PDIP Harus Beroposisi
Rabu, 06 Maret 2024 - 08:35 WIB
Kendala
Dalam praktik politik di Indonesia selama ini, hampir semua anggota DPR tidak bisa menjalankan fungsinya secara maksimal terutama fungsi pengawasan. Pasalnya, yang mengendalikan anggota DPR adalah ketua atau pimpinan parpol pengusung sang anggota DPR. Ketika seorang anggota DPR mengkritisi presiden atau seorang menteri, dan presiden tidak berkenan, maka presiden tinggal menghubungi ketua parpolnya. Selanjutnya anggota DPR tersebut bisa mendapat teguran bahkan sanksi, seperti dipindahkan dari satu komisi tertentu ke komisi lain.Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pengawasan DPR masih terlihat karena jumlah kursi DPR dari PDIP yang oposisi di DPR banyak. Namun, dalam sembilan tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ini, fungsi pengawasan DPR hampir tidak terlihat. Bahkan, selama ini, faktanya semua anggota DPR dari parpol pengusung presiden, termasuk PDIP di dalamnya, tahu diri untuk tidak vokal terhadap presiden dan menteri-menterinya.
Bahkan, faktanya juga, hampir semua anggota DPR dari parpol pengusung Presiden Jokowi, seiya sekata dengan presiden merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membuat dan mengesahkan UU Cipta Kerja. Revisi dan pembuatan dua UU tersebut mendapat kritikan keras dari masyarakat dan akademisi, namun DPR dan pemerintah 'tutup telinga'. Akibatnya, fungsi KPK dipreteli dan keberadaannya saat ini tidak bertaji lagi. UU Cipta Kerja disahkan sungguh memakan banyak korban, terutama pekerja dan buruh.
Harapan untuk Pemerintahan Baru
Sampai hari ini, semua masyarakat Indonesia menunggu penetapan resmi KPU siapa pemenang Pilpres 2024. Hampir tiap hari media massa dan media sosial memberitakan dugaan kecurangan pelaksanaan pemilu, terutama Pilpres. Kita berharap jika ada dugaan kecurangan terstruktur, sistematif dan massif (TSM) harus diproses secara hukum di Mahkamah Konstutisi (MK). Hasil putusan MK inilah nantinya menjadi dasar KPU menetapkan pasangan calon Pilres sebagai pemenang.Kalau tidak dilakukan gugatan kecurangan di MK, maka KPU langsung melakukan penetapan pemenang Pilpres. Berdasarkan hitung cepat dan rekap KPU sampai 4 Maret 2024, penulis berkeyakinan, pasangan Prabowo-Gibran memenangi Pilres 2024. Terlepas dari keduanya bermasalah, sebagai warga Indonesia yang menganut sistem demokrasi (Pancasila), harus menerimanya. Prabowo diduga menculik 13 aktivis dan karena itu sudah diberhentikan dengan tidak hormat dari militer. Sedangkan Gibran adalah 'anak haram konstitusi' karena pamannya Anwar Usman mengabulkan uji materi UU Pemilu dengan mengabaikan etika, sehingga Gibran bisa menjadi cawapres Prabowo.
Kalau benar Prabowo-Gibran memenangi Pilpres, maka tugas semua warga negara ke depan adalah mengawasi kinerja mereka. Masyarakat harus memberikan masukan yang konstruktif entah melalui media massa, media sosial, maupun melalui DPR.
DPR harus meningkatkan fungsi pengawasan untuk pemerintahan Prabowo-Gibran. Untuk itu, PDIP, Nasdem, PKB, dan PKS sebaiknya berada pada posisi oposisi kepada pemerintahan yang akan datang. Para pimpinan parpol jangan 'pegang ekor' para anggota DPR-nya agar DPR leluasa mengawasi pemerintah. Tentu yang kita harapkan adalah semua anggota DPR dari parpol oposisi melakukan pengawasan atau krtikan yang konstruktif kepada pemerintah.
Penulis berharap, semua anggota DPR, terutama yang beroposisi dengan pemerintah agar jauhi perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) agar dengan demikian 'merdeka' mengawasi kinerja pemerintah. Yang perlu diawasi benar untuk pemerintahan Prabowo-Gibran adalah soal keberadaan lembaga dan aparat penegakan hukum serta perlindungan dan penegakan HAM. Mengapa? Karena, pertama, penulis khawatir Prabowo mengintervensi lembaga dan aparat penegakan hukum seperti gaya Orde Baru agar tidak mengusut dugaan korupsi terkait proyek pemerintah. Proyek pemerintah yang rentan korupsi ke depan adalah pelaksanaan Program Makan Gratis. Kita berharap KPK meningkatkan fungsinya mengawasi Program Makan Siang Gratis ini.
Perlu diingat, ada tiga korupsi yang susah diusut zaman Orde Baru adalah korupsi yang dilakukan parpol (Golkar), korupsi yang dilakukan pihak Istana (Cendana) dan korupsi yang dilakukan ABRI (Baca Geoge Junus Aditjondro). Bisa saja zaman Prabowo nanti korupsi dilakukan parpol koalisi pendukungnya, korupsi yang dilakukan relawan Prabowo-Jokowi, dan korupsi yang dilakukan aparat Polri dan TNI.
Kekhawatiran penulis yang kedua adalah pada zaman pemerintahan Prabowo-Gibran, maka kasus pelanggaran HAM akan meningkat. Apalagi, begitu Prabowo dinyatakan menang dalam hitungan cepat sejumlah lembaga survei, belakangan ini banyak pemuda yang diduga bekas preman bermunculan untuk memukul semua pemerotes atau pengunjukrasa atas dugaan kecurangan Pemilu dari kubu Prabowo-Gibran.
tulis komentar anda