G Sidharta, Nilai Jawa, dan Kekuasaan

Kamis, 21 Maret 2024 - 09:13 WIB
loading...
G Sidharta, Nilai Jawa, dan Kekuasaan
Bambang Asrini. Foto/Istimewa
A A A
Bambang Asrini
Pemerhati seni, sosial dan budaya

SEORANG maestro pembaru patung di Indonesia secara niscaya melekat pada sosok dan karya almarhum Gregorius Sidharta Soegijo. Selama dua bulan lebih sejak Februari sampai akhir Maret ini, kembali kita dihantar presentasi pameran pada kemungkinan nilai - nilai yang unik tentang patung-patungnya yang elok, senimannya dan apa yang diwariskan. Terutama, konteksnya pada fenomena-fenomena hari ini yang dipresentasikan di Art Agenda, sebuah galeri privat di Jakarta Pusat.

Galeri seni ini sudah menghelat sejumlah lima serial karya-karya para perintis seniman-seniman Indonesia modern. Yang paling menarik tentunya, dalam pengalaman kita sebagai penikmat seni terbiasa melihat dan mengapresiasi sejumlah karya seniman-seniman maestro kita, semisal di sejumlah Museum dan Galeri Nasional di Indonesia seperti sosok-sosok Ahmad Sadali, Soedjojono atau Affandi.

Selain itu, tentu ada tantangan yang membawa kita pemahaman bahwa para seniman itu mengerti secara sungguh-sunggh tentang makna zeit geist, semangat zaman. Demikian juga kita temui itu di sana, di galeri Art Agenda dengan patung-patung sang maestro.

Satu saat zaman membawa Soedjojono kearah yang tak terpikirkan oleh kita di abad ke-21, tatkala ia membawa inspirasi dari Jean Désiré Gustave Courbet. Seorang pelukis asal Prancis yang memimpin gerakan Realisme dalam lukisan Perancis abad ke-19 dan kemudian “di-Indonesiakan”—diadaptasi ulang dalam semangat revolusi tahun 1940-an. Tentu dengan karya-karya “realisme sosial” ala Soedjojono di Tanah Air. Meski masih digali terus tentang realitas ekspresi seni Soedjojono yang acapkali menjadi ajang perdebatan sejarawan seni. Namun, Soedjojono membawa semangat zaman itu menggali ulang makna revolusi kemerdekaan dan tuturan tentang realisme sosial.

Baca Juga:Terungkap Bahasa Jawa Ngoko-Krama Hanya untuk Melanggengkan Kekuasaan Dinasti Mataram

Sementara, kita melihat apa yang sesungguhnya terjadi dengan G.Sidharta tak jauh beda dan klaim para kritikus seni awal kita, sebagai ia semata-mata “Bapak Patung Kontemporer” di Indonesia. Semangat “kontemporarisme” ala G. Sidharta membuka wacana bahwa pertemuan nilai-nilai standar seni yang dikatakan Barat yang diyakini pada zaman itu, telah mulai melampuk, digantikan oleh progresivitas dan kemungkinan-kemungkinan yang baru.

Yang tak mengindahkan otentisifitas sebuah ekspresi karya dan merujuk pada geografis dan kultural -- yang Barat atau yang Timur. Dalam langgam sederhana, G. Sidharta -- hampir mirip dengan Soedjojono angkatan seniman senior diatasnya; mereka membuka wacana “yang tradisi dan yang lokal” dalam mengintimasi “patung modern/ lukisan yang Barat”, yang dalam perspektif ala Soedjojono “membumikan” karya- karya Gustave Courbet di Indonesia.

Mantra dari Barat dengan kukuh telah luruh pada pertengahan abad ke-20 bahwa seni modern dihampiri kekayaan luar biasa dari ranah kebudayaan global (yang Barat dan yang Timur sekaligus) dan pematung kita, G. Sidharta telah tak terbantahkan menjadi garda terdepan untuk itu.

Kontekstual Nilai Jawa


Sebagai seorang Nasrani yang taat di keluarga besar pecinta berat seni dan seniman Soegijo dari Jogjakarta, G.Sidharta dalam nadinya melekat nilai-nilai kosmologis Jawa. Perjalanan belajar dengan melanglang buana meneruskan studinya, yakni saat tahun 1953 di Jan van Eyck Academie, Belanda, selama tiga tahun memperluas cakrawala pengetahuan seni Barat yang justru saat sama menambatkan kembali pada esensi awal kodrat ekspresi seninya: nilai-nilai Jawa. Kejawaan dan kontekstualnya pada fenomena hari-hari ini yang mungkin tepat dilekatkan pada helatan patung-patung G. Sidharta kali ini di Art Agenda.

Patung-patung lumayan mungil sejumlah lima belas buah, di sekitar ukuran 25 x 28 x 9.5 cm sampai 70 x 95 x 38 cm dengan cetak materi bronze serta dipoles dengan pewarnaan artistik tertentu (patinasi), yang selain mencegah korosi dalam teknik logam, Art Agenda membingkai kuratorialnya dengan juluk Unearthed.

Topik Unaerthed bisa dijelaskan secara cair adalah upaya penjelajahan atau penggalian makna-makna baru, yang terus saja ada dialektika para sejarawan atau sesiapa saja yang ingin memintalnya pada fenomena saat ini. Tentang para pendahulu seniman-seniman kita itu dalam karya-karyanya. Jika zaman telah dibekukan secara fisik, yakni artefaknya (objek seni) di Museum atau Galeri Seni, maka makna akan hilir-mudik ditafsirkan ulang siapa saja yang ingin mereguk kesegaran-kesegaran makna anyar.

Penggalian tentang lansekap luas alam semesta atau nilai-nilai sakral kosmologi Jawa tentang Jagad Cilik (dalam tiap diri manusia Jawa) yang meniru Jagad Ageng (alam semesta) terngiang di benak dan bermanifestasi di ruang pamer. Hyang Gusthi Pukulun kang akarya jagad gedhe saha jagad alit, jumeneng ana sagung dumadi saha sukma ingsun" yang bermakna mikrokosmos, jagad alit kecil itu adalah semata salinan yang dunia besar, jagad gedhe, makrokosmos.

Falsafah Jawa “Tuhan Yang Mahakuasa yang menciptakan Alam Semesta, bersemayam di dalam segala ciptaan dan juga Jiwaku”, bisa dimaknai ini dalam patung-patung bersemangat spiritual seperti karya Sang Buddha (The Buddha), 2003, dengan ukuran 56 x 45 x 15 cm. Atau yang lain, bisa ditafsirkan sejenis dengan iman Kristianinya tentang Yesus (Jesus), 2004 dengan ukuran 125 x 30 x 30 cm di ruang pamer.

G.Sidharta menggali bentuk-bentuk anatomi yang elok tapi saling berlainan bentuk pengucapan artistiknya, yang kadangkala tubuh dan sosok mengikuti pola-pola geometrik dengan sudut-sudut tajam, sesekali menyalin seperti bentuk aslinya di alam pun kadang-kadang mendistorsi bentuk-bentuk secara luwes seperti elemen alam, meyerupai gerak air.

Misalkan silakan diperbandingkan antara penggayaan Kuda (Horse), 1987 tahun-tahun saat distorsi membuat out-line sosok kuda bersatu dengan penunggangnya, yang berbeda misalkan ke tahun sekitar 1990-2000-an dengan karya Berpelukan (Hugging), 1999, selisih lebih sepuluh tahun G.Sidharta mencoba mengembangkan patungnya tampil harmonis antara tubuh-sosok dengan karya Berpelukan (Hugging), 1999. Namun terasa ada energi bentuk tak beraturan disekujur dua figur berpelukan disana dibanding karya yang tahun 1987 itu. Seniman ini memang piawai menjaga harmoni bentuk dengan cara yang berlainan dalam rentang waktu tertentu.

Kekuasaan ala Jawa


Kembali ke topik nilai-nilai Jawa, yang menyita perhatian kita seniman ini dengan caranya yang unik membentuk lapis-lapis metafor, yang bisa dimaknai simbol-simbol kuno yang dalam Jawa misalnya, masih ingat nama senopati Gajah Mada? Meminjam Kesatria zaman Jawa Kuno, era Hindu selain nama Gajah, ada nama depan sebutan Kebo (K’bo) atau Mahisa, yang artinya binatang kuat seperti Kerbau, atau sebutan lain Rangga yang semua untuk menunjukkan kekuatan dan kekuasaan mereka bak binatang-binatang liat itu.

G.Sidaharta dengan karyanya Ksatria dan Pedang (A Knight and His Sword), 2005 mencoba memainkan simbol kuasa dengan pertemuan Timur dan Barat; kesatria dalam karyanya yang layaknya seolah memakai baju zirah ala Barat terbungkus dalam pakaian yang menonjol selain impresi inagatan tentang sosok-sosok artefak di candi-candi Jawa sekaligus, yakni candi Penataran tentang para kesatria dan kuda-kuda.

Yang membuat penulis menjadi bertanya-tanya adalah, acapkali sejak ia balik ke Indonesia dengan banyak narasi patung-patung hibridasi tradisi-modern seperti Jawa-Hindu seperti Kelahiran Dewi Bhatari dan juga sosok Dewi Sri, pengucapan secara total modern yang cenderung futuristik, seperti moumen patung Tonggak Samudera, di Kawasan Tanjung Priok ada teka-teki dalam pameran di galeri Art Agenda ini, yakni karya Tapir.

Dengan juluk Tapir, 2005 berukuran 70 x 95 x 38 cm yang sama sekali tak merujuk pada binatang Tapir yang bisa kita lihat di Kebun Binatang. Tapir ala G.Sidharta mirip binatang dari antah berantah yang bisa juga paras seekor monster atau binatang semacam Harimau Jawa dan ditunggangi laki-laki seolah berpakaian Pandita Jawa Kuno.

Para leluhur Jawa sering menandai sesuatu peristiwa dengan ‘pasemon’ atau kiasan terhadap jalannya kekuasaan dan perebutan tahta yang berdarah-darah. Orang Jawa bilang ‘wong kuasa iku koyo nunggang macan’, sejatinya mereka yang sedang menjabat, penguasa layaknya menaiki punggung Harimau.

Sama menakutkan, selama menjabat atau bahkan bisa terancam tatkala akan “turun tahta” yang berpotensi menjerikan; sebab terancam dimangsa sang macan. Budaya jawa tenar berbagai kiasan perburuan binatang-binatang buas dengan istilah festival ‘Rampogan Sima’. Ujaran ‘Ojo kudungan welulang macan’ yang berarti jangan berkurudung/berlindung kepada kulit harimau, yang bisa juga memaknainya dengan “janganlah suka berlindung di balik kekuasaan agar terlihat menakutkan, berwibawa, atau 'gahar”. Sebuah kritik yang tajam tergelar.

Patung G.Sidharta yang berjuluk Tapir bisa secara kontekstual adalah sebuah pemaknaan sepanjang zaman, sebuah peringatan, semacam wake-up call saat ini bagi mereka yang berkuasa. Apalagi di karya-karya yang lain simbol-simbol Jawa berterbaran jika direlasikan dengan tahun politik, yakni menyoal batih. Tanggung jawab seorang kepala rumah tangga yang menanggung beban keluarga serumah, Batih adalah inti ajaran Jawa; yang dibela dengan nyawa.

Karya Ayah dan Anak (Father and Child), tahun 2001, milik G. Sidharta bernarasi sang ayah memanggul anaknya yang masih kecil di pundaknya; sangat kontekstual saat mawas diri dibutuhkan bahwa kekuasaan publik berbeda dengan kekuasaan melindungi hanya keluarga inti alias batih. Sebuah ancaman marabahaya bagi bangsa atau berkah untuk keluarga memang setipis rambut jika berelasi dengan kekuasaan.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2056 seconds (0.1#10.140)