Program HEAL Dinilai Solusi untuk Wujudkan Nol Emisi di Indonesia
Minggu, 19 Mei 2024 - 18:53 WIB
Ini adalah tantangan yang kompleks dan memiliki banyak sisi yang mengharuskan semua pemangku kepentingan untuk bekerja sama untuk menghasilkan solusi inovatif di berbagai bidang. HEAL tidak diragukan lagi akan membantu mempercepat upaya-upaya tersebut dengan menyelaraskan upaya bersama ini.
”Saya berharap semua pemangku kepentingan yang relevan, baik lokal maupun internasional, akan berpartisipasi untuk menyukseskan program ini,” katanya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Panjaitan, menekankan pentingnya program ini. “Mata dunia tertuju ke Indonesia sehingga kita harus menjadi contoh sukses transisi energi yang adil, dengan menyeimbangkan pembangunan ekonomi, kesetaraan sosial, dan pemeliharaan lingkungan,” ujarnya.
Inisiatif seperti JETP perlu didukung oleh penyelarasan pemangku kepentingan yang sepadan, tidak hanya dalam hal teknis tetapi juga dalam hal membangun relasi antar institusi. ”Oleh karena itu, saya mendorong negara-negara IPG, anggota GFANZ, kementerian dan lembaga, serta organisasi masyarakat sipil untuk bergabung dengan HEAL agar kita dapat menggunakan kesempatan ini untuk belajar bersama dalam menyelesaikan tantangan-tantangan yang ada,” katanya.
Presiden United In Diversity dan Duta Besar Keliling Indonesia untuk Pasifik Tantowi Yahya mengatakan, kalau menengok 36 tahun lalu, realitas masa kini dengan adanya asisten kecerdasan buatan Artificial Intelligence assistant (AI) berukuran saku dan algoritma yang dipersenjatai sedemikian sehingga menentukan hasil politik global, di tengah-tengah ancaman eksistensial lingkungan bagi umat manusia akan terdengar seperti fiksi ilmiah, namun pada kenyataannya itulah realita.
“Oleh karena itu, menatap ke depan 36 menuju ambisi Indonesia mencapai nol emisi bersih di tahun 2060, sangat bijaksana bagi kita untuk mengantisipasi bahwa sektor energi akan mengalami gangguan yang tidak terpikirkan sebelumnya, baik dari krisis iklim maupun melalui inovasi dalam sumber energi, penyimpanan, akses, dan model bisnis,” lanjutnya.
Principal Rocky Mountain Institute untuk Asia Tenggara, Wini Rizkiningayu mengatakan sangat senang dapat bermitra dengan UID dalam melaksanakan program ini. “Bahkan lebih senang lagi karena kami berkesempatan untuk bekerja sama dengan teman-teman lokal, nasional, dan internasional lainnya dalam mendukung agenda net zero dan transisi energi di Indonesia,” ucapnya.
Pimpinan Program HEAL dan fasilitator senior UID serta Direktur Program Akademik dan Pembelajaran Shobi Lawalata menambahkan, tidak banyak program yang menggunakan pendekatan sistemik yang mendorong pola pikir interdependensi (saling bergantung) dan pemikiran multi-disipliner non-linear dalam peningkatan kapasitas.
”Tantangan kita saat ini semakin kompleks dan mengharuskan kita untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, kami sangat senang dapat membawa pendekatan baru ini ke dalam cara kita bercakap dan bertindak secara tepat waktu dan mendesak untuk transisi energy,” ucapnya.
”Saya berharap semua pemangku kepentingan yang relevan, baik lokal maupun internasional, akan berpartisipasi untuk menyukseskan program ini,” katanya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Panjaitan, menekankan pentingnya program ini. “Mata dunia tertuju ke Indonesia sehingga kita harus menjadi contoh sukses transisi energi yang adil, dengan menyeimbangkan pembangunan ekonomi, kesetaraan sosial, dan pemeliharaan lingkungan,” ujarnya.
Inisiatif seperti JETP perlu didukung oleh penyelarasan pemangku kepentingan yang sepadan, tidak hanya dalam hal teknis tetapi juga dalam hal membangun relasi antar institusi. ”Oleh karena itu, saya mendorong negara-negara IPG, anggota GFANZ, kementerian dan lembaga, serta organisasi masyarakat sipil untuk bergabung dengan HEAL agar kita dapat menggunakan kesempatan ini untuk belajar bersama dalam menyelesaikan tantangan-tantangan yang ada,” katanya.
Presiden United In Diversity dan Duta Besar Keliling Indonesia untuk Pasifik Tantowi Yahya mengatakan, kalau menengok 36 tahun lalu, realitas masa kini dengan adanya asisten kecerdasan buatan Artificial Intelligence assistant (AI) berukuran saku dan algoritma yang dipersenjatai sedemikian sehingga menentukan hasil politik global, di tengah-tengah ancaman eksistensial lingkungan bagi umat manusia akan terdengar seperti fiksi ilmiah, namun pada kenyataannya itulah realita.
“Oleh karena itu, menatap ke depan 36 menuju ambisi Indonesia mencapai nol emisi bersih di tahun 2060, sangat bijaksana bagi kita untuk mengantisipasi bahwa sektor energi akan mengalami gangguan yang tidak terpikirkan sebelumnya, baik dari krisis iklim maupun melalui inovasi dalam sumber energi, penyimpanan, akses, dan model bisnis,” lanjutnya.
Principal Rocky Mountain Institute untuk Asia Tenggara, Wini Rizkiningayu mengatakan sangat senang dapat bermitra dengan UID dalam melaksanakan program ini. “Bahkan lebih senang lagi karena kami berkesempatan untuk bekerja sama dengan teman-teman lokal, nasional, dan internasional lainnya dalam mendukung agenda net zero dan transisi energi di Indonesia,” ucapnya.
Pimpinan Program HEAL dan fasilitator senior UID serta Direktur Program Akademik dan Pembelajaran Shobi Lawalata menambahkan, tidak banyak program yang menggunakan pendekatan sistemik yang mendorong pola pikir interdependensi (saling bergantung) dan pemikiran multi-disipliner non-linear dalam peningkatan kapasitas.
”Tantangan kita saat ini semakin kompleks dan mengharuskan kita untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, kami sangat senang dapat membawa pendekatan baru ini ke dalam cara kita bercakap dan bertindak secara tepat waktu dan mendesak untuk transisi energy,” ucapnya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda