Angka Perkawinan di Indonesia Menurun: Gak Bahaya Tah?!
Selasa, 19 Maret 2024 - 12:52 WIB
Begitu pula yang berargumentasi bahwa penurunan angka perkawinan ini karena faktor ekonomi. Dalam kultur sosiologis masyarakat Indonesia, masalah ekonomi pada saat melangsungkan perkawinan biasanya ditanggung bersama-sama antar keluarga.
Bisa jadi telah terjadi perubahan sistem fungsional keluarga di tengah masyarakat Indonesia. Penurunan angka perkawinan di satu sisi dan kenaikan kasus perceraian di sisi yang lain, merupakan sinyal terjadinya perubahan sistem dan fungsi keluarga.
Dalam pandangan masyarakat Indonesia umumnya, tidak ada keluarga tanpa rumah tangga, dan tidak ada rumah tangga tanpa perkawinan. Dengan kata lain perkawinan menjadi pintu gerbang utama untuk mengakses potret keluarga sebagai miniatur masyarakat yang tidak hanya one-way street (jalan satu arah).
Keluarga (family) menggambarkan unit terkecil dalam kehidupan sosial yang terjalin interaksi dan komunikasi secara harmonis, serta hidup sejahtera baik jasmani maupun rohani yang diperoleh secara halal dan legal. Halal dan legal adalah penciri keluarga Indonesia yang terbentuk dari ikatan perkawinan yang sah secara hokum dan agama.
Dalam administrasi kependudukan yang diterapkan di Indonesia, hampir mustahil unit keluarga tanpa ada dasar hubungan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi di luar negeri yang membolehkan masyarakatnya membangun keluarga tanpa ikatan perkawinan.
Fenomena penurunan angka perkawinan akan berdampak pada ciri keluarga Indonesia ke depannya. Apakah masyarakat Indonesia ingin berkeluarga tanpa proses perkawinan?
Gak Bahaya Tah?!
Kekhawatiran timbulnya generasi keluarga baru Indonesia tanpa ikatan perkawinan merupakan sesuatu yang wajar. Pasalnya, dalam sepuluh tahun terakhir ini juga sedang booming isu seputar child-free dan childless yaitu pasangan yang mendeklarasikan tidak ingin punya anak.
Tak mustahil, kalau sudah menyatakan diri hidup tanpa anak maka buat apa melangsungkan perkawinan secara sah? Keluarga menjadi tidak penting dalam pandangan mereka. Faktor lainnya seperti kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kasus konflik rumah tangga dan perceraian juga memicu orang tidak tertarik melangsungkan perkawinan.
Berdasarkan fenomena yang kini terjadi di masyarakat itu diperlukan langkah-langkah konstruktif, yaitu: Pertama, mengampanyekan isu perkawinan secara proporsional. Sejauh ini kebanyakan yang dikampanyekan adalah stop menikah usia muda dengan narasi yang membuat ciut hati orang yang melihat dan membacanya. Sebaiknya ke depan dirubah menjadi kampanye pendewasaan usia perkawinan yang lebih moderat dan maslahat.
Bisa jadi telah terjadi perubahan sistem fungsional keluarga di tengah masyarakat Indonesia. Penurunan angka perkawinan di satu sisi dan kenaikan kasus perceraian di sisi yang lain, merupakan sinyal terjadinya perubahan sistem dan fungsi keluarga.
Dalam pandangan masyarakat Indonesia umumnya, tidak ada keluarga tanpa rumah tangga, dan tidak ada rumah tangga tanpa perkawinan. Dengan kata lain perkawinan menjadi pintu gerbang utama untuk mengakses potret keluarga sebagai miniatur masyarakat yang tidak hanya one-way street (jalan satu arah).
Keluarga (family) menggambarkan unit terkecil dalam kehidupan sosial yang terjalin interaksi dan komunikasi secara harmonis, serta hidup sejahtera baik jasmani maupun rohani yang diperoleh secara halal dan legal. Halal dan legal adalah penciri keluarga Indonesia yang terbentuk dari ikatan perkawinan yang sah secara hokum dan agama.
Dalam administrasi kependudukan yang diterapkan di Indonesia, hampir mustahil unit keluarga tanpa ada dasar hubungan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi di luar negeri yang membolehkan masyarakatnya membangun keluarga tanpa ikatan perkawinan.
Fenomena penurunan angka perkawinan akan berdampak pada ciri keluarga Indonesia ke depannya. Apakah masyarakat Indonesia ingin berkeluarga tanpa proses perkawinan?
Gak Bahaya Tah?!
Kekhawatiran timbulnya generasi keluarga baru Indonesia tanpa ikatan perkawinan merupakan sesuatu yang wajar. Pasalnya, dalam sepuluh tahun terakhir ini juga sedang booming isu seputar child-free dan childless yaitu pasangan yang mendeklarasikan tidak ingin punya anak.
Tak mustahil, kalau sudah menyatakan diri hidup tanpa anak maka buat apa melangsungkan perkawinan secara sah? Keluarga menjadi tidak penting dalam pandangan mereka. Faktor lainnya seperti kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kasus konflik rumah tangga dan perceraian juga memicu orang tidak tertarik melangsungkan perkawinan.
Berdasarkan fenomena yang kini terjadi di masyarakat itu diperlukan langkah-langkah konstruktif, yaitu: Pertama, mengampanyekan isu perkawinan secara proporsional. Sejauh ini kebanyakan yang dikampanyekan adalah stop menikah usia muda dengan narasi yang membuat ciut hati orang yang melihat dan membacanya. Sebaiknya ke depan dirubah menjadi kampanye pendewasaan usia perkawinan yang lebih moderat dan maslahat.
Lihat Juga :
tulis komentar anda