Debat Cawapres Perdana: Gibran Kombinasikan Gaya Jokowi dan Prabowo
Kamis, 28 Desember 2023 - 05:50 WIB
Gibran kembali menyentil soal IKN ketika Muhaimin menjawab pertanyaan tentang Perkotaan. Muhaimin mengatakan akan membangun 40 kota baru yang selevel Jakarta. Lagi-lagi ia diserang Gibran, yang menurut saya tidak patut karena Gibran menjuluki Muhaimin 'aneh'. Memberi julukan negatif adalah bullying. Tidak patut dilontarkan, apalagi disampaikan dalam forum resmi dan di level Debat Pilpres pula. Gibran memang banyak dibully dan dijuluki dengan beragam panggilan negatif di medsos. Tapi bukan berarti, ia bisa menyebut Cawapres lain 'aneh'. Komisi Pemilihan Umum (KPU) rasanya perlu memberi teguran atas ucapan GIibran tersebut.
Muhaimin mungkin saja kurang lugas, tapi dari jawabannya bisa ditafsirkan bahwa: dari kota yang sudah ada, akan dibuat setara Jakarta. Bukan membangun kota dari nol seperti IKN. Alangkah baiknya jika Gibran mempertegas dengan bertanya yang santun namun kritis, ketimbang menyebut Muhaimin aneh. Kalau membangun baru kenapa tidak setuju IKN? Atau: apakah yang dimaksud adalah kota yang sudah ada, lalu ingin disetarakan dengan Jakarta? Apakah itu mungkin? Pertanyaan semacam itu justru keluar dari Mahfud MD. Saat merespons, Muhaimin sebenarnya bisa sambil mempertegas maksudnya soal membangun 40 kota setara Jakarta tersebut (bahwa bukan kota baru, melainkan meng-upgrade kota existing). Tapi hal itu tidak dilakukan atau tidak tertangkap jelas.
Sesi empat dan lima adalah sesi yang paling ditunggu, yakni segmen tanya jawab. Gibran bertanya soal State of the Global Islamic Economy (SGIE) ke Muhaimin dan soal regulasi Carbon Capture and Storage (CCS) ke Mahfud, yang belakangan diprotes karena dianggap keluar dari tema. Saya tidak akan banyak membahas pronounciation SGIE yang disebutkan dalam bahasa Indonesia, padahal itu adalah singkatan dalam bahasa Inggris. Tapi, caranya bertanya pun tidak tepat. Gibran bertanya : “Bagaimana langkah Gus Muhaimin untuk menaikkan peringkat Indonesia di SGIE?” Penggunaan kata ‘di’ tidak pas karena mengacu pada pertanyaan soal tempat/event dan sejenisnya. Padahal SGIE adalah laporan. Jadi pertanyaan yang tepat adalah menggunakan kata: ‘dalam’ (Bagaimana menaikkan peringkat Indonesia dalam SGIE?). Entah apakah itu disengaja atau memang Gibran tidak paham.
Muhaimin dengan jujur mengakui tidak tahu SGIE. Padahal ketika menjawab, ia bisa saja mengkritik Gibran karena pertanyaannya tidak jelas. Sedangkan Mahfud MD bisa keluar dari jebakan CCS, bahkan ia bisa ‘memukul balik’ dengan mengatakan: "Anda pasti tidak tahu kalau saya tanya..." Mahfud juga mencecar Gibran ketika bertanya soal rasio pajak. Dari pertanyaan CCS dan Tax Ratio tersebut, terjadi dinamika debat antara Gibran dan Mahfud MD. Di pertanyaan rasio pajak, Gibran menganalogikan wajib pajak sebagai binatang, sebuah perumpamaan yang kurang etis, kendati istilah tersebut sudah lazim di dunia perpajakan.
Ketika ditanya Muhaimin tips and trick supaya daerah lain bisa mendapat banyak proyek besar seperti di Solo, Gibran menuding pertanyaan tersebut tendensius. Jawaban Gibran soal readyness criteria sebenarnya bagus. Namun menjadi minus karena sikapnya defensif terhadap pertanyaan. Kalaupun Gibran ditanya to the point: apakah ia mendapatkan berbagai proyek besar karena anak Presiden? Seharusnya bisa dijawab dengan santai tanpa menuding tendensius. Toh menurut Gibran, ia mendapatkannya secara fair. Seperti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seharusnya pertanyaan semacam ini sudah diantisipasi karena wajar saja untuk ditanyakan tanpa perlu merasa diserang.
Apakah pertanyaan yang menjebak perlu dilarang? Karena walau dibungkus dengan pertanyaan lain, Gibran sesungguhnya sedang menguji pengetahuan soal singkatan atau istilah, ketimbang ingin menggali wawasan seseorang. Patut diduga, targetnya adalah agar kompetitor mengaku tidak tahu atau tidak bisa menjawab. Mengutip pakar komunikasi politik Effendi Gazali: “Menurut komunitas Komunikolog Indonesia, pertanyaan yang diajukan oleh Gibran tentang SGIE, dalam ilmu debat dianggap sebagai pertanyaan yang mengandung niat kurang baik”. Khusus di pertanyaan SGIE, Gibran memang mendapatkan banyak sentimen negatif. Drone Emprit menyebutkan, dari 35.500 mention soal SGIE di platform X, 71% merupakan sentimen negatif untuk Gibran, 24% positif, dan sisanya netral. Jadi kalau target debat adalah untuk meraih suara undecided voters, pertanyaan semacam itu justru bisa menjadi bumerang.
Membuat pertanyaan yang bermutu memang tidak mudah. Pertanyaan jebakan, sesungguhnya adalah pertanyaan yang mudah dibuat dan kurang bermutu, tapi dikesankan sebagai pertanyaan yang sulit karena ada yang disembunyikan. Pertanyaan semacam itu bukanlah level pertanyaan untuk Debat Pilpres. Tentunya kita berharap, pertanyaan jebakan (yang mengurangi mutu debat dan diduga bertujuan untuk mempermalukan lawan), tidak ada lagi dalam Debat Capres/Cawapres mendatang.
Saya yakin, kalau Muhaimin dan Mahfud mau, mereka pun bisa mengeluarkan pertanyaan jebakan. Tapi rasanya tidak akan dilakukan karena marwah Debat Pilpres perlu dijaga. Ke depan, moderator perlu diberi kewenangan lebih supaya bisa meminta penanya agar menjelaskan singkatannya atau memperjelas pertanyaannya (apabila tidak jelas). Apalagi ketika waktu si penanya masih banyak tersisa (sehingga mestinya tidak sampai merugikan waktu kandidat yang ditanya). Mungkin diperlukan juga moderator yang berlatar belakang pakar sesuai tema debat, sehingga bisa langsung menganulir pertanyaan jika dianggap melenceng.
Dalam closing statement, Gibran menyampaikannya tanpa membaca. Namun setengah waktunya dipergunakan untuk mengucapkan terima kasih dan menyalami Prabowo Subianto serta kedua kandidat lainnya. Gibran terkesan ingin menyampaikan 2 hal : Pertama, mengirimkan pesan bahwa ia tidak kalah dengan Ketua Umum Partai dan Profesor (yang disampaikannya lewat pujian). Kedua, Gibran berusaha menghapus kesan arogan yang timbul dalam debat dan kesan memposisikan diri lebih pintar dari kandidat lain (kesan meremehkan terasa dominan ketika Gibran bicara, antara lain ketika mengatakan kandidat lain kurang paham). Sikap ofensif saat menanggapi maupun ketika menjawab pertanyaan, juga menimbulkan kesan adanya semangat untuk menjatuhkan lawan. Untuk mengubah image negatif, Gibran perlu low profile dan bersikap santun, serta menunjukkan kedewasaan dengan tidak memprovokasi penonton setiap debat.
Muhaimin mungkin saja kurang lugas, tapi dari jawabannya bisa ditafsirkan bahwa: dari kota yang sudah ada, akan dibuat setara Jakarta. Bukan membangun kota dari nol seperti IKN. Alangkah baiknya jika Gibran mempertegas dengan bertanya yang santun namun kritis, ketimbang menyebut Muhaimin aneh. Kalau membangun baru kenapa tidak setuju IKN? Atau: apakah yang dimaksud adalah kota yang sudah ada, lalu ingin disetarakan dengan Jakarta? Apakah itu mungkin? Pertanyaan semacam itu justru keluar dari Mahfud MD. Saat merespons, Muhaimin sebenarnya bisa sambil mempertegas maksudnya soal membangun 40 kota setara Jakarta tersebut (bahwa bukan kota baru, melainkan meng-upgrade kota existing). Tapi hal itu tidak dilakukan atau tidak tertangkap jelas.
Sesi empat dan lima adalah sesi yang paling ditunggu, yakni segmen tanya jawab. Gibran bertanya soal State of the Global Islamic Economy (SGIE) ke Muhaimin dan soal regulasi Carbon Capture and Storage (CCS) ke Mahfud, yang belakangan diprotes karena dianggap keluar dari tema. Saya tidak akan banyak membahas pronounciation SGIE yang disebutkan dalam bahasa Indonesia, padahal itu adalah singkatan dalam bahasa Inggris. Tapi, caranya bertanya pun tidak tepat. Gibran bertanya : “Bagaimana langkah Gus Muhaimin untuk menaikkan peringkat Indonesia di SGIE?” Penggunaan kata ‘di’ tidak pas karena mengacu pada pertanyaan soal tempat/event dan sejenisnya. Padahal SGIE adalah laporan. Jadi pertanyaan yang tepat adalah menggunakan kata: ‘dalam’ (Bagaimana menaikkan peringkat Indonesia dalam SGIE?). Entah apakah itu disengaja atau memang Gibran tidak paham.
Muhaimin dengan jujur mengakui tidak tahu SGIE. Padahal ketika menjawab, ia bisa saja mengkritik Gibran karena pertanyaannya tidak jelas. Sedangkan Mahfud MD bisa keluar dari jebakan CCS, bahkan ia bisa ‘memukul balik’ dengan mengatakan: "Anda pasti tidak tahu kalau saya tanya..." Mahfud juga mencecar Gibran ketika bertanya soal rasio pajak. Dari pertanyaan CCS dan Tax Ratio tersebut, terjadi dinamika debat antara Gibran dan Mahfud MD. Di pertanyaan rasio pajak, Gibran menganalogikan wajib pajak sebagai binatang, sebuah perumpamaan yang kurang etis, kendati istilah tersebut sudah lazim di dunia perpajakan.
Ketika ditanya Muhaimin tips and trick supaya daerah lain bisa mendapat banyak proyek besar seperti di Solo, Gibran menuding pertanyaan tersebut tendensius. Jawaban Gibran soal readyness criteria sebenarnya bagus. Namun menjadi minus karena sikapnya defensif terhadap pertanyaan. Kalaupun Gibran ditanya to the point: apakah ia mendapatkan berbagai proyek besar karena anak Presiden? Seharusnya bisa dijawab dengan santai tanpa menuding tendensius. Toh menurut Gibran, ia mendapatkannya secara fair. Seperti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seharusnya pertanyaan semacam ini sudah diantisipasi karena wajar saja untuk ditanyakan tanpa perlu merasa diserang.
Apakah pertanyaan yang menjebak perlu dilarang? Karena walau dibungkus dengan pertanyaan lain, Gibran sesungguhnya sedang menguji pengetahuan soal singkatan atau istilah, ketimbang ingin menggali wawasan seseorang. Patut diduga, targetnya adalah agar kompetitor mengaku tidak tahu atau tidak bisa menjawab. Mengutip pakar komunikasi politik Effendi Gazali: “Menurut komunitas Komunikolog Indonesia, pertanyaan yang diajukan oleh Gibran tentang SGIE, dalam ilmu debat dianggap sebagai pertanyaan yang mengandung niat kurang baik”. Khusus di pertanyaan SGIE, Gibran memang mendapatkan banyak sentimen negatif. Drone Emprit menyebutkan, dari 35.500 mention soal SGIE di platform X, 71% merupakan sentimen negatif untuk Gibran, 24% positif, dan sisanya netral. Jadi kalau target debat adalah untuk meraih suara undecided voters, pertanyaan semacam itu justru bisa menjadi bumerang.
Membuat pertanyaan yang bermutu memang tidak mudah. Pertanyaan jebakan, sesungguhnya adalah pertanyaan yang mudah dibuat dan kurang bermutu, tapi dikesankan sebagai pertanyaan yang sulit karena ada yang disembunyikan. Pertanyaan semacam itu bukanlah level pertanyaan untuk Debat Pilpres. Tentunya kita berharap, pertanyaan jebakan (yang mengurangi mutu debat dan diduga bertujuan untuk mempermalukan lawan), tidak ada lagi dalam Debat Capres/Cawapres mendatang.
Saya yakin, kalau Muhaimin dan Mahfud mau, mereka pun bisa mengeluarkan pertanyaan jebakan. Tapi rasanya tidak akan dilakukan karena marwah Debat Pilpres perlu dijaga. Ke depan, moderator perlu diberi kewenangan lebih supaya bisa meminta penanya agar menjelaskan singkatannya atau memperjelas pertanyaannya (apabila tidak jelas). Apalagi ketika waktu si penanya masih banyak tersisa (sehingga mestinya tidak sampai merugikan waktu kandidat yang ditanya). Mungkin diperlukan juga moderator yang berlatar belakang pakar sesuai tema debat, sehingga bisa langsung menganulir pertanyaan jika dianggap melenceng.
Dalam closing statement, Gibran menyampaikannya tanpa membaca. Namun setengah waktunya dipergunakan untuk mengucapkan terima kasih dan menyalami Prabowo Subianto serta kedua kandidat lainnya. Gibran terkesan ingin menyampaikan 2 hal : Pertama, mengirimkan pesan bahwa ia tidak kalah dengan Ketua Umum Partai dan Profesor (yang disampaikannya lewat pujian). Kedua, Gibran berusaha menghapus kesan arogan yang timbul dalam debat dan kesan memposisikan diri lebih pintar dari kandidat lain (kesan meremehkan terasa dominan ketika Gibran bicara, antara lain ketika mengatakan kandidat lain kurang paham). Sikap ofensif saat menanggapi maupun ketika menjawab pertanyaan, juga menimbulkan kesan adanya semangat untuk menjatuhkan lawan. Untuk mengubah image negatif, Gibran perlu low profile dan bersikap santun, serta menunjukkan kedewasaan dengan tidak memprovokasi penonton setiap debat.
tulis komentar anda