Pakar IPB Minta Food Estate Tidak Tersentralistik di Kemhan
Kamis, 21 Desember 2023 - 20:46 WIB
JAKARTA - Penugasan proyek food estate kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sebaiknya dihentikan. Tidak tepat jika proyek statrategis nasional tersebut penanganannya tersentralistik.
“Itu dihentikan saja karena pendekatannya tidak tepat,” ujar pakar ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Didin S. Damanhuri saat podcast di Kanal Youtube “Berisik” dengan host HMU Kurniadi, Kamis (21/12/2023).
Menurut Didin, pendekatan yang dilakukan untuk proyek food estate selama ini adalah militeristik, sentralistik, dan tidak melibatkan petani sebagai pelaku utama. Dan hal itu juga dianggap bisa berpotensi terjadinya kebocoran anggaran. “Anggaran dari APBN itu puluhan triliun yang dialirkan. Sampai sekarang tidak terdengar laporan bahwa ini sukses,” katanya.
Sebagai skenario G20 untuk menghadapi krisis pangan dunia, Didin menyampaikan skenario ini tidak berhasil mengantisipasi krisis pangan di Asia, Amerika Latin dan Afrika. Termasuk di Indonesia sendiri.
“Di Indonesia sendiri yang sudah berjalan di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara tidak bisa menjawab produksi nasional. Tidak mengurangi ketergantungan Indonesia dari impor pangan, beras dan jagung,” paparnya.
Padahal, Indonesia pernah berhasil melakukan swasembada pangan pada era pemerintahan Soeharto dan era Reformasi walaupun waktunya tidak panjang. Tapi, pada era Reformasi di bawah pemerintahan Jokowi ini Indonesia tidak bisa lepas dari ketergantungan impor pangan, terutama beras dan jagung.
“Petani yang memiliki lahan di di atas 0,5 hektare mayoritas. Tapi mereka penyumbang swasembada di era Soeharto maupun di era Reformasi walau hanya sebentar dan relatif aman. Sekarang ditingggalkan begitu saja dengan konsep food estate atau lumbung pangan yang notabene tidak dalam kerangka misalnya RPJMN pemerintahan Jokowi. Tidak ada itu,” tambahnya.
Didin menawarkan solusi untuk mengatasi krisis pangan Indonesia. Menurut Didin, penanganan proyek food estate jangan lagi tersetralistik dan pemerintah Indonesia harus belajar dari negara-negara yang berhasil mengantisipasi krisis pangan seperti belajar dari Kuba.
“Kalau bisa libatkan petani. Jadi pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan tapi pelaksananya desentralisasi ke kabupaten atau kota. Ini untuk mencapai swasembada pangan supaya petani sejahtera dan kemudian berdaulat,” katanya.
Oleh karena itu, ada konsep pertanian yang bernuansa efisiensi tapi juga didorong berkoperasi. Jadi tanah-tanah yang di bawah 0,5 hektare dikonsolidasi. ”Minimal mereka mengelola bersama dengan pemiliknya. Nanti ada penyuluh-penyuluh yang menggaet supaya bagaimana mereka ini efisiensi dalam pengelolaannya,” ucapnya.
“Itu dihentikan saja karena pendekatannya tidak tepat,” ujar pakar ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Didin S. Damanhuri saat podcast di Kanal Youtube “Berisik” dengan host HMU Kurniadi, Kamis (21/12/2023).
Menurut Didin, pendekatan yang dilakukan untuk proyek food estate selama ini adalah militeristik, sentralistik, dan tidak melibatkan petani sebagai pelaku utama. Dan hal itu juga dianggap bisa berpotensi terjadinya kebocoran anggaran. “Anggaran dari APBN itu puluhan triliun yang dialirkan. Sampai sekarang tidak terdengar laporan bahwa ini sukses,” katanya.
Sebagai skenario G20 untuk menghadapi krisis pangan dunia, Didin menyampaikan skenario ini tidak berhasil mengantisipasi krisis pangan di Asia, Amerika Latin dan Afrika. Termasuk di Indonesia sendiri.
“Di Indonesia sendiri yang sudah berjalan di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara tidak bisa menjawab produksi nasional. Tidak mengurangi ketergantungan Indonesia dari impor pangan, beras dan jagung,” paparnya.
Baca Juga
Padahal, Indonesia pernah berhasil melakukan swasembada pangan pada era pemerintahan Soeharto dan era Reformasi walaupun waktunya tidak panjang. Tapi, pada era Reformasi di bawah pemerintahan Jokowi ini Indonesia tidak bisa lepas dari ketergantungan impor pangan, terutama beras dan jagung.
“Petani yang memiliki lahan di di atas 0,5 hektare mayoritas. Tapi mereka penyumbang swasembada di era Soeharto maupun di era Reformasi walau hanya sebentar dan relatif aman. Sekarang ditingggalkan begitu saja dengan konsep food estate atau lumbung pangan yang notabene tidak dalam kerangka misalnya RPJMN pemerintahan Jokowi. Tidak ada itu,” tambahnya.
Didin menawarkan solusi untuk mengatasi krisis pangan Indonesia. Menurut Didin, penanganan proyek food estate jangan lagi tersetralistik dan pemerintah Indonesia harus belajar dari negara-negara yang berhasil mengantisipasi krisis pangan seperti belajar dari Kuba.
“Kalau bisa libatkan petani. Jadi pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan tapi pelaksananya desentralisasi ke kabupaten atau kota. Ini untuk mencapai swasembada pangan supaya petani sejahtera dan kemudian berdaulat,” katanya.
Oleh karena itu, ada konsep pertanian yang bernuansa efisiensi tapi juga didorong berkoperasi. Jadi tanah-tanah yang di bawah 0,5 hektare dikonsolidasi. ”Minimal mereka mengelola bersama dengan pemiliknya. Nanti ada penyuluh-penyuluh yang menggaet supaya bagaimana mereka ini efisiensi dalam pengelolaannya,” ucapnya.
(cip)
tulis komentar anda