G Sidharta, Nilai Jawa, dan Kekuasaan
Kamis, 21 Maret 2024 - 09:13 WIB
Mantra dari Barat dengan kukuh telah luruh pada pertengahan abad ke-20 bahwa seni modern dihampiri kekayaan luar biasa dari ranah kebudayaan global (yang Barat dan yang Timur sekaligus) dan pematung kita, G. Sidharta telah tak terbantahkan menjadi garda terdepan untuk itu.
Sebagai seorang Nasrani yang taat di keluarga besar pecinta berat seni dan seniman Soegijo dari Jogjakarta, G.Sidharta dalam nadinya melekat nilai-nilai kosmologis Jawa. Perjalanan belajar dengan melanglang buana meneruskan studinya, yakni saat tahun 1953 di Jan van Eyck Academie, Belanda, selama tiga tahun memperluas cakrawala pengetahuan seni Barat yang justru saat sama menambatkan kembali pada esensi awal kodrat ekspresi seninya: nilai-nilai Jawa. Kejawaan dan kontekstualnya pada fenomena hari-hari ini yang mungkin tepat dilekatkan pada helatan patung-patung G. Sidharta kali ini di Art Agenda.
Patung-patung lumayan mungil sejumlah lima belas buah, di sekitar ukuran 25 x 28 x 9.5 cm sampai 70 x 95 x 38 cm dengan cetak materi bronze serta dipoles dengan pewarnaan artistik tertentu (patinasi), yang selain mencegah korosi dalam teknik logam, Art Agenda membingkai kuratorialnya dengan juluk Unearthed.
Topik Unaerthed bisa dijelaskan secara cair adalah upaya penjelajahan atau penggalian makna-makna baru, yang terus saja ada dialektika para sejarawan atau sesiapa saja yang ingin memintalnya pada fenomena saat ini. Tentang para pendahulu seniman-seniman kita itu dalam karya-karyanya. Jika zaman telah dibekukan secara fisik, yakni artefaknya (objek seni) di Museum atau Galeri Seni, maka makna akan hilir-mudik ditafsirkan ulang siapa saja yang ingin mereguk kesegaran-kesegaran makna anyar.
Penggalian tentang lansekap luas alam semesta atau nilai-nilai sakral kosmologi Jawa tentang Jagad Cilik (dalam tiap diri manusia Jawa) yang meniru Jagad Ageng (alam semesta) terngiang di benak dan bermanifestasi di ruang pamer. Hyang Gusthi Pukulun kang akarya jagad gedhe saha jagad alit, jumeneng ana sagung dumadi saha sukma ingsun" yang bermakna mikrokosmos, jagad alit kecil itu adalah semata salinan yang dunia besar, jagad gedhe, makrokosmos.
Falsafah Jawa “Tuhan Yang Mahakuasa yang menciptakan Alam Semesta, bersemayam di dalam segala ciptaan dan juga Jiwaku”, bisa dimaknai ini dalam patung-patung bersemangat spiritual seperti karya Sang Buddha (The Buddha), 2003, dengan ukuran 56 x 45 x 15 cm. Atau yang lain, bisa ditafsirkan sejenis dengan iman Kristianinya tentang Yesus (Jesus), 2004 dengan ukuran 125 x 30 x 30 cm di ruang pamer.
G.Sidharta menggali bentuk-bentuk anatomi yang elok tapi saling berlainan bentuk pengucapan artistiknya, yang kadangkala tubuh dan sosok mengikuti pola-pola geometrik dengan sudut-sudut tajam, sesekali menyalin seperti bentuk aslinya di alam pun kadang-kadang mendistorsi bentuk-bentuk secara luwes seperti elemen alam, meyerupai gerak air.
Misalkan silakan diperbandingkan antara penggayaan Kuda (Horse), 1987 tahun-tahun saat distorsi membuat out-line sosok kuda bersatu dengan penunggangnya, yang berbeda misalkan ke tahun sekitar 1990-2000-an dengan karya Berpelukan (Hugging), 1999, selisih lebih sepuluh tahun G.Sidharta mencoba mengembangkan patungnya tampil harmonis antara tubuh-sosok dengan karya Berpelukan (Hugging), 1999. Namun terasa ada energi bentuk tak beraturan disekujur dua figur berpelukan disana dibanding karya yang tahun 1987 itu. Seniman ini memang piawai menjaga harmoni bentuk dengan cara yang berlainan dalam rentang waktu tertentu.
Kontekstual Nilai Jawa
Sebagai seorang Nasrani yang taat di keluarga besar pecinta berat seni dan seniman Soegijo dari Jogjakarta, G.Sidharta dalam nadinya melekat nilai-nilai kosmologis Jawa. Perjalanan belajar dengan melanglang buana meneruskan studinya, yakni saat tahun 1953 di Jan van Eyck Academie, Belanda, selama tiga tahun memperluas cakrawala pengetahuan seni Barat yang justru saat sama menambatkan kembali pada esensi awal kodrat ekspresi seninya: nilai-nilai Jawa. Kejawaan dan kontekstualnya pada fenomena hari-hari ini yang mungkin tepat dilekatkan pada helatan patung-patung G. Sidharta kali ini di Art Agenda.
Patung-patung lumayan mungil sejumlah lima belas buah, di sekitar ukuran 25 x 28 x 9.5 cm sampai 70 x 95 x 38 cm dengan cetak materi bronze serta dipoles dengan pewarnaan artistik tertentu (patinasi), yang selain mencegah korosi dalam teknik logam, Art Agenda membingkai kuratorialnya dengan juluk Unearthed.
Topik Unaerthed bisa dijelaskan secara cair adalah upaya penjelajahan atau penggalian makna-makna baru, yang terus saja ada dialektika para sejarawan atau sesiapa saja yang ingin memintalnya pada fenomena saat ini. Tentang para pendahulu seniman-seniman kita itu dalam karya-karyanya. Jika zaman telah dibekukan secara fisik, yakni artefaknya (objek seni) di Museum atau Galeri Seni, maka makna akan hilir-mudik ditafsirkan ulang siapa saja yang ingin mereguk kesegaran-kesegaran makna anyar.
Penggalian tentang lansekap luas alam semesta atau nilai-nilai sakral kosmologi Jawa tentang Jagad Cilik (dalam tiap diri manusia Jawa) yang meniru Jagad Ageng (alam semesta) terngiang di benak dan bermanifestasi di ruang pamer. Hyang Gusthi Pukulun kang akarya jagad gedhe saha jagad alit, jumeneng ana sagung dumadi saha sukma ingsun" yang bermakna mikrokosmos, jagad alit kecil itu adalah semata salinan yang dunia besar, jagad gedhe, makrokosmos.
Falsafah Jawa “Tuhan Yang Mahakuasa yang menciptakan Alam Semesta, bersemayam di dalam segala ciptaan dan juga Jiwaku”, bisa dimaknai ini dalam patung-patung bersemangat spiritual seperti karya Sang Buddha (The Buddha), 2003, dengan ukuran 56 x 45 x 15 cm. Atau yang lain, bisa ditafsirkan sejenis dengan iman Kristianinya tentang Yesus (Jesus), 2004 dengan ukuran 125 x 30 x 30 cm di ruang pamer.
G.Sidharta menggali bentuk-bentuk anatomi yang elok tapi saling berlainan bentuk pengucapan artistiknya, yang kadangkala tubuh dan sosok mengikuti pola-pola geometrik dengan sudut-sudut tajam, sesekali menyalin seperti bentuk aslinya di alam pun kadang-kadang mendistorsi bentuk-bentuk secara luwes seperti elemen alam, meyerupai gerak air.
Misalkan silakan diperbandingkan antara penggayaan Kuda (Horse), 1987 tahun-tahun saat distorsi membuat out-line sosok kuda bersatu dengan penunggangnya, yang berbeda misalkan ke tahun sekitar 1990-2000-an dengan karya Berpelukan (Hugging), 1999, selisih lebih sepuluh tahun G.Sidharta mencoba mengembangkan patungnya tampil harmonis antara tubuh-sosok dengan karya Berpelukan (Hugging), 1999. Namun terasa ada energi bentuk tak beraturan disekujur dua figur berpelukan disana dibanding karya yang tahun 1987 itu. Seniman ini memang piawai menjaga harmoni bentuk dengan cara yang berlainan dalam rentang waktu tertentu.
Kekuasaan ala Jawa
tulis komentar anda