Tantangan Supply Chain Vaksin Korona di Indonesia

Rabu, 12 Agustus 2020 - 18:07 WIB
Ricky Virona Martono
Ricky Virona Martono

Core Faculty PPM Manajemen

SUDAH beberapa bulan virus korona menghantui kegiatan umat manusia di seluruh dunia. Selama itu pula berbagai usaha dilakukan untuk menemukan vaksin, misalnya oleh Lembaga Eijkman (Indonesia), Universitas Oxford (Inggris), dan China. Sebagai orang awam, bagaimana dan kapan kita memperkirakan vaksin ini membawa kehidupan kita kembali normal?

Tulisan ini dibuat dengan sudut pandang rantai pasok (supply chain) vaksin dan kondisi rantai pasok di Indonesia. Ada beberapa asumsi yang digunakan, yang berguna untuk memberi pandangan, bukan sebagai keragu-raguan karena munculnya beberapa asumsi.

Supply chain adalah sebuah sistem yang mengelola aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Di dalamnya termasuk kegiatan pengadaan (procurement) bahan mentah, proses transformasi bahan mentah menjadi barang jadi (produksi), distribusi, penyimpanan sementara di gudang, proses pembayaran oleh konsumen, dan pengembalian (return) barang dari konsumen ke produsen setelah digunakan. Salah satu contoh return misalnya proses daur ulang (recycle).



Karena isu korona adalah isu kemanusiaan, kita tidak membahas berapa harga produksi dan profit dalam menyediakan vaksin, tapi menitikberatkan pada ketersediaan vaksin dalam jumlah dan kualitas yang benar, dan kapasitas distribusi kepada masyarakat.

Mari kita akan bahas setiap kegiatan di atas untuk vaksin korona. Pertama, informasi dari berbagai media menyebutkan bahwa vaksin selesai uji coba dan dapat digunakan pada bulan Oktober 2020. Jika pada bulan tersebut kita dapat langsung memproduksi vaksin, berapa banyak dan berapa lama waktu dibutuhkan untuk produksinya?

Setelah ditemukan, dibutuhkan proses product design dimana pabrik melakukan uji coba produksi vaksin. Misalnya pada bulan November 2020 produksi vaksin dapat dimulai. Di dalam rantai pasok industri farmasi dan vaksin, secara umum jumlah yang diproduksi sekitar 50% di atas jumlah yang dibutuhkan.

Hal ini untuk antisipasi produksi vaksin yang tidak memenuhi syarat (rusak, reject); pengemasan (packaging) vaksin yang berpotensi rusak selama perjalanan sehingga merusak kondisi vaksin; proses distribusi dan penanganan (handling) yang salah (terjatuh, terkontaminasi, rusak dalam perjalanan); vaksin yang hilang, rusak, atau menurun kualitasnya selama penyimpanan; konsumen yang membutuhkan vaksin kedua kali karena vaksin pertama belum sepenuhnya menyembuhkan dirinya.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More