PDIP Harus Beroposisi

Rabu, 06 Maret 2024 - 08:35 WIB
loading...
PDIP Harus Beroposisi
Dosen FH Universitas Tama Jagakarsa Jakarta, S Edi Hardum. FOTO/IST
A A A
S Edi Hardum
Doktor Ilmu Hukum, Dosen FH Universitas Tama Jagakarsa Jakarta

PEMILU 2024 telah dilaksanakan dan saat ini tinggal menunggu hasil rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Berdasarkan data sementara sampai 4 Maret 2024, paslon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies-Muhaimin meraih 24,49%; paslon nomor urut 2 Prabowo-Gibran 58,83%; dan paslon nomor urut 3 Ganjar-Mahfud 16,68%. Sedangkan untuk partai politik (parpol), untuk sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) meraih suara teratas, diikuti Partai Golkar, Partai Gerindra, dan seterusnya.

Untuk calon anggota legislatif DPR dan DPD saat ini sudah bisa memastikan diri lolos atau tidak. Caleg DPRD Kota/Kabupaten dan Provinsi juga demikian. Berdasarkan hasil sementara pemilu tersebut, maka ada yang sedih dan ada yang gembira. Yang menang pasti bergembira. Sebaliknya, yang kalah pasti sedih, bahkan yang mengerikan adalah menyalahkan pihak lain atas kekalahan yang didapat.

Fungsi DPR

Tulisan ini hanya membahas peran legislatif (DPR) sebagai pengontrol eksekutif. Menjadi anggota DPR merupakan jabatan yang diburu banyak orang. Sebab, selain gengsi karena mempunyai tugas besar dan berat 'membangun negara', anggota DPR juga mendapat gaji dan sejumlah tunjangan yang besar. Belum lagi pendapatan di luar gaji dan tunjangan resmi. Tdak heran banyak anggota DPR yang sudah menjabat lebih dari satu periode hidup berkelimpahan harta. Bisa membangun rumah lebih dari satu, membangun hotel, mempunyai tanah serta kebun puluhan hektare dan sebagainya.

Keberadaan DPR penting dalam negara demokrasi. Keberadaan DPR, selain DPD, merupakan satu dari empat pilar kekuatan dalam negara demokrasi, selain eksekutif, yudikatif, dan pers. Namun, dengan adanya industry 4.0 (digitalisasi) saat ini, maka media sosial merupakan kekuatan kelima dalam negara demokrasi.

Tiga fungsi DPR sebagaimana diatur dalam pasal 20A ayat 1 UUD 1945 legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang yakni menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas), menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU), membahas RUU yang diusulkan oleh presiden ataupun DPD, menetapkan UU bersama dengan Presiden. Selanjutnya, menyetujui atau tidak menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perrpu) yang diajukan Presiden untuk ditetapkan menjadi UU, menerima RUU yang diajukan oleh DPD terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Untuk fungsi anggaran, DPR memiliki tugas dan wewenang memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan presiden, memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama. Selanjutnya menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara maupun terhadap perjanjian yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara.

Dalam fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah. Selain itu, membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama.

Kendala

Dalam praktik politik di Indonesia selama ini, hampir semua anggota DPR tidak bisa menjalankan fungsinya secara maksimal terutama fungsi pengawasan. Pasalnya, yang mengendalikan anggota DPR adalah ketua atau pimpinan parpol pengusung sang anggota DPR. Ketika seorang anggota DPR mengkritisi presiden atau seorang menteri, dan presiden tidak berkenan, maka presiden tinggal menghubungi ketua parpolnya. Selanjutnya anggota DPR tersebut bisa mendapat teguran bahkan sanksi, seperti dipindahkan dari satu komisi tertentu ke komisi lain.

Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pengawasan DPR masih terlihat karena jumlah kursi DPR dari PDIP yang oposisi di DPR banyak. Namun, dalam sembilan tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ini, fungsi pengawasan DPR hampir tidak terlihat. Bahkan, selama ini, faktanya semua anggota DPR dari parpol pengusung presiden, termasuk PDIP di dalamnya, tahu diri untuk tidak vokal terhadap presiden dan menteri-menterinya.

Bahkan, faktanya juga, hampir semua anggota DPR dari parpol pengusung Presiden Jokowi, seiya sekata dengan presiden merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membuat dan mengesahkan UU Cipta Kerja. Revisi dan pembuatan dua UU tersebut mendapat kritikan keras dari masyarakat dan akademisi, namun DPR dan pemerintah 'tutup telinga'. Akibatnya, fungsi KPK dipreteli dan keberadaannya saat ini tidak bertaji lagi. UU Cipta Kerja disahkan sungguh memakan banyak korban, terutama pekerja dan buruh.

Harapan untuk Pemerintahan Baru

Sampai hari ini, semua masyarakat Indonesia menunggu penetapan resmi KPU siapa pemenang Pilpres 2024. Hampir tiap hari media massa dan media sosial memberitakan dugaan kecurangan pelaksanaan pemilu, terutama Pilpres. Kita berharap jika ada dugaan kecurangan terstruktur, sistematif dan massif (TSM) harus diproses secara hukum di Mahkamah Konstutisi (MK). Hasil putusan MK inilah nantinya menjadi dasar KPU menetapkan pasangan calon Pilres sebagai pemenang.

Kalau tidak dilakukan gugatan kecurangan di MK, maka KPU langsung melakukan penetapan pemenang Pilpres. Berdasarkan hitung cepat dan rekap KPU sampai 4 Maret 2024, penulis berkeyakinan, pasangan Prabowo-Gibran memenangi Pilres 2024. Terlepas dari keduanya bermasalah, sebagai warga Indonesia yang menganut sistem demokrasi (Pancasila), harus menerimanya. Prabowo diduga menculik 13 aktivis dan karena itu sudah diberhentikan dengan tidak hormat dari militer. Sedangkan Gibran adalah 'anak haram konstitusi' karena pamannya Anwar Usman mengabulkan uji materi UU Pemilu dengan mengabaikan etika, sehingga Gibran bisa menjadi cawapres Prabowo.

Kalau benar Prabowo-Gibran memenangi Pilpres, maka tugas semua warga negara ke depan adalah mengawasi kinerja mereka. Masyarakat harus memberikan masukan yang konstruktif entah melalui media massa, media sosial, maupun melalui DPR.

DPR harus meningkatkan fungsi pengawasan untuk pemerintahan Prabowo-Gibran. Untuk itu, PDIP, Nasdem, PKB, dan PKS sebaiknya berada pada posisi oposisi kepada pemerintahan yang akan datang. Para pimpinan parpol jangan 'pegang ekor' para anggota DPR-nya agar DPR leluasa mengawasi pemerintah. Tentu yang kita harapkan adalah semua anggota DPR dari parpol oposisi melakukan pengawasan atau krtikan yang konstruktif kepada pemerintah.

Penulis berharap, semua anggota DPR, terutama yang beroposisi dengan pemerintah agar jauhi perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) agar dengan demikian 'merdeka' mengawasi kinerja pemerintah. Yang perlu diawasi benar untuk pemerintahan Prabowo-Gibran adalah soal keberadaan lembaga dan aparat penegakan hukum serta perlindungan dan penegakan HAM. Mengapa? Karena, pertama, penulis khawatir Prabowo mengintervensi lembaga dan aparat penegakan hukum seperti gaya Orde Baru agar tidak mengusut dugaan korupsi terkait proyek pemerintah. Proyek pemerintah yang rentan korupsi ke depan adalah pelaksanaan Program Makan Gratis. Kita berharap KPK meningkatkan fungsinya mengawasi Program Makan Siang Gratis ini.

Perlu diingat, ada tiga korupsi yang susah diusut zaman Orde Baru adalah korupsi yang dilakukan parpol (Golkar), korupsi yang dilakukan pihak Istana (Cendana) dan korupsi yang dilakukan ABRI (Baca Geoge Junus Aditjondro). Bisa saja zaman Prabowo nanti korupsi dilakukan parpol koalisi pendukungnya, korupsi yang dilakukan relawan Prabowo-Jokowi, dan korupsi yang dilakukan aparat Polri dan TNI.

Kekhawatiran penulis yang kedua adalah pada zaman pemerintahan Prabowo-Gibran, maka kasus pelanggaran HAM akan meningkat. Apalagi, begitu Prabowo dinyatakan menang dalam hitungan cepat sejumlah lembaga survei, belakangan ini banyak pemuda yang diduga bekas preman bermunculan untuk memukul semua pemerotes atau pengunjukrasa atas dugaan kecurangan Pemilu dari kubu Prabowo-Gibran.

Ketiga, penulis juga khawatir dengan wapres Gibran ke depan akan melakukan pengkhianatan dan pelanggaran etika dalam setiap tugasnya. Pasalnya, Gibran sudah secara nyata mengkhianati PDIP demi dicalonkan sebagai calon Wapres Prabowo. Selain itu, ia bisa dicalonkan menjadi wakil Prabowo karena pamannya melanggar etika di MK. Atas tindakannya itu, pamannya dipecat dari Ketua MK.

Maka karena itulah, penulis merasa perlu ada oposisi yang ditangguh di DPR. Tentu selain DPR, masyarakat juga harus berani dan kritis. Penegak hukum diharapkan tidak mengkriminalisasi para pengkritik by data dan fakta. Walaupun di sini lain penulis yakin bahwa karena Prabowo dan Gibran merasa bermasalah secara etika dan diduga bermasalah juga secara hukum, terutama hukum militer yang telah memecat Prabowo dari militer tahun 1998, maka mereka akan benar-benar bekerja maksimal demi kepentingan bangsa dan negara dengan menaati peraturan perundang-undangan.Dengan mereka bekerja baik dan benar, maka kesalahan mereka tentu dilupakan dan dimaafkan masyarakat.

Walau demikian, sekali lagi penulis berharap, tugas DPR sebagaimana digariskan UUD 1945 harus dimaksimalkan. Jadi DPR bukan sekadar gengsi belaka. Jangan sakiti hati masyarakat. Semoga!
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1625 seconds (0.1#10.140)