G Sidharta, Nilai Jawa, dan Kekuasaan
Kamis, 21 Maret 2024 - 09:13 WIB
Kembali ke topik nilai-nilai Jawa, yang menyita perhatian kita seniman ini dengan caranya yang unik membentuk lapis-lapis metafor, yang bisa dimaknai simbol-simbol kuno yang dalam Jawa misalnya, masih ingat nama senopati Gajah Mada? Meminjam Kesatria zaman Jawa Kuno, era Hindu selain nama Gajah, ada nama depan sebutan Kebo (K’bo) atau Mahisa, yang artinya binatang kuat seperti Kerbau, atau sebutan lain Rangga yang semua untuk menunjukkan kekuatan dan kekuasaan mereka bak binatang-binatang liat itu.
G.Sidaharta dengan karyanya Ksatria dan Pedang (A Knight and His Sword), 2005 mencoba memainkan simbol kuasa dengan pertemuan Timur dan Barat; kesatria dalam karyanya yang layaknya seolah memakai baju zirah ala Barat terbungkus dalam pakaian yang menonjol selain impresi inagatan tentang sosok-sosok artefak di candi-candi Jawa sekaligus, yakni candi Penataran tentang para kesatria dan kuda-kuda.
Yang membuat penulis menjadi bertanya-tanya adalah, acapkali sejak ia balik ke Indonesia dengan banyak narasi patung-patung hibridasi tradisi-modern seperti Jawa-Hindu seperti Kelahiran Dewi Bhatari dan juga sosok Dewi Sri, pengucapan secara total modern yang cenderung futuristik, seperti moumen patung Tonggak Samudera, di Kawasan Tanjung Priok ada teka-teki dalam pameran di galeri Art Agenda ini, yakni karya Tapir.
Dengan juluk Tapir, 2005 berukuran 70 x 95 x 38 cm yang sama sekali tak merujuk pada binatang Tapir yang bisa kita lihat di Kebun Binatang. Tapir ala G.Sidharta mirip binatang dari antah berantah yang bisa juga paras seekor monster atau binatang semacam Harimau Jawa dan ditunggangi laki-laki seolah berpakaian Pandita Jawa Kuno.
Para leluhur Jawa sering menandai sesuatu peristiwa dengan ‘pasemon’ atau kiasan terhadap jalannya kekuasaan dan perebutan tahta yang berdarah-darah. Orang Jawa bilang ‘wong kuasa iku koyo nunggang macan’, sejatinya mereka yang sedang menjabat, penguasa layaknya menaiki punggung Harimau.
Sama menakutkan, selama menjabat atau bahkan bisa terancam tatkala akan “turun tahta” yang berpotensi menjerikan; sebab terancam dimangsa sang macan. Budaya jawa tenar berbagai kiasan perburuan binatang-binatang buas dengan istilah festival ‘Rampogan Sima’. Ujaran ‘Ojo kudungan welulang macan’ yang berarti jangan berkurudung/berlindung kepada kulit harimau, yang bisa juga memaknainya dengan “janganlah suka berlindung di balik kekuasaan agar terlihat menakutkan, berwibawa, atau 'gahar”. Sebuah kritik yang tajam tergelar.
Patung G.Sidharta yang berjuluk Tapir bisa secara kontekstual adalah sebuah pemaknaan sepanjang zaman, sebuah peringatan, semacam wake-up call saat ini bagi mereka yang berkuasa. Apalagi di karya-karya yang lain simbol-simbol Jawa berterbaran jika direlasikan dengan tahun politik, yakni menyoal batih. Tanggung jawab seorang kepala rumah tangga yang menanggung beban keluarga serumah, Batih adalah inti ajaran Jawa; yang dibela dengan nyawa.
Karya Ayah dan Anak (Father and Child), tahun 2001, milik G. Sidharta bernarasi sang ayah memanggul anaknya yang masih kecil di pundaknya; sangat kontekstual saat mawas diri dibutuhkan bahwa kekuasaan publik berbeda dengan kekuasaan melindungi hanya keluarga inti alias batih. Sebuah ancaman marabahaya bagi bangsa atau berkah untuk keluarga memang setipis rambut jika berelasi dengan kekuasaan.
G.Sidaharta dengan karyanya Ksatria dan Pedang (A Knight and His Sword), 2005 mencoba memainkan simbol kuasa dengan pertemuan Timur dan Barat; kesatria dalam karyanya yang layaknya seolah memakai baju zirah ala Barat terbungkus dalam pakaian yang menonjol selain impresi inagatan tentang sosok-sosok artefak di candi-candi Jawa sekaligus, yakni candi Penataran tentang para kesatria dan kuda-kuda.
Yang membuat penulis menjadi bertanya-tanya adalah, acapkali sejak ia balik ke Indonesia dengan banyak narasi patung-patung hibridasi tradisi-modern seperti Jawa-Hindu seperti Kelahiran Dewi Bhatari dan juga sosok Dewi Sri, pengucapan secara total modern yang cenderung futuristik, seperti moumen patung Tonggak Samudera, di Kawasan Tanjung Priok ada teka-teki dalam pameran di galeri Art Agenda ini, yakni karya Tapir.
Dengan juluk Tapir, 2005 berukuran 70 x 95 x 38 cm yang sama sekali tak merujuk pada binatang Tapir yang bisa kita lihat di Kebun Binatang. Tapir ala G.Sidharta mirip binatang dari antah berantah yang bisa juga paras seekor monster atau binatang semacam Harimau Jawa dan ditunggangi laki-laki seolah berpakaian Pandita Jawa Kuno.
Para leluhur Jawa sering menandai sesuatu peristiwa dengan ‘pasemon’ atau kiasan terhadap jalannya kekuasaan dan perebutan tahta yang berdarah-darah. Orang Jawa bilang ‘wong kuasa iku koyo nunggang macan’, sejatinya mereka yang sedang menjabat, penguasa layaknya menaiki punggung Harimau.
Sama menakutkan, selama menjabat atau bahkan bisa terancam tatkala akan “turun tahta” yang berpotensi menjerikan; sebab terancam dimangsa sang macan. Budaya jawa tenar berbagai kiasan perburuan binatang-binatang buas dengan istilah festival ‘Rampogan Sima’. Ujaran ‘Ojo kudungan welulang macan’ yang berarti jangan berkurudung/berlindung kepada kulit harimau, yang bisa juga memaknainya dengan “janganlah suka berlindung di balik kekuasaan agar terlihat menakutkan, berwibawa, atau 'gahar”. Sebuah kritik yang tajam tergelar.
Patung G.Sidharta yang berjuluk Tapir bisa secara kontekstual adalah sebuah pemaknaan sepanjang zaman, sebuah peringatan, semacam wake-up call saat ini bagi mereka yang berkuasa. Apalagi di karya-karya yang lain simbol-simbol Jawa berterbaran jika direlasikan dengan tahun politik, yakni menyoal batih. Tanggung jawab seorang kepala rumah tangga yang menanggung beban keluarga serumah, Batih adalah inti ajaran Jawa; yang dibela dengan nyawa.
Karya Ayah dan Anak (Father and Child), tahun 2001, milik G. Sidharta bernarasi sang ayah memanggul anaknya yang masih kecil di pundaknya; sangat kontekstual saat mawas diri dibutuhkan bahwa kekuasaan publik berbeda dengan kekuasaan melindungi hanya keluarga inti alias batih. Sebuah ancaman marabahaya bagi bangsa atau berkah untuk keluarga memang setipis rambut jika berelasi dengan kekuasaan.
(zik)
tulis komentar anda