Jaga Pemilu Sebut Salah Input Sirekap Jadi Pelanggaran Tertinggi

Sabtu, 17 Februari 2024 - 21:36 WIB
Luky menilai, apa yang terjadi di Pemilu 2024 tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan Pemilu 1992 ketika Orde Baru masih berkuasa. Akan hal itu, setelah 30 tahun Indonesia menyelenggarakan pemilu bebas, berbagai kesalahan masih terus terjadi.

Dalam kesempatan yang sama, Hadar Gumay menyatakan, kesalahan penginputan data di Sirekap tidak bisa dianggap enteng. Ini karena data rekapitulasi yang secara manual akan dilakukan bertahap sesungguhnya bertumpu pada bahan awal dari aplikasi Sirekap.

Sehingga data Sirekap harus benar-benar jujur mencerminkan perolehan hasil dari TPS. “Jadi kalau bahan awalnya kotor, maka rekap manualnya pun akan tidak bersih,” ucap Hadar.

Hadar mengutip temuan organisasinya yang mengambil 5.000 sampel data Sirekap yang tersebar di 1.172 kelurahan yang dipilih secara acak tersebar di 494 kabupaten/kota. Dari sampel sebanyak itu, ditemukan 2.66% kesalahan suara sah tidak sama dengan jumlah suara paslon, 0.88% suara sah tidak sesuai dengan foto C. Hasil, dan 1,96% satu atau lebih suara paslon tidak sesuai dengan foto C.Hasil.

“Ada kemungkinan di antara sampel ada kesalahan yang telah diperbaiki sebelum diunduh, sehingga tingkat kesalahan sebenarnya lebih tinggi. Sirekap sesungguhnya alat bantu yang sangat penting, tapi sebagaimana alat, ia bisa direkayasa, sehingga harus diperhatikan dan diawasi betul,” kata Hadar.

Hadar menyimpulkan penyelenggara Pemilu 2024 cenderung tidak mandiri. Hadar mengutip intervensi DPR dalam memutuskan apa yang sesungguhnya menjadi wewenang KPU, serta intervensi lainya yang membuat peraturan dan data sampai harus berubah. Misalnya, peraturan tentang kewajiban 30% calon legislatif harus perempuan banyak tidak terwujud. Bahkan ada enam partai yang jelas-jelas tidak memenuhi prasyarat ini.

“Berkali-kali kesalahan yang dilakukan KPU dianggap sebagai persoalan kecil, yang saling ditutupi. Ini persoalan serius. Saya menyoroti penyelenggara pemilu kita saat ini nyata-nyata melaksanakan pemilu tidak sesuai dengan Undang-Undang. Ini cacat besar dalam demokrasi kita. Jadi jangan seolah-olah kita bilang pemilu selesai dan tutup buku,” Haydar menegaskan.

Yanuar Nugroho, pengajar STF Driyarkara yang pernah menjadi Deputi Kantor Staf Presiden pada 2015-2019 menandaskan bahwa berbagai kecurangan yang terjadi tidak boleh dinormalisasi, tidak boleh dimaklumi atau dimaafkan dan tidak boleh diinstitusionalisasikan. Jangan sampai berbagai pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi di lapangan menjadi resep bagi pemimpin lain di Indonesia di masa mendatang.

“Politik gentong babi itu bukan hanya bansos, tapi juga kenaikan gaji bagi aparat negara, penyelenggara pemilu, bahkan sampai ke penunjukkan komisaris,” katanya.
(cip)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More