Indeks Keselamatan Jurnalis 2023: 45 Persen Wartawan Pernah Alami Tindak Kekerasan

Kamis, 28 Maret 2024 - 19:20 WIB
“Pilar individu mendapat skor rendah didorong kasus kekerasan yang masih tinggi, termasuk mengenai adanya penyensoran. Di sisi lain, umumnya jurnalis mengakui bila pekerjaannya berisiko,” kata Nazmi.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan, ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindakan kekerasan. Salah satunya adalah keengganan melaporkan tindakan kekerasan itu kepada pihak berwajib.

“Alasan keengganan melaporkan tindak kekerasan ini karena melihat kasus sebelumnya yang sudah dilaporkan dan tidak ada kemajuan di kepolisian. Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Tantangan ketiga adalah perusahaan medianya yang kadang di tengah jalan menarik laporan tersebut dari pihak berwajib dengan berbagai alasan,” ungkap Ade.

Direktur KBR Media Citra Prastuti mengakui tidak semua perusahaan media punya sumber daya untuk melakukan pelatihan keselamatan jurnalis. Karena itu, biasanya pelatihan keselamatan terhadap jurnalis dilakukan oleh pihak eksternal.

“Kami biasanya menerapkan sistem ToT terkait pelatihan keselamatan jurnalis. Ini karena memang perusahaan belum mampu melakukan sendiri tapi memang betul keselamatan jurnalis merupakan sesuatu yang penting,” ujar Citra.

Selain potensi ancaman dari negara lewat aparaturnya, skor pilar negara dan regulasi dibentuk oleh penilaian atas potensi ancaman atas sejumlah regulasi oleh jurnalis. Umumnya jurnalis menilai UU seperti UU PDP, UU ITE, dan UU KUHP dapat mengancam keselamatan mereka saat bekerja.

Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengatakan, ada kesenjangan pengetahuan dari sejumlah stakeholder terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini yang membuat banyak kasus kekerasan dan pencemaran nama baik yang dialami jurnalis.

“Sejak 2018-2024, ada tujuh kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas HAM. Lima kasus kekerasan verbal dan dua kasus penyiksaan. Untuk kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE ada lima kasus. Komnas HAM sudah membuat panduan bahwa jurnalis adalah bagian dari pembela HAM dan ini sudah disampaikan kepada stakeholder,” ujar Uli.

Komnas HAM juga selalu berkoordinasi dengan Dewan Pers apabila menerima laporan terkait pencemaran nama baik yang dilakukan jurnalis.

Kementerian Komunikasi dan Informatika mengapresiasi indeks keselamatan jurnalis ini. Direktur Pengelolaan Media Kemenkominfo Nursodik Gunarjo mengatakan, indeks ini akan menjadi early warning system ketika keselamatan jurnalis turun bisa dipantau oleh banyak orang.

“Terpenting setelah adanya indeks ini apa yang harus dilakukan selanjutnya agar keselamatan jurnalis bisa tetap dijaga. Kami sebenarnya ingin tidak ada lagi kekerasan terhadap jurnalis. Mungkin salah satu yang bisa dilakukan adalah regulasi, tapi regulasi itu seperti mata uang, ketika kebebasan pers guaranteed by the law maka di saat yang sama ada juga yang merasa limited by the law,” ungkap Nursodik.

Menurut dia, pemerintah tidak akan mengatur pers karena sudah ada UU terkait kebebasan pers. Salah satu cara yang bisa dilakukan kalangan pers mengajukan kepada pemerintah untuk membuat UU yang mengatur keselamatan jurnalis seperti UU Publisher Right yang baru saja disahkan pemerintah.

Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrid berharap untuk menjamin keselamatan jurnalis perlu segera dibuat rencana aksi nasional. Langkah ini dalam rangka mewujudkan keselamatan jurnalis.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More