Menyorot Penyelenggaraan Transportasi Mudik Lebaran
Rabu, 17 April 2024 - 14:30 WIB
Jalan non tol
Mengoptimalkan fungsi jalan non tol, khususnya akses jalan Pantai Utara (Pantura) dan Pantai Selatan (Pansela) Jawa. Sebab, sekalipun jalan tol Trans Jawa sudah terintegrasi sepanjang 1.745 km, faktanya tidak mampu secara optimal memfasilitasi mudik Lebaran dengan jumlah kendaraan mencapai lebih dari 1,5 jutaan kendaraan yang keluar dari arah Jakarta. Sedangkan di sisi lain, kapasitas jalan Pantura dan Pansela masih relatif longgar. Jadi perlu ada rekayasa lalu lintas yang lebih radikal, bukan hanya contraflow, one way, dan atau ganjil genap (gage).
Volume kendaraan di Jalan Tol Trans Jawa sebagian perlu dimigrasikan ke jalan non tol, Pantura dan Pansela. Mengingat pergerakan pemudik 56 persen terkonsentrasi di Pulau Jawa. Oleh karenanya, kualitas fisik ruas jalan di Pantura dan Pansela harus “setara” dengan kualitas jalan tol. Fenomena ini sangat kentara manakala yang menjadi fokus perhatian mudik Lebaran hanya jalan tol saja, sedangkan jalan non tol kurang mendapatkan perhatian, termasuk dalam melakukan rekayasa lalu lintas. Pantas terjadi kemacetan parah di area sekitar Ajibarang-Banyumas, dan Bumiayu-Brebes, nyaris tak ada sentuhan bermakna dari pihak kepolisian.
Tertibkan angkutan gelap
Demi alasan keselamatan dan merujuk kasus Gran Max di KM 58, maka Kemenhub harus tegas menertibkan angkutan (travel) gelap. Terbukti secara meyakinkan, merujuk pada rekomendasi KNKT, kejadian pada KM 58 tersebab oleh banyak pelanggaran oleh pengemudi Gran Max, yaitu over kapasitas, sopir kelelahan karena over time, dan tak berizin pula. Namun anehnya, walau tak berizin, dalam kecelakaan itu PT Jasa Raharja, tetap memberikan santunan pada semua korban meninggal. Walau dari sisi kemanusiaan bisa dipahami, namun hal ini bisa memicu tumbuh suburnya angkutan gelap, dan di sisi lain mematikan keberadaan angkutan umum resmi.
Kini keberadaan travel gelap makin menjamur. Protes DPP Organda kepada PT Jasa Raharja terkait hal tersebut bisa dimengerti, karena telah memberikan santunan penumpang sebagai korban angkutan gelap.
Mudik Lebaran secara sosiologis kultural, plus ekonomi, tampaknya sudah menjadi ritual yang niscaya bagi sebagian besar masyarakat. Oleh karenanya, negara harus memfasilitasi dengan pelayanan publik (transportasi) yang andal, aman, selamat, dan tarif terjangkau. Secara lebih makro sangat mendesak bagi pemerintah untuk segera mewujudkan Sistranas (Sistem Transportasi Nasional), baik untuk angkutan penumpang, dan atau angkutan logistik. Idealnya, mobilitas nasional seperti mudik mudik Lebaran tidak bergantung penggunaan kendaraan pribadi, dan harus mengarusutamakan aspek keamanan dan keselamatan, bukan aspek kelancaran. Bukan pula seperti sekarang, mobilitas mudik Lebaran didominasi oleh penggunaan kendaraan pribadi (khususnya sepeda motor), plus mind set yang penting lancar, sehingga aspek keamanan dan keselamatan tereduksi hingga ke titik nadir. Ironis!
Mengoptimalkan fungsi jalan non tol, khususnya akses jalan Pantai Utara (Pantura) dan Pantai Selatan (Pansela) Jawa. Sebab, sekalipun jalan tol Trans Jawa sudah terintegrasi sepanjang 1.745 km, faktanya tidak mampu secara optimal memfasilitasi mudik Lebaran dengan jumlah kendaraan mencapai lebih dari 1,5 jutaan kendaraan yang keluar dari arah Jakarta. Sedangkan di sisi lain, kapasitas jalan Pantura dan Pansela masih relatif longgar. Jadi perlu ada rekayasa lalu lintas yang lebih radikal, bukan hanya contraflow, one way, dan atau ganjil genap (gage).
Volume kendaraan di Jalan Tol Trans Jawa sebagian perlu dimigrasikan ke jalan non tol, Pantura dan Pansela. Mengingat pergerakan pemudik 56 persen terkonsentrasi di Pulau Jawa. Oleh karenanya, kualitas fisik ruas jalan di Pantura dan Pansela harus “setara” dengan kualitas jalan tol. Fenomena ini sangat kentara manakala yang menjadi fokus perhatian mudik Lebaran hanya jalan tol saja, sedangkan jalan non tol kurang mendapatkan perhatian, termasuk dalam melakukan rekayasa lalu lintas. Pantas terjadi kemacetan parah di area sekitar Ajibarang-Banyumas, dan Bumiayu-Brebes, nyaris tak ada sentuhan bermakna dari pihak kepolisian.
Tertibkan angkutan gelap
Demi alasan keselamatan dan merujuk kasus Gran Max di KM 58, maka Kemenhub harus tegas menertibkan angkutan (travel) gelap. Terbukti secara meyakinkan, merujuk pada rekomendasi KNKT, kejadian pada KM 58 tersebab oleh banyak pelanggaran oleh pengemudi Gran Max, yaitu over kapasitas, sopir kelelahan karena over time, dan tak berizin pula. Namun anehnya, walau tak berizin, dalam kecelakaan itu PT Jasa Raharja, tetap memberikan santunan pada semua korban meninggal. Walau dari sisi kemanusiaan bisa dipahami, namun hal ini bisa memicu tumbuh suburnya angkutan gelap, dan di sisi lain mematikan keberadaan angkutan umum resmi.
Kini keberadaan travel gelap makin menjamur. Protes DPP Organda kepada PT Jasa Raharja terkait hal tersebut bisa dimengerti, karena telah memberikan santunan penumpang sebagai korban angkutan gelap.
Mudik Lebaran secara sosiologis kultural, plus ekonomi, tampaknya sudah menjadi ritual yang niscaya bagi sebagian besar masyarakat. Oleh karenanya, negara harus memfasilitasi dengan pelayanan publik (transportasi) yang andal, aman, selamat, dan tarif terjangkau. Secara lebih makro sangat mendesak bagi pemerintah untuk segera mewujudkan Sistranas (Sistem Transportasi Nasional), baik untuk angkutan penumpang, dan atau angkutan logistik. Idealnya, mobilitas nasional seperti mudik mudik Lebaran tidak bergantung penggunaan kendaraan pribadi, dan harus mengarusutamakan aspek keamanan dan keselamatan, bukan aspek kelancaran. Bukan pula seperti sekarang, mobilitas mudik Lebaran didominasi oleh penggunaan kendaraan pribadi (khususnya sepeda motor), plus mind set yang penting lancar, sehingga aspek keamanan dan keselamatan tereduksi hingga ke titik nadir. Ironis!
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda