Aspek Hukum Pergantian Pimpinan KPK

Jum'at, 01 Desember 2023 - 05:45 WIB
loading...
Aspek Hukum Pergantian Pimpinan KPK
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

PERKARA dugaan tindak pidana pemerasan dan gratifikasi yang ditujukan terhadap Firli Bahuri sebagai ketua/anggota KPK berakhir dengan penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka oleh Dirkrimsus Polda Metro Jaya.

Konon penetapan tersangka dilakukan bersamaan (pada tanggal yang sama) yaitu tanggal 9 Oktober 2023 dengan laporan pidana dugaan pemerasan, sehingga menimbulkan tanda tanya dari aspek prosedural sebagaimana telah ditetapkan di dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana khusus ketentuan mengenai penyelidikan dan penyidikan (Pasal 1 angka 2 dan angka 5). Dalam hal ini terkait jeda waktu antara proses penyelidikan dan penetapan tersangka yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam proses penyidikan.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sedangkan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Sejalan dengan pengertian/definisi kedua tahapan proses pemeriksaan pra-penuntutan tesebut jelas bahwa proses penyelidikan hanya menemukan ada/tidak adanya suatu peristiwa pidana, sedangkan proses penyidikan mencari dan menemukan bukti untuk menetapkan siapa yang terbukti melakukan tindak pidananya atau menemukan tersangkanya. Ada perbedaan jeda waktu yang cukup untuk tujuan tersebut. Namun demikian diakui bahwa ketentuan KUHAP mengenai proses penyelidikan dan penyidikan tidak dibatasi oleh tenggat waktu tertentu, sehingga hak subjektif penyidik untuk memeriksa dan bahkan menetapkan seseorang menjadi tersangka bahkan melakukan upaya paksa rentan terhadap penyelahgunaan wewenang penyidik sehingga KUHAP belum memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi siapa saja yang dijadikan objek (bukan subjek) pemeriksaan.

Bertolak dari pemikiran tersebut, pembentuk UU KUHAP telah memasukkan ketentuan mengenai praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP. Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77).

Lingkup objek praperadilan kemudian telah diperluas dalam Putusan MKRI Nomor 21 /PUU- XX/2014, meliputi juga penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; dengan pertimbangan Majelis Hakim MKRI bahwa keenam objek praperadilan adalah merupakan tindakan yang rentan terhadap perlindungan hak asasi tersangka yang merupakan kewajiban Lembaga peradilan. Perluasan objek praperadilan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 Perubahan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum. Norma ini harus dimaknai bahwa, pertama bangsa Indonesia memiliki peradaban maju dan menganut sila perikemanusiaan sebagai salah satu sila filosofi bangsa dan Negara Hukum dan kedua, hak setiap orang untuk diakui dan dijamin oleh negara harus tidak bersifat diskriminatif dan ditindas dengan tindakan aparatur hukum yang eksesif sehingga mendegradasi harkat dan martabat seseorang termasuk seseorang yang ditetapkan tersangka/terdakwa.



Kelemahan ketentuan penyelidikan menurut KUHAP tidak ada batas waktu kapan seharusnya proses penyelidikan berhenti, dalam praktik lazimnya ditentukan berdasarkan dugaan semata-mata sepanjang telah terdapat dua bukti permulaan yang cukup, terlepas dari masalah harkat dan martabat seorang tersangka/terdakwa, dan opini publik dalam masyarakat kita tidak lagi mempertimbangkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), sebaliknya asas praduga bersalah (presumption of guilt).

Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, selanjutnya di dalam UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur syarat-syarat calon komisioner KPK antara lain selain batas usia juga syarat perilaku dan integritas, profesionalisme dan akuntabilitas melalui suatu seleksi yang dilaksanakan oleh panitia seleksi, dan kini komisioner KPK telah berganti pimpinan sampai lima kali, terakhir di bawah ketua Firli Bahuri dan kawan-kawan. Sejatinya harapan dan idealisme pembentuk UU KPK adalah, KPK dipimpin oleh komisioner yang mampu bertahan dari segala godaan dan suap juga terbebas dari perilaku tidak terpuji seperti pemerasan dan lain-lain.

Akan tetapi, bagaimanapun komisioner KPK adalah seorang sosok manusia yang tidak steril sama sekali dari kesalahan di samping kelebihannya sehingga dalam kurun waktu dua masa kepemimpinan KPK dan terakhir saat ini telah terjadi dua kali masalah yakni pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka dan terjadi dua kali pergantian pimpinan KPK. Dalam hal pergantian ini telah digunakan landasan UU KPK Tahun 2002 dan perubahannya pada tahun 2019 yang menyatakan bahwa jika pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka maka diberhentikan sementara dari jabatan pimpinan KPK baik sebagai ketua maupun sebagai anggota. Konsekuensi logis dari pemberhentian sementara maka tersangka pimpinan KPK yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas dan wewenang lagi selaku pimpinan maupun anggota komisioner KPK, sehingga dipastikan terjadi kekosongan pimpinan karena pimpinan KPK tersisa hanya 4 (empat) orang dan tentunya bertentangan dengan jumlah komisioner KPK yang diwajibkan 5 (lima) orang.

Konsekuensi hukum dari kekosongan pimpinan KPK, maka kewajiban Presiden untuk mengangkat dan menunjuk seseorang yang memenuhi syarat sebagai pengganti dan pengisi kekosongan pimpinan KPK tersebut. Untuk sampai pada penunjukan dan pengangkatan pimpinan KPK pengganti, maka UU KPK Tahun 2002 mewajibkan dilaksanakan pemilihan dari calon-calon pimpinan KPK terdahulu yang gagal menjadi pimpinan KPK dan selanjutnya diusulkan ke Komisi III DPR RI untuk memperoleh persetujuan. Ketentuan pergantian dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang, yang menentukan bahwa pergantian pimpinan KPK sepenuhnya kompetensi presiden, tidak lagi melalui persetujuan Komisi III DPRI RI dan bahkan ditegaskan bahwa presiden dapat menunjuk secara langsung calon pengganti pimpinan KPK jika pimpinan KPK tersisa paling banyak 3 (tiga) orang. Hal ini berbeda dengan pergantian pimpinan KPK dari Firli Bahuri kepada Nawawi Pomolango yang berasal dari komisioner KPK, sehingga jumlah pimpinan KPK pascapenunjukan tersebut tetap hanya 4 (empat) orang.

Namun pada tahun 2019 UU KPK Tahun 2002 telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mengembalikan prosedur pergantian pimpinan KPK harus melalui proses persetujuan Komisi III DPR RI, sehingga ketentuan yang terdapat pada UU Nomor 10 Tahun 2015 tidak berlaku lagi untuk proses pergantian Firli Bahuri saat ini. Hal ini sesuai dengan asas lex posteriori derogate lege priori. Bahkan di dalam Pasal 70B UU Nomor 19 Tahun 2019 dinyatakan secara tegas (expressive verbis) bahwa, ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 harus dinyatakan tidak berlaku. Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 ditegaskan prosedur pergantian pimpinan harus melalui persetujuan Komisi III DPR RI, akan tetapi dalam UU Nomor 10 Tahun 2015 justru merupakan wewenang penuh presiden saja.

Selain cacat prosedur yang bertentangan dengan UU, implikasi jumlah pimpinan KPK yang tersisa hanya 4 (empat) orang bertentangan dengan jumlah pimpinan KPK menurut UU KPK tahun 2002 dan tahun 2019, sehingga implikasi hukumnya seluruh tindakan KPK cacat hukum dapat dengan mudah diajukan praperadilan. Berdasarkan uraian tersebut, dengan demikian secara serta-merta dapat disimpulkan bahwa prosedur pergantian Firli Bahuri pada tahun 2023 ini ke Nawawi Pomolango mutatis mutandis cacat hukum (obscuur) sehingga batal demi hukum.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1751 seconds (0.1#10.140)