Indeks Keselamatan Jurnalis 2023: 45 Persen Wartawan Pernah Alami Tindak Kekerasan

Kamis, 28 Maret 2024 - 19:20 WIB
loading...
Indeks Keselamatan Jurnalis...
Pengukuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 yang dilakukan Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman bersama PPMN dan HRWG berkolaborasi dengan Populix dan didukung Kedutaan Belanda. Foto: Ist
A A A
JAKARTA - Keselamatan jurnalis Indonesia masih belum sepenuhnya terjamin. Ancaman terhadap keselamatan jurnalis itu terutama datang dari negara dan ormas. Temuan ini didapat melalui pengukuran Indeks Keselamatan Jurnalis yang dilakukan Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman bersama PPMN dan HRWG berkolaborasi dengan Populix dan didukung Kedutaan Belanda.

Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 berada pada skor 59,8 dari 100 atau masuk dalam kategori “Agak Terlindungi.” Skor ini di antaranya disumbang oleh angka kekerasan yang dialami jurnalis baik dihimpun melalui survei maupun dari kasus yang ditangani Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepanjang 2023.

Melalui survei terhadap 536 responden, sebanyak 45% responden mengaku pernah mengalami kekerasan. Sedangkan, data AJI menunjukkan angka kekerasan terhadap jurnalis mencapai 87 kasus atau naik 16 kasus dari tahun sebelumnya.



Bentuk kekerasan paling banyak berupa pelarangan liputan (45%), pelarangan pemberitaan (44%), teror dan intimidasi (39%). Survei juga mencatat satu jurnalis dapat mengalami beragam bentuk kekerasan dan jurnalis perempuan lebih rentan.

Ancaman keselamatan jurnalis ini datang dari berbagai pihak. Saat ditanyakan mengenai potensi ancaman keselamatan, jurnalis menyebut mulai dari ormas (29%), negara melalui polisi (26%) dan pejabat pemerintah (22%), aktor politik (14%), hingga perusahaan media itu sendiri (7%). Sisanya, 4% menyebut aktor lainnya.

Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Oslan Purba mengatakan, indeks ini bertujuan memetakan permasalahan yang dihadapi jurnalis, memberikan data relevan untuk mencegah kekerasan, serta meningkatkan kondisi kerja dan profesionalisme jurnalistik di Indonesia.

“Pengukuran ini diupayakan agar bisa secara reguler dan diharapkan menjadi salah satu alat monitoring serta menemukan faktor-faktor masalah keselamatan jurnalis, sehingga menjadi bahan advokasi untuk mewujudkan jurnalisme aman di Indonesia,” ujar Oslan dalam peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 di Jakarta, Kamis (28/3/2024).

Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 diukur melalui metode survei kepada jurnalis dan dipadukan dengan data aktual kasus kekerasan terhadap jurnalis yang ditangani AJI. Gambaran kondisi keselamatan jurnalis dalam menjalankan profesinya ini disusun berdasarkan tiga pilar utama yang mencakup individu jurnalis, pilar stakeholder media, pilar negara dan regulasi.

Pilar individu jurnalis dibangun dari dua variabel yakni pengalaman kekerasan yang dialami jurnalis dan pengetahuan jurnalis akan perlindungan dari kekerasan. Sedangkan, pilar stakeholder media menggali pengalaman dan pandangan jurnalis terhadap peran perusahaan media, organisasi masyarakat sipil seperti organisasi jurnalis dan lembaga bantuan hukum serta peran lembaga negara seperti Dewan Pers dan Komnas HAM.

Pilar negara dan regulasi didapat dengan menggali pengalaman dan persepsi jurnalis terhadap peran negara dan penegak hukum serta regulasi.

Manajer Riset Populix Nazmi Haddyat Tamara menuturkan di antara tiga pilar ini, pilar individu mendapat skor terendah (36,08) diikuti pilar negara dan regulasi (64,36), dan pilar stakeholder media (74,36).

“Pilar individu mendapat skor rendah didorong kasus kekerasan yang masih tinggi, termasuk mengenai adanya penyensoran. Di sisi lain, umumnya jurnalis mengakui bila pekerjaannya berisiko,” kata Nazmi.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan, ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindakan kekerasan. Salah satunya adalah keengganan melaporkan tindakan kekerasan itu kepada pihak berwajib.

“Alasan keengganan melaporkan tindak kekerasan ini karena melihat kasus sebelumnya yang sudah dilaporkan dan tidak ada kemajuan di kepolisian. Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Tantangan ketiga adalah perusahaan medianya yang kadang di tengah jalan menarik laporan tersebut dari pihak berwajib dengan berbagai alasan,” ungkap Ade.

Direktur KBR Media Citra Prastuti mengakui tidak semua perusahaan media punya sumber daya untuk melakukan pelatihan keselamatan jurnalis. Karena itu, biasanya pelatihan keselamatan terhadap jurnalis dilakukan oleh pihak eksternal.

“Kami biasanya menerapkan sistem ToT terkait pelatihan keselamatan jurnalis. Ini karena memang perusahaan belum mampu melakukan sendiri tapi memang betul keselamatan jurnalis merupakan sesuatu yang penting,” ujar Citra.

Selain potensi ancaman dari negara lewat aparaturnya, skor pilar negara dan regulasi dibentuk oleh penilaian atas potensi ancaman atas sejumlah regulasi oleh jurnalis. Umumnya jurnalis menilai UU seperti UU PDP, UU ITE, dan UU KUHP dapat mengancam keselamatan mereka saat bekerja.

Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengatakan, ada kesenjangan pengetahuan dari sejumlah stakeholder terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini yang membuat banyak kasus kekerasan dan pencemaran nama baik yang dialami jurnalis.

“Sejak 2018-2024, ada tujuh kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas HAM. Lima kasus kekerasan verbal dan dua kasus penyiksaan. Untuk kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE ada lima kasus. Komnas HAM sudah membuat panduan bahwa jurnalis adalah bagian dari pembela HAM dan ini sudah disampaikan kepada stakeholder,” ujar Uli.

Komnas HAM juga selalu berkoordinasi dengan Dewan Pers apabila menerima laporan terkait pencemaran nama baik yang dilakukan jurnalis.

Kementerian Komunikasi dan Informatika mengapresiasi indeks keselamatan jurnalis ini. Direktur Pengelolaan Media Kemenkominfo Nursodik Gunarjo mengatakan, indeks ini akan menjadi early warning system ketika keselamatan jurnalis turun bisa dipantau oleh banyak orang.

“Terpenting setelah adanya indeks ini apa yang harus dilakukan selanjutnya agar keselamatan jurnalis bisa tetap dijaga. Kami sebenarnya ingin tidak ada lagi kekerasan terhadap jurnalis. Mungkin salah satu yang bisa dilakukan adalah regulasi, tapi regulasi itu seperti mata uang, ketika kebebasan pers guaranteed by the law maka di saat yang sama ada juga yang merasa limited by the law,” ungkap Nursodik.

Menurut dia, pemerintah tidak akan mengatur pers karena sudah ada UU terkait kebebasan pers. Salah satu cara yang bisa dilakukan kalangan pers mengajukan kepada pemerintah untuk membuat UU yang mengatur keselamatan jurnalis seperti UU Publisher Right yang baru saja disahkan pemerintah.

Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrid berharap untuk menjamin keselamatan jurnalis perlu segera dibuat rencana aksi nasional. Langkah ini dalam rangka mewujudkan keselamatan jurnalis.

Pengumpulan data melalui survei untuk Indeks Keselamatan Jurnalis dilakukan pada 22 Januari-13 Februari 2024 dengan metode self filling oleh para jurnalis dengan cara mengirimkan kuesioner kepada jurnalis yang terdata di sejumlah organisasi, mendatangi jurnalis saat berada di lapangan, serta wawancara kepada sejumlah jurnalis untuk verifikasi informasi krusial. Jurnalis yang terangkum dalam survei ini sebanyak 536 orang tersebar di seluruh Indonesia dan mewakili jurnalis dari beragam jenis media.
(jon)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1624 seconds (0.1#10.140)