Karakter dan Ciri Kepemimpinan Bahari
Minggu, 26 Mei 2024 - 16:00 WIB
Partai politik semestinya menjadi candradimuka bagi lahirnya pemimpin-pemimpin politik yang berjiwa bahari; dididik sedari awal dengan kecakapan politik, sergap mengambil keputusan, serta tahu mengambil posisi sebagai pemberi inspirasi dan teladan. Pemilu yang dilangsungkan dari waktu ke waktu dengan biaya hampir Rp50 triliun hanya berhenti pada kesibukan prosedur demokrasi. Terlihat menjunjung demokrasi, tapi pada dasarnya memperkuat sistem politik neo-feodalisme. Akibatnya, pemimpin yang lahir adalah raja. Tegas dan cepat merespons jika pribadinya diusik oleh sekelompok orang. Adapun kepentingan rakyat banyak dikemudiankan setelah soal-soal pribadi terselesaikan.
Karena memimpin bak raja, maka gerbong keluarga akan diikutsertakan walaupun sang pemimpin tahu kredibilitas dan kompetensi anggota keluarganya hanya mengandalkan “aji mumpung” dan bersembunyi di balik kilau pamor kuasanya semata. Lain tidak. Sistem feodal jauh dari meritokrasi dan sangat dekat dengan kleptokrasi yang lemah kontrol.
Kepemimpinan bahari di salah satu negara kepulauan terbesar di dunia sudah lama menjadi angan-angan sebagai alternatif kepemimpinan feodal berbasis daratan. Tapi, faktanya, kepemimpinan bahari nyaris tak pernah dijadikan sandaran nilai dalam melahirkan seorang pemimpin bangsa.
Amanna Gappa
Menurut tulisan lontar Amanna Gappa, seorang Ketua Adat di Sulawesi Selatan, kepemimpinan dengan jiwa dan budaya bahari itu berciri: Pertama, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang nakhoda harus kuat imannya, atasannya hanya Allah SWT, terus berserah diri sembari memimpin bahteranya dalam mengatasi badai dan terpaan gelombang untuk sampai pada tujuan. Tauhid adalah sumber inspirasinya.
Kedua, memiliki tujuan dan haluan yang jelas. Tugas nakhoda juga menentukan dan terus mengomunikasikan haluan atau tujuan perjalanan dengan efektif. Ketiga, melihat ke depan dan menarik pelajaran dari masa lalu. Masa lalu penting sebagai pelajaran, terutama pengalaman pelayaran masa lalu untuk kebaikan perjalanan selanjutnya, terutama untuk mengantisipasi rute yang lebih baik dan perubahan cuaca yang tak diinginkan.
Keempat, selalu waspada, berani dan bertanggungjwab. Perubahan cuaca, kerusakan kapal dan peralatan, dan kemungkinan yang tak diharapkan bisa terjadi setiap waktu, termasuk ketidakpastian, turbulensi, kekerasan alam. Ia bertanggung jawab atas kapal, anak buah dan muatannya. Pemimpin yang sering menyalahkan orang lain bukan pemimpin berjiwa dan berbudaya bahari.
Ciri kelima, bersikap dan berpikir luwes. Mampu luwes dan fleksibel dalam menghadapi turbulensi dan perubahan cuaca dan lingkungan, demi sampai pada tujuan. Di laut, semua bergerak dan menjadi sahabat perjalanan; angin, awan, ombak yang terus bergerak, bahkan makhluk-makhluk hidup lainnya. Tanda-tanda bintang juga menjadi sahabat yang bisa memandu perjalanan.
Keenam, berpikir menyeluruh. Seorang nakhoda memahami pergeseran angin barat dan timur, sebab lautan terhubung. Ia tidak parsial atau sektoral, tetapi utuh, menyeluruh, komprehensif, sistemik, dan integral. Ketujuh, Mengutamakan keselamatan kapal dan anak buahnya. Seorang nakhoda yang baik adalah orang terakhir di kapal saat bahaya tiba, ia bisa mengambil keputusan untuk mengeluarkan perlengkapan-perlengkapan yang tak diperlukan (jetison) demi keselamatan kapal dan anak buahnya.
Kedelapan, mengayomi anak buah dan keluarganya. Nakhoda merasa bertanggung jawab bukan semata-mata pada anak buahnya melainkan juga pada keluarga yang ditinggal berlayar. Mereka berhubungan bagaikan keluarga yang besar. Kesembilan, persaudaraan sesama pelaut. Di laut semua orang sepanjang mengikuti konvensi yang berlaku, adalah bersaudara dan saling tolong-menolong, tanpa membedakan bangsa dan keyakinan.
Karena memimpin bak raja, maka gerbong keluarga akan diikutsertakan walaupun sang pemimpin tahu kredibilitas dan kompetensi anggota keluarganya hanya mengandalkan “aji mumpung” dan bersembunyi di balik kilau pamor kuasanya semata. Lain tidak. Sistem feodal jauh dari meritokrasi dan sangat dekat dengan kleptokrasi yang lemah kontrol.
Kepemimpinan bahari di salah satu negara kepulauan terbesar di dunia sudah lama menjadi angan-angan sebagai alternatif kepemimpinan feodal berbasis daratan. Tapi, faktanya, kepemimpinan bahari nyaris tak pernah dijadikan sandaran nilai dalam melahirkan seorang pemimpin bangsa.
Amanna Gappa
Menurut tulisan lontar Amanna Gappa, seorang Ketua Adat di Sulawesi Selatan, kepemimpinan dengan jiwa dan budaya bahari itu berciri: Pertama, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang nakhoda harus kuat imannya, atasannya hanya Allah SWT, terus berserah diri sembari memimpin bahteranya dalam mengatasi badai dan terpaan gelombang untuk sampai pada tujuan. Tauhid adalah sumber inspirasinya.
Kedua, memiliki tujuan dan haluan yang jelas. Tugas nakhoda juga menentukan dan terus mengomunikasikan haluan atau tujuan perjalanan dengan efektif. Ketiga, melihat ke depan dan menarik pelajaran dari masa lalu. Masa lalu penting sebagai pelajaran, terutama pengalaman pelayaran masa lalu untuk kebaikan perjalanan selanjutnya, terutama untuk mengantisipasi rute yang lebih baik dan perubahan cuaca yang tak diinginkan.
Keempat, selalu waspada, berani dan bertanggungjwab. Perubahan cuaca, kerusakan kapal dan peralatan, dan kemungkinan yang tak diharapkan bisa terjadi setiap waktu, termasuk ketidakpastian, turbulensi, kekerasan alam. Ia bertanggung jawab atas kapal, anak buah dan muatannya. Pemimpin yang sering menyalahkan orang lain bukan pemimpin berjiwa dan berbudaya bahari.
Ciri kelima, bersikap dan berpikir luwes. Mampu luwes dan fleksibel dalam menghadapi turbulensi dan perubahan cuaca dan lingkungan, demi sampai pada tujuan. Di laut, semua bergerak dan menjadi sahabat perjalanan; angin, awan, ombak yang terus bergerak, bahkan makhluk-makhluk hidup lainnya. Tanda-tanda bintang juga menjadi sahabat yang bisa memandu perjalanan.
Keenam, berpikir menyeluruh. Seorang nakhoda memahami pergeseran angin barat dan timur, sebab lautan terhubung. Ia tidak parsial atau sektoral, tetapi utuh, menyeluruh, komprehensif, sistemik, dan integral. Ketujuh, Mengutamakan keselamatan kapal dan anak buahnya. Seorang nakhoda yang baik adalah orang terakhir di kapal saat bahaya tiba, ia bisa mengambil keputusan untuk mengeluarkan perlengkapan-perlengkapan yang tak diperlukan (jetison) demi keselamatan kapal dan anak buahnya.
Kedelapan, mengayomi anak buah dan keluarganya. Nakhoda merasa bertanggung jawab bukan semata-mata pada anak buahnya melainkan juga pada keluarga yang ditinggal berlayar. Mereka berhubungan bagaikan keluarga yang besar. Kesembilan, persaudaraan sesama pelaut. Di laut semua orang sepanjang mengikuti konvensi yang berlaku, adalah bersaudara dan saling tolong-menolong, tanpa membedakan bangsa dan keyakinan.
tulis komentar anda