Cyber Bullying Marak, Kementerian PPPA: 70% Orang Tua Tak Batasi Anak Gunakan Gawai
Minggu, 19 Mei 2024 - 17:33 WIB
Asdep Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Ciput Eka Purwianti menyampaikan perundungan seringkali dilakukan dengan tujuan membuat sengsara, mempermalukan, hingga dengan sengaja ingin merugikan orang lain, dan perilaku ini dilakukan berulang kali.
Karena itu, sebelum memberikan gawai pada anak, orang tua memberikan pengetahuan atau mitigasi dengan memberikan informasi risiko berbagai kemungkinan yang terjadi di dunia maya, bahwa tidak semua pengguna internet merupakan anggota keluarga yang dapat berperilaku baik. Sehingga, jika menemukan sesuatu yang tidak nyaman di internet, anak diberi dorongan untuk segera menyampaikan pada orang tua.
Menurut Eka, aktivitas utama anak saat berselancar di dunia maya adalah ngobrol dan mengakses konten hiburan seperti nonton video. Berdasarkan studi Kementerian PPPA di tiga provinsi disebutkan 70 % anak tak mendapatkan batasan dari orang tua.
"Kalaupun ada pembatasan atau pengaturan, hanya fokus pada durasi penggunaan gawai. Jadi lamanya waktu yang digunakan anak dalam mengkases internet, baik untuk belajar dan nonton," ujar Eka.
Eka juga menggarisbawahi dampak perundungan pada anak dengan disabilitas, yang kini memiliki kebutuhan tidak terhindarkan terhadap gawai, karena menjadi salah satu penunjang kegiatan belajar mengajar. Tak hanya perundungan yang membuat anak-anak memiliki pengalaman tak nyaman saat beselancar di dunia maya, konten bermuatan seksual juga membuat anak takut saat berada di dunia maya.
Hasil Survei Kementerian PPA dan Child Fund Internasional pada 2023 yang dilakukan terhadap 1.600 remaja berusia 13 hingga 24 tahun di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengungkap 49,1% remaja mengaku sebagai pelaku perundungan dan 51% sebagai korban perundungan.
Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Ike R. Sugianto menyampaikan langkah pencegahan dilakukan dengan memahami aplikasi yang anak gunakan dalam gawainya, termasuk permainan apa yang mereka gunakan. Menurut dia, orang tua juga dapat berperan aktif dengan turut mempelajari permainan dan aplikasi media sosial yang digunakan anak.
Namun, jika terjadi perubahan secara psikis pada anak baik karena anak menjadi korban ataupun pelaku maka, langkah yang harus dilakukan orang tua adalah menahan diri untuk marah dan bereaksi berlebihan, seperti marah. Hal ini mencegah agar anak tak takut menceritakan dan yang lebih penting adalah introspeksi.
"Jangan-jangan kita juga suka mem-bully anak-anak kita dengan perkataan saat di rumah. Hukum di dunia nyata berlaku di dunia maya. Maka perlu ada konsekuensi yang dilakukan orang tua saat memberikan gawai pada anak,” ucapnya.
Karena itu, sebelum memberikan gawai pada anak, orang tua memberikan pengetahuan atau mitigasi dengan memberikan informasi risiko berbagai kemungkinan yang terjadi di dunia maya, bahwa tidak semua pengguna internet merupakan anggota keluarga yang dapat berperilaku baik. Sehingga, jika menemukan sesuatu yang tidak nyaman di internet, anak diberi dorongan untuk segera menyampaikan pada orang tua.
Menurut Eka, aktivitas utama anak saat berselancar di dunia maya adalah ngobrol dan mengakses konten hiburan seperti nonton video. Berdasarkan studi Kementerian PPPA di tiga provinsi disebutkan 70 % anak tak mendapatkan batasan dari orang tua.
"Kalaupun ada pembatasan atau pengaturan, hanya fokus pada durasi penggunaan gawai. Jadi lamanya waktu yang digunakan anak dalam mengkases internet, baik untuk belajar dan nonton," ujar Eka.
Eka juga menggarisbawahi dampak perundungan pada anak dengan disabilitas, yang kini memiliki kebutuhan tidak terhindarkan terhadap gawai, karena menjadi salah satu penunjang kegiatan belajar mengajar. Tak hanya perundungan yang membuat anak-anak memiliki pengalaman tak nyaman saat beselancar di dunia maya, konten bermuatan seksual juga membuat anak takut saat berada di dunia maya.
Hasil Survei Kementerian PPA dan Child Fund Internasional pada 2023 yang dilakukan terhadap 1.600 remaja berusia 13 hingga 24 tahun di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengungkap 49,1% remaja mengaku sebagai pelaku perundungan dan 51% sebagai korban perundungan.
Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Ike R. Sugianto menyampaikan langkah pencegahan dilakukan dengan memahami aplikasi yang anak gunakan dalam gawainya, termasuk permainan apa yang mereka gunakan. Menurut dia, orang tua juga dapat berperan aktif dengan turut mempelajari permainan dan aplikasi media sosial yang digunakan anak.
Namun, jika terjadi perubahan secara psikis pada anak baik karena anak menjadi korban ataupun pelaku maka, langkah yang harus dilakukan orang tua adalah menahan diri untuk marah dan bereaksi berlebihan, seperti marah. Hal ini mencegah agar anak tak takut menceritakan dan yang lebih penting adalah introspeksi.
"Jangan-jangan kita juga suka mem-bully anak-anak kita dengan perkataan saat di rumah. Hukum di dunia nyata berlaku di dunia maya. Maka perlu ada konsekuensi yang dilakukan orang tua saat memberikan gawai pada anak,” ucapnya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda