasis kompresor dan fluida refrigeran, atau umumnya dikenal sebagai AC (air conditioner). Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa kebutuhan AC di Indonesia adalah sekitar 2 juta unit tiap tahun.

Tetapi tren peningkatan penggunaan AC ini laksana buah simalakama. Di satu sisi, udara yang sejuk dibutuhkan untuk kenyamanan dan produktivitas masyarakat. Penggunaan AC yang meningkat juga berakibat pada naiknya konsumsi listrik. Padahal Indonesia masih sangat bergantung pada pembakaran sumber energi fosil untuk memproduksi listrik. Proses pembakaran ini menghasilkan emisi CO2 yang mengakibatkan pemanasan global lebih lanjut.

Dampak lain terhadap lingkungan karena AC adalah dari fluida refrigeran yang bocor atau dilepas ke atmosfir. Meskipun refrigeran zaman sekarang sudah tidak lagi merusak lapisan ozon, tapi sifat potensi pemanasan globalnya masih sangat tinggi. Dengan kata lain, ketika fluida refrigeran ini lepas ke udara, dampaknya nanti adalah pemanasan global yang makin meningkat. Jadi AC yang dipakai untuk mendinginkan ruangan pada akhirnya malahan ikut membuat bumi tambah panas.

Sebelum membahas tentang AC lebih lanjut, perlu kita ketahui bahwa AC tidak selalu solusi paling ekonomis dan efektif untuk mendinginkan sebuah ruangan. Dalam beberapa kasus, sistem pendingin alternatif bisa menjadi solusi yang lebih baik. Misalnya, bila suhu ruangan tidak perlu didinginkan terlalu jauh dari kondisi awalnya dan kelembapan udara bukan masalah, pendingin berbasis air (biasa disebut air cooler atau evaporative cooler) bisa menjadi solusi yang lebih ekonomis. Kipas angin juga sering dipakai untuk membuat ruangan yang panas lebih nyaman dengan menciptakan pergerakan udara di dalam ruangan. Tapi kipas angin tidak bisa menurunkan suhu ruangan itu sendiri. Baik air cooler maupun kipas angin lebih hemat listrik dibandingkan AC.

Untuk ruangan yang suhunya perlu diturunkan secara signifikan, AC masih menjadi pilihan paling populer. Memang ada teknologi-teknologi pendingin lain yang bisa memberikan penurunan suhu sebanding dengan AC. Misalnya sistem pendinginan absorpsi yang efisiensi energi listriknya lebih bagus daripada AC biasa, tapi sistem ini lebih rumit dan mahal, serta membutuhkan sumber energi panas yang murah. Ada juga sistem pendingin termoelektrik yang berbasis efek pendinginan Peltier. Sistem ini sangat sederhana tapi efisiensi listriknya lebih rendah daripada AC biasa.

Jadi sampai sekarang belum ada teknologi alternatif yang bisa mengalahkan gabungan kesederhanaan, harga dan efektivitas AC. Tapi ini bukan berarti efektivitas penggunaan AC di lapangan sudah bagus dan tanpa masalah. Justru sebaliknya! Tentunya kita pernah masuk ke sebuah ruangan ber-AC yang terasa panas, padahal AC itu mungkin sudah dinyalakan dengan kecepatan kipas maksimal dan suhunya sudah diatur paling rendah. Anehnya, kalau diperiksa, udara yang keluar dari AC terasa dingin. Kondisi ini biasanya disebabkan AC yang dipasang kapasitasnya terlalu kecil atau lokasi pemasangannya tidak ideal. Akibatnya bukan hanya membuat suhu ruangan tidak sesejuk yang diharapkan, tetapi konsumsi listriknya sangat tinggi dan AC tersebut cepat rusak.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More