Aspek Hukum Pergantian Pimpinan KPK

Jum'at, 01 Desember 2023 - 05:45 WIB
Kelemahan ketentuan penyelidikan menurut KUHAP tidak ada batas waktu kapan seharusnya proses penyelidikan berhenti, dalam praktik lazimnya ditentukan berdasarkan dugaan semata-mata sepanjang telah terdapat dua bukti permulaan yang cukup, terlepas dari masalah harkat dan martabat seorang tersangka/terdakwa, dan opini publik dalam masyarakat kita tidak lagi mempertimbangkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), sebaliknya asas praduga bersalah (presumption of guilt).

Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, selanjutnya di dalam UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur syarat-syarat calon komisioner KPK antara lain selain batas usia juga syarat perilaku dan integritas, profesionalisme dan akuntabilitas melalui suatu seleksi yang dilaksanakan oleh panitia seleksi, dan kini komisioner KPK telah berganti pimpinan sampai lima kali, terakhir di bawah ketua Firli Bahuri dan kawan-kawan. Sejatinya harapan dan idealisme pembentuk UU KPK adalah, KPK dipimpin oleh komisioner yang mampu bertahan dari segala godaan dan suap juga terbebas dari perilaku tidak terpuji seperti pemerasan dan lain-lain.

Akan tetapi, bagaimanapun komisioner KPK adalah seorang sosok manusia yang tidak steril sama sekali dari kesalahan di samping kelebihannya sehingga dalam kurun waktu dua masa kepemimpinan KPK dan terakhir saat ini telah terjadi dua kali masalah yakni pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka dan terjadi dua kali pergantian pimpinan KPK. Dalam hal pergantian ini telah digunakan landasan UU KPK Tahun 2002 dan perubahannya pada tahun 2019 yang menyatakan bahwa jika pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka maka diberhentikan sementara dari jabatan pimpinan KPK baik sebagai ketua maupun sebagai anggota. Konsekuensi logis dari pemberhentian sementara maka tersangka pimpinan KPK yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas dan wewenang lagi selaku pimpinan maupun anggota komisioner KPK, sehingga dipastikan terjadi kekosongan pimpinan karena pimpinan KPK tersisa hanya 4 (empat) orang dan tentunya bertentangan dengan jumlah komisioner KPK yang diwajibkan 5 (lima) orang.

Konsekuensi hukum dari kekosongan pimpinan KPK, maka kewajiban Presiden untuk mengangkat dan menunjuk seseorang yang memenuhi syarat sebagai pengganti dan pengisi kekosongan pimpinan KPK tersebut. Untuk sampai pada penunjukan dan pengangkatan pimpinan KPK pengganti, maka UU KPK Tahun 2002 mewajibkan dilaksanakan pemilihan dari calon-calon pimpinan KPK terdahulu yang gagal menjadi pimpinan KPK dan selanjutnya diusulkan ke Komisi III DPR RI untuk memperoleh persetujuan. Ketentuan pergantian dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang, yang menentukan bahwa pergantian pimpinan KPK sepenuhnya kompetensi presiden, tidak lagi melalui persetujuan Komisi III DPRI RI dan bahkan ditegaskan bahwa presiden dapat menunjuk secara langsung calon pengganti pimpinan KPK jika pimpinan KPK tersisa paling banyak 3 (tiga) orang. Hal ini berbeda dengan pergantian pimpinan KPK dari Firli Bahuri kepada Nawawi Pomolango yang berasal dari komisioner KPK, sehingga jumlah pimpinan KPK pascapenunjukan tersebut tetap hanya 4 (empat) orang.

Namun pada tahun 2019 UU KPK Tahun 2002 telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mengembalikan prosedur pergantian pimpinan KPK harus melalui proses persetujuan Komisi III DPR RI, sehingga ketentuan yang terdapat pada UU Nomor 10 Tahun 2015 tidak berlaku lagi untuk proses pergantian Firli Bahuri saat ini. Hal ini sesuai dengan asas lex posteriori derogate lege priori. Bahkan di dalam Pasal 70B UU Nomor 19 Tahun 2019 dinyatakan secara tegas (expressive verbis) bahwa, ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 harus dinyatakan tidak berlaku. Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 ditegaskan prosedur pergantian pimpinan harus melalui persetujuan Komisi III DPR RI, akan tetapi dalam UU Nomor 10 Tahun 2015 justru merupakan wewenang penuh presiden saja.

Selain cacat prosedur yang bertentangan dengan UU, implikasi jumlah pimpinan KPK yang tersisa hanya 4 (empat) orang bertentangan dengan jumlah pimpinan KPK menurut UU KPK tahun 2002 dan tahun 2019, sehingga implikasi hukumnya seluruh tindakan KPK cacat hukum dapat dengan mudah diajukan praperadilan. Berdasarkan uraian tersebut, dengan demikian secara serta-merta dapat disimpulkan bahwa prosedur pergantian Firli Bahuri pada tahun 2023 ini ke Nawawi Pomolango mutatis mutandis cacat hukum (obscuur) sehingga batal demi hukum.
(zik)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More