Silsilah Sejarah dalam Sunyi Puisi

Sabtu, 24 Februari 2024 - 20:04 WIB
Bertabur Sejarah

Ihwal sejarah bertaburan dalam puisi-puisi Iswadi di buku ini. Dengan piawai ia melenting dari sisi benua ke benua lain. Ia seperti ingin merangkum, memberikan bercak jejak kemudian berbagi dalam kisah pedih yang perih. Ia berkisah tentang Mesopotamia: Tigris dan Efrat, menepi ke Lumbini, berkisah tentang Paz, Don Quixote, kemudian berdiam di Orangerie Theatre. Ia juga menjabarkan sebuah lagu dari Pink Floyd.

Bagaiman dengan lirih yang terjaga, ia menulis kesedihan yang “sengit”: Di antara dengkur tubuh-tubuh Makmur/Sambil bersandar di sisa dinding mizbah yang basah/Lelaki itu lirih berdoa://”Tuhan, pintu-Mu telah terbuka, tapi suara-Mu, di mana?”/ Lalu pipi kisut itu basah/lalu dada rentanya, merah/ Seorang serdadu menyemprotkan butiran peluru/ (Puisi “ Efrat: sebuah Fiksi Tentang Perang Suriah” , hal. 24)

Bagaimana ia memekik tentang pembantaian, perang atau ketersiaan yang gemanya terasa sampai hari ini: Di Babilonia, kudengar pekik Hammurabi./ Di antara puing bangunan, di Timur dan Selatan./ Sebuah peradaban dibangun di atas genangan darah/ dari pedang pemberontakan Elam./ Tanah yang kini terbengkaia dan gersang, di sanalah/ kukenang lagi Samsuiluna, Venus yang terbit dan terbenam,/ orang-orang Hitti yang tertindas dan meradang/ (Puisi “Tersebab Sunyi”, hal. 36)

Sebagaimana juga puisi yang menjadi judul buku ini, berdasarkan hasil penelurusan dapat berupa judul lagu dari Mozart yang dibuat tahun 1791. Proses pembuatan lagu yang tetap dikerjakan oleh Mozart meskipun dirinya telah sekarat dan merupakan permintaan khusus dari tamu misterius. Pada akhirnya memang Mozart hanya sempat menulis bait pertama dari lagu itu, dan selebihnya diselesaikan oleh Salieri dan murid Mozart.

baca juga: Buku dan Kertas Berlalu

Secara latin Lacrimosa bermakna penuh air mata/menangis. Dalam puisi “Lacrimosa” justru Iswadi menyigi ihwal puisi itu sendiri. Ia menjabarkan nama-nama penyair yang besar dalam belantara sastra Indonesia dan mendedahkan kata-kata dari puisi.

Ia menulis: Duhai, sudah kaureguk khusyuk dendang Fanshuri,/ gumam gurindam, pantun di dusun-dusun, hingga mabuk/ dalam mantera Tardji, mangkir sejalang Chairil, hanyut/ di lirih Sapardi, lalu absen dari kenangan/Kwatrin Sebuah Poci./ Duhai…/Kalaulah bisa kutebus ketersianmu dengan nafasku/ Kalaulah mungkin huruf-hurufmu kuhapus/ dari setiap kata yang pernah kuutus/ Betapa aku ingin seluruh kalimat tamat dari setiap lembar/ kitab, dari semua kisah yang tak mendapat tempat/ (hal. 57)

Akhirnya memang, Iswadi menyerahkan segalanya kepada pembaca puisi-puisinya. Ia telah meyakini bila puisi-puisi telah “mengembara” ke pelbagai hal. Ia telah melepaskannya, bahkan untuk perihal yang tak indah sekalipun. Membiarkan puisi-puisinya terus mengembara dan membuka khazanah lain di benak para pembacanya. Dengan membacanya, mungkin kita tak terjebak dalam tuna bahasa:Dan di sajak lasak ini/ Kau mengelak dari tiap diksi/ tata Bahasa hanya tuna/ Kau tuang yang tetap sabah/ (Puisi “Tuna Bahasa”, hal. 17)

Judul Buku : Lacrimosa (kumpulan puisi)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More