Pancasila Wadah Persatuan Anak Bangsa Hidup Rukun dan Saling Mengenal
Senin, 04 Desember 2023 - 16:17 WIB
Dalam mengupayakan terwujudnya kerukunan, katanya, tentu akan ada tantangan dari individu dan kelompok yang memiliki orientasi berbeda. Ketika menemukan hal tersebut, masyarakat bisa meneladani Nabi Muhammad yang menjawab pernyataan sumbang dengan perkataan qalu salama atau membalasnya dengan sopan. Kesantunan menjadi ciri orang yang beriman dalam interaksinya dengan manusia lainnya.
Kesantunan sebenarnya erat kaitannya dengan akal. Manusia digariskan sebagai makhluk yang paling baik karena mereka memiliki dan menggunakan akalnya untuk mencerna wahyu Ilahi. Oleh karenanya, hanya orang yang memiliki akal sehat yang bisa mempraktikkan kesantunan.
"Rasul pernah bersabda, ad diin al muammalah, agama itu adalah muamalah atau interaksi secara personal maupun antar golongan. Semakin bagus praktik muamalahnya, semakin santun interaksinya dengan manusia lain, maka semakin baik pula kualitas keagamaannya," ucapnya.
Maka dari itu, kata Kiai Muflich, sangat disayangkan apabila belum apa-apa, masyarakat sudah menghakimi suatu informasi atau peristiwa yang belum jelas kebenarannya. Baru sekali mendengar atau membaca tulisan yang beredar, namun bisa langsung percaya begitu saja.
"Saya sendiri jika melihat hal yang secara prinsip sangat mengganggu kerukunan, saya akan datangi untuk bertemu dan berdialog. Dengan begitu, kita tahu betul latar belakang permasalahan yang sedang kita hadapi. Seringkali kita menemukan bahwa pemahaman agamanya sudah bagus, tinggal pola komunikasinya saja yang perlu kita benahi," katanya.
Kiai Muflich mengingatkan, Islam yang diturunkan Allah bersifat universal. Sebab, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat seluruh alam dan tidak terbatas pada golongan tertentu saja.
"Pada hakikatnya, manusia itu diciptakan untuk saling mengenal satu dengan lainnya. Allah berfirman, ‘Yaa 'Ayyuhannas, Innaa Khalaqnaakum Min Dhakarin Wa 'Untsaa Wa Ja`alnaakum Shu`uubaan Wa Qaba'ila Lita`aarafuu,’ yang berarti manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, terdiri dari berbagai suku serta bangsa, itu ditujukan untuk saling berkenalan dengan sesamanya," katanya.
Kesantunan sebenarnya erat kaitannya dengan akal. Manusia digariskan sebagai makhluk yang paling baik karena mereka memiliki dan menggunakan akalnya untuk mencerna wahyu Ilahi. Oleh karenanya, hanya orang yang memiliki akal sehat yang bisa mempraktikkan kesantunan.
"Rasul pernah bersabda, ad diin al muammalah, agama itu adalah muamalah atau interaksi secara personal maupun antar golongan. Semakin bagus praktik muamalahnya, semakin santun interaksinya dengan manusia lain, maka semakin baik pula kualitas keagamaannya," ucapnya.
Maka dari itu, kata Kiai Muflich, sangat disayangkan apabila belum apa-apa, masyarakat sudah menghakimi suatu informasi atau peristiwa yang belum jelas kebenarannya. Baru sekali mendengar atau membaca tulisan yang beredar, namun bisa langsung percaya begitu saja.
"Saya sendiri jika melihat hal yang secara prinsip sangat mengganggu kerukunan, saya akan datangi untuk bertemu dan berdialog. Dengan begitu, kita tahu betul latar belakang permasalahan yang sedang kita hadapi. Seringkali kita menemukan bahwa pemahaman agamanya sudah bagus, tinggal pola komunikasinya saja yang perlu kita benahi," katanya.
Kiai Muflich mengingatkan, Islam yang diturunkan Allah bersifat universal. Sebab, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat seluruh alam dan tidak terbatas pada golongan tertentu saja.
"Pada hakikatnya, manusia itu diciptakan untuk saling mengenal satu dengan lainnya. Allah berfirman, ‘Yaa 'Ayyuhannas, Innaa Khalaqnaakum Min Dhakarin Wa 'Untsaa Wa Ja`alnaakum Shu`uubaan Wa Qaba'ila Lita`aarafuu,’ yang berarti manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, terdiri dari berbagai suku serta bangsa, itu ditujukan untuk saling berkenalan dengan sesamanya," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda