Kemenangan PDI Pro Mega: Militansi Akar Rumput Adalah Kunci
Jum'at, 12 Januari 2024 - 15:44 WIB
Namun ketika tekanan semakin keras dan akses pendanaan ditutup rapat, PDI Pro Mega bukan malah lemah dan mati, justru akar rumput PDI Pro Mega mengalami radikalisasi. Sebuah proses yang tak pernah dibayangkan sebelumnya oleh rezim Orde Baru. Akar rumput PDI Pro Mega yang semakin militan ini kemudian menciptakan sebuah model pembiayaan politik yang survival dengan semangat gotong royong. Sehingga muncul istilah dana perjuangan atau dana gotong royong.
Pembiayaan gotong royong ini bukan datang dari sumbangan sekelompok pengusaha, money laundry atau sindikat bisnis penguasa. Melainkan datang dari kalangan kelas ekonomi bawah, seperti supir bajaj, tukang becak, pekerja informal ataupun pedagang kecil di pasar tradisional. Mereka menyumbangkan apa yang mereka punya seperti air mineral, beras, sayuran, indomie, gula, teh, kopi sampai dengan ikan asin.
Dari partisipasi aktif akar rumput ini, kemudian lahir dapur-dapur umum yang dikeola oleh ibu-ibu simpatisan akar rumput PDI Pro Mega. Model pendanaan akar rumput dengan skema swadana yang dikelola dengan swakelola inilah yang menopang Gerakan PDI Pro Mega sehingga menjadi ancaman penting rezim Orde Baru.
Model pembiayaan gotong royong kemudian berkembang menjadi locus penting dalam sejarah politik Indonesia yaitu lahirnya Posko Gotong Royong. Mulanya pendirian Posko Gotong Royong dibentuk oleh akar rumput PDI Pro Mega untuk mengantisipasi dampak kerusuhan Mei 1998. Namun berjalannya waktu Posko Gotong Royong berkembang menjadi ruang konsolidasi baru antara fungsionaris partai dengan massa akar rumput.
Dan tak bisa dipungkiri eksistensi Posko Gotong Royong menjadi elemen penopang terbentuknya mesin partai di akar rumput hingga punya kontribusi penting terhadap kemenangan PDI Perjuangan di pemilu 1999.
Posko Gotong Royong menjadi pusat gravitasi politik gerakan PDI Pro Mega baik aktivitas konsolidasi maupun kampanye partai. Tak jarang aktivitas layaknya pembuatan atribut yang berkaitan dengan partai seperti gambar Bung Karno, gambar Megawati, bendera Banteng, kaos partai dan lainnya dikerjakan atau disablon secara mandiri bergotong royong di Posko Gotong Royong.
Bahkan tak jarang, kampung-kampung disekitar Posko Gotong Royong dihiasi dengan segala rupa terkait PDI Pro Mega seperti tembok kampung dihiasi mural Bung Karno dan Megawati, gapura kampung yang dipenuhi spanduk bertuliskan “Anda memasuki Kampung Banteng”, “Zona Pro Mega” dan lain sebagainya. Semua ini dilakukan secara swadana dan swakelola.
Menjelang Pemilu 1999, diseluruh Indonesia diperkirakan sudah berdiri kurang lebih 500.000 Posko, yang berdiri aktif hingga tingkat dusun dan RT/RW. Sebuah mesin pengornisasian politik raksasa yang bukan tumbuh karena mobilisasi amplop, doorprize atau konser dangdut dan sembako, melainkan partisipasi aktif warga hingga warga rela mengrobankan apa yang dimilikinya (swadana) dan mengelolanya secara mandiri (swakelola) untuk perjuangan bersama partai.
Sebuah pola pengorganisasian yang eksentrik ditengah kebijakan politik floating mass Orde Baru yang mencoba mengamputasi kesadaran politik rakyat bawah. Posko Gotong Royong muncul layaknya oase bagi pendidikan politik rakyat yang nyata dan konkret.
Menariknya, Posko Gotong Royong tak hanya melahirkan pendanaan partai yang bersifat swadana dan swakelola. Melainkan juga melahirkan pengamanan swakarsa. Kelahiran Satgas tak bisa dilepaskan dari eksistensi Posko Gotong Royong dimana Posko Gotong Royong menjadi basis rekrutmen anggota satgas. Hingga semua perlengkapan satgas dari seragam, sepatu sampai baret dibiayai secara swadana oleh Posko Gotong Royong.
Pembiayaan gotong royong ini bukan datang dari sumbangan sekelompok pengusaha, money laundry atau sindikat bisnis penguasa. Melainkan datang dari kalangan kelas ekonomi bawah, seperti supir bajaj, tukang becak, pekerja informal ataupun pedagang kecil di pasar tradisional. Mereka menyumbangkan apa yang mereka punya seperti air mineral, beras, sayuran, indomie, gula, teh, kopi sampai dengan ikan asin.
Dari partisipasi aktif akar rumput ini, kemudian lahir dapur-dapur umum yang dikeola oleh ibu-ibu simpatisan akar rumput PDI Pro Mega. Model pendanaan akar rumput dengan skema swadana yang dikelola dengan swakelola inilah yang menopang Gerakan PDI Pro Mega sehingga menjadi ancaman penting rezim Orde Baru.
Model pembiayaan gotong royong kemudian berkembang menjadi locus penting dalam sejarah politik Indonesia yaitu lahirnya Posko Gotong Royong. Mulanya pendirian Posko Gotong Royong dibentuk oleh akar rumput PDI Pro Mega untuk mengantisipasi dampak kerusuhan Mei 1998. Namun berjalannya waktu Posko Gotong Royong berkembang menjadi ruang konsolidasi baru antara fungsionaris partai dengan massa akar rumput.
Dan tak bisa dipungkiri eksistensi Posko Gotong Royong menjadi elemen penopang terbentuknya mesin partai di akar rumput hingga punya kontribusi penting terhadap kemenangan PDI Perjuangan di pemilu 1999.
Posko Gotong Royong menjadi pusat gravitasi politik gerakan PDI Pro Mega baik aktivitas konsolidasi maupun kampanye partai. Tak jarang aktivitas layaknya pembuatan atribut yang berkaitan dengan partai seperti gambar Bung Karno, gambar Megawati, bendera Banteng, kaos partai dan lainnya dikerjakan atau disablon secara mandiri bergotong royong di Posko Gotong Royong.
Bahkan tak jarang, kampung-kampung disekitar Posko Gotong Royong dihiasi dengan segala rupa terkait PDI Pro Mega seperti tembok kampung dihiasi mural Bung Karno dan Megawati, gapura kampung yang dipenuhi spanduk bertuliskan “Anda memasuki Kampung Banteng”, “Zona Pro Mega” dan lain sebagainya. Semua ini dilakukan secara swadana dan swakelola.
Menjelang Pemilu 1999, diseluruh Indonesia diperkirakan sudah berdiri kurang lebih 500.000 Posko, yang berdiri aktif hingga tingkat dusun dan RT/RW. Sebuah mesin pengornisasian politik raksasa yang bukan tumbuh karena mobilisasi amplop, doorprize atau konser dangdut dan sembako, melainkan partisipasi aktif warga hingga warga rela mengrobankan apa yang dimilikinya (swadana) dan mengelolanya secara mandiri (swakelola) untuk perjuangan bersama partai.
Sebuah pola pengorganisasian yang eksentrik ditengah kebijakan politik floating mass Orde Baru yang mencoba mengamputasi kesadaran politik rakyat bawah. Posko Gotong Royong muncul layaknya oase bagi pendidikan politik rakyat yang nyata dan konkret.
Menariknya, Posko Gotong Royong tak hanya melahirkan pendanaan partai yang bersifat swadana dan swakelola. Melainkan juga melahirkan pengamanan swakarsa. Kelahiran Satgas tak bisa dilepaskan dari eksistensi Posko Gotong Royong dimana Posko Gotong Royong menjadi basis rekrutmen anggota satgas. Hingga semua perlengkapan satgas dari seragam, sepatu sampai baret dibiayai secara swadana oleh Posko Gotong Royong.
tulis komentar anda