Pancasila Wadah Persatuan Anak Bangsa Hidup Rukun dan Saling Mengenal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bangsa Indonesia harus bersyukur karena disatukan dalam format negara berlandaskan Pancasila yang mampu mewadahi beragam suku, agama, dan ras. Namun seluruh warga negara harus selalu melakukan introspeksi agar kerukunan dan kebersamaan dapat terpelihara dengan baik.
Hal ini disampaikan, Presiden Lajnah Tanfidziyah (Komite Eksekutif) Sarekat Islam Indonesia (SII) KH Muflich Chalif Ibrahim melalui keterangannya, Senin (4/11/2023). Menurutnya, kerukunan antarpersonal, umat beragama, dan semua golongan diwadahi Pancasila. Tidak hanya berasaskan peraturan negara, dalam agama Islam, persatuan sesama manusia juga sesuai dengan teladan Baginda Rasul Muhammad SAW.
"Hanya yang namanya gangguan terhadap persatuan akan selalu ada. Jika tidak diantisipasi, ini bisa menjadi ancaman dari kerukunan itu sendiri, khususnya antarumat beragama," kata Kiai Muflich Chalif.
Ia menjelaskan, kerukunan antarsesama manusia bisa terwujud jika dalam hubungan antarpersonal tidak ada paksaan, baik secara fisik maupun nonfisik. Bahkan dalam hal pemikiran juga tidak boleh ada pemaksaan, sehingga satu pihak dipaksa setuju pada pilihan kelompok lainnya. Pemaksaan dengan segala bentuknya tentu tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Perbedaan yang ada pada masyarakat Indonesia, kata Kiai Muflich, justru bisa menjadi kekuatan selama membuka ruang komunikasi dan dialog. Komunikasi yang baik bisa menjembatani perbedaan, sehingga saling mengerti dan memahami kelompok yang berbeda. Perbedaan yang biasanya ditemukan dalam perkara ubudiyah atau tata cara beribadah tentu jangan sampai menjadi perselisihan selama masih berada dalam bingkai NKRI.
Karena itu, lanjut KH Muflich, alangkah baiknya jika kerukunan juga datang dari kesadaran dan keinginan lubuk hati terdalam masing-masing anak bangsa. Dengan begitu, kerukunan yang tercipta di Indonesia memiliki dasar emosional dan spiritual yang sangat kuat dan mengakar pada setiap golongan dan kepercayaan.
"Kita ingin suasana yang rukun, aman, dan damai itu memang sebenarnya begitu, bukan dirukunkan, diamankan atau didamaikan. Jadi semangat persatuan Indonesia ini bisa berangkat dari kesadaran dan pemahaman antarumat beragamanya masing-masing," katanya.
Pada tingkat ini, umat Islam tidak hanya diharapkan memiliki ilmu agama yang cukup, tapi pemahamannya juga harus lentur, luwes, bisa menyesuaikan di mana dia tinggal. Dengan keluwesan ini, seorang muslim bisa senantiasa mencintai keadilan dan kesetaraan dalam bermasyarakat, di mana saja dan kapan saja.
Dalam mengupayakan terwujudnya kerukunan, katanya, tentu akan ada tantangan dari individu dan kelompok yang memiliki orientasi berbeda. Ketika menemukan hal tersebut, masyarakat bisa meneladani Nabi Muhammad yang menjawab pernyataan sumbang dengan perkataan qalu salama atau membalasnya dengan sopan. Kesantunan menjadi ciri orang yang beriman dalam interaksinya dengan manusia lainnya.
Kesantunan sebenarnya erat kaitannya dengan akal. Manusia digariskan sebagai makhluk yang paling baik karena mereka memiliki dan menggunakan akalnya untuk mencerna wahyu Ilahi. Oleh karenanya, hanya orang yang memiliki akal sehat yang bisa mempraktikkan kesantunan.
"Rasul pernah bersabda, ad diin al muammalah, agama itu adalah muamalah atau interaksi secara personal maupun antar golongan. Semakin bagus praktik muamalahnya, semakin santun interaksinya dengan manusia lain, maka semakin baik pula kualitas keagamaannya," ucapnya.
Maka dari itu, kata Kiai Muflich, sangat disayangkan apabila belum apa-apa, masyarakat sudah menghakimi suatu informasi atau peristiwa yang belum jelas kebenarannya. Baru sekali mendengar atau membaca tulisan yang beredar, namun bisa langsung percaya begitu saja.
"Saya sendiri jika melihat hal yang secara prinsip sangat mengganggu kerukunan, saya akan datangi untuk bertemu dan berdialog. Dengan begitu, kita tahu betul latar belakang permasalahan yang sedang kita hadapi. Seringkali kita menemukan bahwa pemahaman agamanya sudah bagus, tinggal pola komunikasinya saja yang perlu kita benahi," katanya.
Kiai Muflich mengingatkan, Islam yang diturunkan Allah bersifat universal. Sebab, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat seluruh alam dan tidak terbatas pada golongan tertentu saja.
"Pada hakikatnya, manusia itu diciptakan untuk saling mengenal satu dengan lainnya. Allah berfirman, ‘Yaa 'Ayyuhannas, Innaa Khalaqnaakum Min Dhakarin Wa 'Untsaa Wa Ja`alnaakum Shu`uubaan Wa Qaba'ila Lita`aarafuu,’ yang berarti manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, terdiri dari berbagai suku serta bangsa, itu ditujukan untuk saling berkenalan dengan sesamanya," katanya.
Hal ini disampaikan, Presiden Lajnah Tanfidziyah (Komite Eksekutif) Sarekat Islam Indonesia (SII) KH Muflich Chalif Ibrahim melalui keterangannya, Senin (4/11/2023). Menurutnya, kerukunan antarpersonal, umat beragama, dan semua golongan diwadahi Pancasila. Tidak hanya berasaskan peraturan negara, dalam agama Islam, persatuan sesama manusia juga sesuai dengan teladan Baginda Rasul Muhammad SAW.
"Hanya yang namanya gangguan terhadap persatuan akan selalu ada. Jika tidak diantisipasi, ini bisa menjadi ancaman dari kerukunan itu sendiri, khususnya antarumat beragama," kata Kiai Muflich Chalif.
Ia menjelaskan, kerukunan antarsesama manusia bisa terwujud jika dalam hubungan antarpersonal tidak ada paksaan, baik secara fisik maupun nonfisik. Bahkan dalam hal pemikiran juga tidak boleh ada pemaksaan, sehingga satu pihak dipaksa setuju pada pilihan kelompok lainnya. Pemaksaan dengan segala bentuknya tentu tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Perbedaan yang ada pada masyarakat Indonesia, kata Kiai Muflich, justru bisa menjadi kekuatan selama membuka ruang komunikasi dan dialog. Komunikasi yang baik bisa menjembatani perbedaan, sehingga saling mengerti dan memahami kelompok yang berbeda. Perbedaan yang biasanya ditemukan dalam perkara ubudiyah atau tata cara beribadah tentu jangan sampai menjadi perselisihan selama masih berada dalam bingkai NKRI.
Karena itu, lanjut KH Muflich, alangkah baiknya jika kerukunan juga datang dari kesadaran dan keinginan lubuk hati terdalam masing-masing anak bangsa. Dengan begitu, kerukunan yang tercipta di Indonesia memiliki dasar emosional dan spiritual yang sangat kuat dan mengakar pada setiap golongan dan kepercayaan.
"Kita ingin suasana yang rukun, aman, dan damai itu memang sebenarnya begitu, bukan dirukunkan, diamankan atau didamaikan. Jadi semangat persatuan Indonesia ini bisa berangkat dari kesadaran dan pemahaman antarumat beragamanya masing-masing," katanya.
Pada tingkat ini, umat Islam tidak hanya diharapkan memiliki ilmu agama yang cukup, tapi pemahamannya juga harus lentur, luwes, bisa menyesuaikan di mana dia tinggal. Dengan keluwesan ini, seorang muslim bisa senantiasa mencintai keadilan dan kesetaraan dalam bermasyarakat, di mana saja dan kapan saja.
Dalam mengupayakan terwujudnya kerukunan, katanya, tentu akan ada tantangan dari individu dan kelompok yang memiliki orientasi berbeda. Ketika menemukan hal tersebut, masyarakat bisa meneladani Nabi Muhammad yang menjawab pernyataan sumbang dengan perkataan qalu salama atau membalasnya dengan sopan. Kesantunan menjadi ciri orang yang beriman dalam interaksinya dengan manusia lainnya.
Kesantunan sebenarnya erat kaitannya dengan akal. Manusia digariskan sebagai makhluk yang paling baik karena mereka memiliki dan menggunakan akalnya untuk mencerna wahyu Ilahi. Oleh karenanya, hanya orang yang memiliki akal sehat yang bisa mempraktikkan kesantunan.
"Rasul pernah bersabda, ad diin al muammalah, agama itu adalah muamalah atau interaksi secara personal maupun antar golongan. Semakin bagus praktik muamalahnya, semakin santun interaksinya dengan manusia lain, maka semakin baik pula kualitas keagamaannya," ucapnya.
Maka dari itu, kata Kiai Muflich, sangat disayangkan apabila belum apa-apa, masyarakat sudah menghakimi suatu informasi atau peristiwa yang belum jelas kebenarannya. Baru sekali mendengar atau membaca tulisan yang beredar, namun bisa langsung percaya begitu saja.
"Saya sendiri jika melihat hal yang secara prinsip sangat mengganggu kerukunan, saya akan datangi untuk bertemu dan berdialog. Dengan begitu, kita tahu betul latar belakang permasalahan yang sedang kita hadapi. Seringkali kita menemukan bahwa pemahaman agamanya sudah bagus, tinggal pola komunikasinya saja yang perlu kita benahi," katanya.
Kiai Muflich mengingatkan, Islam yang diturunkan Allah bersifat universal. Sebab, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat seluruh alam dan tidak terbatas pada golongan tertentu saja.
"Pada hakikatnya, manusia itu diciptakan untuk saling mengenal satu dengan lainnya. Allah berfirman, ‘Yaa 'Ayyuhannas, Innaa Khalaqnaakum Min Dhakarin Wa 'Untsaa Wa Ja`alnaakum Shu`uubaan Wa Qaba'ila Lita`aarafuu,’ yang berarti manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, terdiri dari berbagai suku serta bangsa, itu ditujukan untuk saling berkenalan dengan sesamanya," katanya.
(abd)