Guru Besar FISIP UI Sebut Proses Pemilu 2024 Meragukan dan Manipulatif
Kamis, 22 Februari 2024 - 23:04 WIB
JAKARTA - Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Valina Singka Subekti menilai, penyelenggaraan Pemilu 2024 belum sesuai konstitusi. Pasalnya, selain menimbulkan kecurigaan masyarakat, Pemilu 2024 dinilai curang dan manipulatif.
Menurutnya, masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan pemilu yang jurdil.
"Masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan Pemilu yang jurdil," ujar Valina saat menjadi pembicara pada seminar Kebijakan Publik, Kamis (22/2/2024).
Dia mengatakan, Pemilu yang seharusnya menjadi pintu masuk untuk menghasilkan pemimpin baru yang berkapasitas, berjiwa pemimpin (leadership), memahami prinsip, dan nilai-nilai etik demokrasi, justru sarat kecurangan.
Legitimasi politik dan legitimasi moral yang harus dimiliki seorang pemimpin baru justru dipandang mengecewakan lantaran adanya dugaan kecurangan dan manipulatif.
"Masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan Pemilu yang jurdil," paparnya.
Keadaan seperti ini, lanjut Valina, belum pernah terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya di negeri ini. Awalnya dia berharap, Pemilu ke-6 pascareformasi ini lebih baik dan menjadi pintu masuk konsolidasi demokrasi Indonesia, yang selama ini berjalan tertatih-tatih. Namun, yang terjadi sebaliknya.
"Konsolidasi demokrasi tidak berjalan baik karena berbagai manuver tidak etis dari elite politik sebelum Pemilu. Isu perpanjangan masa jabatan presiden, isu penundaan Pemilu, cawe-cawe presiden dalam pencalonan capres, dan isu pilpres satu putaran memperkuat opini publik bahwa Pemilu tidak akan jurdil," paparnya.
Menurutnya, masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan pemilu yang jurdil.
"Masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan Pemilu yang jurdil," ujar Valina saat menjadi pembicara pada seminar Kebijakan Publik, Kamis (22/2/2024).
Dia mengatakan, Pemilu yang seharusnya menjadi pintu masuk untuk menghasilkan pemimpin baru yang berkapasitas, berjiwa pemimpin (leadership), memahami prinsip, dan nilai-nilai etik demokrasi, justru sarat kecurangan.
Legitimasi politik dan legitimasi moral yang harus dimiliki seorang pemimpin baru justru dipandang mengecewakan lantaran adanya dugaan kecurangan dan manipulatif.
"Masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan Pemilu yang jurdil," paparnya.
Keadaan seperti ini, lanjut Valina, belum pernah terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya di negeri ini. Awalnya dia berharap, Pemilu ke-6 pascareformasi ini lebih baik dan menjadi pintu masuk konsolidasi demokrasi Indonesia, yang selama ini berjalan tertatih-tatih. Namun, yang terjadi sebaliknya.
"Konsolidasi demokrasi tidak berjalan baik karena berbagai manuver tidak etis dari elite politik sebelum Pemilu. Isu perpanjangan masa jabatan presiden, isu penundaan Pemilu, cawe-cawe presiden dalam pencalonan capres, dan isu pilpres satu putaran memperkuat opini publik bahwa Pemilu tidak akan jurdil," paparnya.
tulis komentar anda