Kritik Jokowi, Syahganda dan Ahmad Yani Bicara Kebohongan Publik dan Pemakzulan
Jum'at, 26 Januari 2024 - 06:22 WIB
JAKARTA - Ketua Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan dan Ketua Umum Partai Masyumi Ahmad Yani mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) soal presiden boleh kampanye dan berpihak. Syahganda menyarankan Jokowi sebaiknya mengundurkan diri dari jabatan presiden jika ingin berkampanye dan memihak kepada salah satu pasangan capres-cawapres.
"Sebab, hal itu merupakan kebohongan publik, karena sebelumnya Jokowi sudah mengatakan dirinya maupun pemerintah akan netral dalam pilpres, baik pada 30 Oktober 2023 ketika menjamu makan siang ketiga capres, dan pada pidatonya 1 November 2023 lalu," kata Syahganda Nainggolan merespons pernyataan terbaru Jokowi soal netralitas presiden dan pejabat negara pada pilpres, Jumat (26/1/2024).
Syahganda tak yakin pemerintah bisa berjalan dengan baik jika Jokowi tidak menjaga netralitas. "Karena potensi penggunaan kekuasaan negara serta pemerintahan akan terseret dalam urusan copras-capres," ujarnya.
Padahal, kata dia, rakyat membutuhkan pemimpin negarawan dan berintegritas pada situasi pertarungan pilpres maupun pemilu saat ini. "Demi menjaga situasi damai dan terkendali," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Masyumi Ahmad Yani ketidaknetralan Jokowi telah memenuhi unsur pasal pemakzulan atau impeachment. "Baik Pasal 7 maupun Pasal 9 UUD 45. Oleh karena pasal itu mengharuskan presiden harus melaksanakan konstitusi secara selurus-lurusnya, seadil-adilnya dan sejujur-sejujurnya," kata Yani secara terpisah.
"Bagaimana dia bisa berlaku adil, jujur dan lurus jika dia memihak pada capres-cawapres 02, yang ada anaknya di sana," sambungnya .
Maka itu, Yani mengimbau DPR untuk saatnya menjaga kewibawaan konstitusi dengan menggunakan haknya yakni hak menyatakan pendapat (HMP). "HMP itu menyatakan Presiden Jokowi telah menabrak konstitusi," pungkasnya.
Sebelumnya, pihak Istana Kepresidenan buka suara menanggapi banyaknya kritikan terhadap pernyataan Jokowi soal presiden boleh berkampanye dan memihak. “Pernyataan Bapak Presiden di Halim, Rabu 24/01/2024 telah banyak disalahartikan. Apa yang disampaikan oleh presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses,” kata Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana dalam keterangannya, Kamis (25/1/2024).
Ari mengatakan bahwa pernyataan Presiden Jokowi tersebut merespons penjelasan terutama terkait aturan dalam berdemokrasi bagi menteri maupun presiden. "Dalam pandangan presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa kampanye pemilu boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, dan juga kepala daerah dan wakil kepala daerah. Artinya, presiden boleh berkampanye. Ini jelas ditegaskan dalam UU," jelasnya.
Ari pun memberikan contoh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga ikut berkampanye untuk memenangkan partai politik masing-masing. "Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke-5 dan ke-6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya," jelasnya.
"Sebab, hal itu merupakan kebohongan publik, karena sebelumnya Jokowi sudah mengatakan dirinya maupun pemerintah akan netral dalam pilpres, baik pada 30 Oktober 2023 ketika menjamu makan siang ketiga capres, dan pada pidatonya 1 November 2023 lalu," kata Syahganda Nainggolan merespons pernyataan terbaru Jokowi soal netralitas presiden dan pejabat negara pada pilpres, Jumat (26/1/2024).
Syahganda tak yakin pemerintah bisa berjalan dengan baik jika Jokowi tidak menjaga netralitas. "Karena potensi penggunaan kekuasaan negara serta pemerintahan akan terseret dalam urusan copras-capres," ujarnya.
Baca Juga
Padahal, kata dia, rakyat membutuhkan pemimpin negarawan dan berintegritas pada situasi pertarungan pilpres maupun pemilu saat ini. "Demi menjaga situasi damai dan terkendali," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Masyumi Ahmad Yani ketidaknetralan Jokowi telah memenuhi unsur pasal pemakzulan atau impeachment. "Baik Pasal 7 maupun Pasal 9 UUD 45. Oleh karena pasal itu mengharuskan presiden harus melaksanakan konstitusi secara selurus-lurusnya, seadil-adilnya dan sejujur-sejujurnya," kata Yani secara terpisah.
"Bagaimana dia bisa berlaku adil, jujur dan lurus jika dia memihak pada capres-cawapres 02, yang ada anaknya di sana," sambungnya .
Maka itu, Yani mengimbau DPR untuk saatnya menjaga kewibawaan konstitusi dengan menggunakan haknya yakni hak menyatakan pendapat (HMP). "HMP itu menyatakan Presiden Jokowi telah menabrak konstitusi," pungkasnya.
Sebelumnya, pihak Istana Kepresidenan buka suara menanggapi banyaknya kritikan terhadap pernyataan Jokowi soal presiden boleh berkampanye dan memihak. “Pernyataan Bapak Presiden di Halim, Rabu 24/01/2024 telah banyak disalahartikan. Apa yang disampaikan oleh presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses,” kata Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana dalam keterangannya, Kamis (25/1/2024).
Ari mengatakan bahwa pernyataan Presiden Jokowi tersebut merespons penjelasan terutama terkait aturan dalam berdemokrasi bagi menteri maupun presiden. "Dalam pandangan presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa kampanye pemilu boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, dan juga kepala daerah dan wakil kepala daerah. Artinya, presiden boleh berkampanye. Ini jelas ditegaskan dalam UU," jelasnya.
Ari pun memberikan contoh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga ikut berkampanye untuk memenangkan partai politik masing-masing. "Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke-5 dan ke-6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya," jelasnya.
(rca)
Lihat Juga :
tulis komentar anda