Rizal Ramli, Selamanya Oposisi untuk Menjaga Demokrasi
Rabu, 03 Januari 2024 - 12:51 WIB
Prof. Didik Junaidi Rachbini, M.Sc., Ph.D
Rektor Universitas Paramadina
SUATU pagi ketika Rizal Ramli (RR) masih menjabat Menteri Koordinator Perekonomian (2000-2001), menelepon saya langsung dari kantornya hanya sekadar memberi apresiasi dan respek terhadap muatan ide di dalam tulisan saya di harian Kompas tentang utang luar negeri.
Dahulu, zaman Orde Baru, kita tergantung kepada utang luar negeri sehingga ada sisi kurang berdaulat dan ada nuansa didikte dalam kebijakan ekonomi. Saya sudah tidak ingat keseluruhan ide dari tulisan tersebut karena hari-hari berikutnya selalu ada saja artikel yang harus saya tulisan untuk majalah Tempo, harian Republika, Bisnis Indonesia, dan lainnya.
Setelah pembicaraan utang dan macam-macam selesai, saya berpikir, jika respons Menko Rizal baik, maka saya perlu membaca dan melanjutkan ide-ide yang ada di dalamnya. Saya membaca kembali tulisan tersebut dan saya pikir muatannya cukup mendalam dan kritis. Dari percakapan bersifat pribadi dan persahabatan intelektual tersebut, maka saya dengan dasar sub-sub bab dari tulisan tersebut kemudian menjadi bab-bab di dalam buku yang berjudul Ekonomi Politik Utang.
Pengalaman bersama dan komunikasi saya dengan Rizal Ramli bersifat akademik, intelektual, sampai yang bersifat pribadi. Saya memahami gejolak di dalam dirinya untuk terus mengobarkan tidak hanya hal akademik dan riset, tetapi juga gerakan yang terus menonjol dalam aktivitasnya sehari-hari.
Pengalaman pribadi lain sejak pertengahan 1990-an, Rizal Ramli mendirikan lembaga think tank Econit yang terkenal, saya dan rekan-rekan mendirikan lembaga think Tank lain yaitu Indef. Didirikan bersamaan pada masa Orde Baru masih sangat kuat dan monopoli kebenaran hanya ada di kelompok ekonom pemerintah.
Kini, Rizal Ramli sudah meninggalkan kita. Siapa tidak kenal Rizal Ramli tokoh yang masa mudanya tumbuh dalam gerakan dan ranah intelektual. Akhir-akhir ini yang menonjol adalah gerakan oposisi untuk melawan praktik antidemokrasi di dalam kekuasaan.
Rektor Universitas Paramadina
SUATU pagi ketika Rizal Ramli (RR) masih menjabat Menteri Koordinator Perekonomian (2000-2001), menelepon saya langsung dari kantornya hanya sekadar memberi apresiasi dan respek terhadap muatan ide di dalam tulisan saya di harian Kompas tentang utang luar negeri.
Dahulu, zaman Orde Baru, kita tergantung kepada utang luar negeri sehingga ada sisi kurang berdaulat dan ada nuansa didikte dalam kebijakan ekonomi. Saya sudah tidak ingat keseluruhan ide dari tulisan tersebut karena hari-hari berikutnya selalu ada saja artikel yang harus saya tulisan untuk majalah Tempo, harian Republika, Bisnis Indonesia, dan lainnya.
Setelah pembicaraan utang dan macam-macam selesai, saya berpikir, jika respons Menko Rizal baik, maka saya perlu membaca dan melanjutkan ide-ide yang ada di dalamnya. Saya membaca kembali tulisan tersebut dan saya pikir muatannya cukup mendalam dan kritis. Dari percakapan bersifat pribadi dan persahabatan intelektual tersebut, maka saya dengan dasar sub-sub bab dari tulisan tersebut kemudian menjadi bab-bab di dalam buku yang berjudul Ekonomi Politik Utang.
Pengalaman bersama dan komunikasi saya dengan Rizal Ramli bersifat akademik, intelektual, sampai yang bersifat pribadi. Saya memahami gejolak di dalam dirinya untuk terus mengobarkan tidak hanya hal akademik dan riset, tetapi juga gerakan yang terus menonjol dalam aktivitasnya sehari-hari.
Pengalaman pribadi lain sejak pertengahan 1990-an, Rizal Ramli mendirikan lembaga think tank Econit yang terkenal, saya dan rekan-rekan mendirikan lembaga think Tank lain yaitu Indef. Didirikan bersamaan pada masa Orde Baru masih sangat kuat dan monopoli kebenaran hanya ada di kelompok ekonom pemerintah.
Kini, Rizal Ramli sudah meninggalkan kita. Siapa tidak kenal Rizal Ramli tokoh yang masa mudanya tumbuh dalam gerakan dan ranah intelektual. Akhir-akhir ini yang menonjol adalah gerakan oposisi untuk melawan praktik antidemokrasi di dalam kekuasaan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda