Rentan Stigmatisasi, Korban Kekerasan Seksual Berhak Dapat Penanganan Khusus
Jum'at, 07 Agustus 2020 - 14:58 WIB
JAKARTA - Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Peribahasa itu kerap menggambarkan kondisi yang dialami para korban kekerasan seksual yang umumnya adalah kaum perempuan dan anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menuturkan, korban kekerasan seksual biasanya rentan mendapat stigmatisasi sosial yang menyebabkan dirinya mengalami diskriminasi ganda dan berlapis. Seringkali kekerasan seksual dianggap sebagai aib sehingga orang-orang terdekat korban malah mendukung agar menutupi kekerasan yang dialami. “Maka hak korban untuk mendapatkan penanganan hingga rehabilitasi secara fisik dan psikis harus diatur secara khusus. Apalagi, jika korban adalah anak atau penyandang disabilitas,” ujar Bintang dalam diskusi daring, Kamis (6/8/2020).
Karena itu, dia mengatakan perlunya sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang menghapuskan kekerasan seksual. Menurutnya, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sudah tidak dapat ditunda lagi. “Urgensinya yang sangat besar karena tidak hanya memberikan dampak terhadap korban saja, tetapi juga pada pola pikir bermasyarakat secara luas,” imbuh dia. (Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual Tinggi, RUU PKS Diminta Tak Ditunda Lagi)
Namun, Bintang menyadari RUU PKS memunculkan pro kontra di masyarakat. Terdapat kelompok masyarakat yang masih menganggap muatan materi RUU PKS tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku. “Ini menjadi tantangan bagi kita semua. Namun di balik tantangan pasti ada peluang. Sebagai leading sector pemerintah, saya mewakili seluruh perempuan, anak dan masyarakat mengharapkan agar upaya menghentikan mata rantai kekerasan seksual menjadi prioritas bagi kita semua,” ujarnya. (Baca juga: Libatkan Anak dalam Buat Kebijakan, Kementerian PPPA Raih Apresiasi PBB)
Dalam beberapa pekan terakhir, Bintang mengaku banyak mendapatkan masukan, pandangan, surat terbuka, orasi dan lainnya dari berbagai elemen masyarakat. Tidak hanya dari kaum perempuan, tetapi juga dari akademisi, mahasiswa, praktisi, tokoh masyarakat. Mereka mendesak perlunya payung hukum yang komprehensif yang mencakup pencegahan, penanganan, pemulihan, pemberdayaan dan menjamin penegakkan hukum untuk memberikan efek jera kepada para pelaku.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menuturkan, korban kekerasan seksual biasanya rentan mendapat stigmatisasi sosial yang menyebabkan dirinya mengalami diskriminasi ganda dan berlapis. Seringkali kekerasan seksual dianggap sebagai aib sehingga orang-orang terdekat korban malah mendukung agar menutupi kekerasan yang dialami. “Maka hak korban untuk mendapatkan penanganan hingga rehabilitasi secara fisik dan psikis harus diatur secara khusus. Apalagi, jika korban adalah anak atau penyandang disabilitas,” ujar Bintang dalam diskusi daring, Kamis (6/8/2020).
Karena itu, dia mengatakan perlunya sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang menghapuskan kekerasan seksual. Menurutnya, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sudah tidak dapat ditunda lagi. “Urgensinya yang sangat besar karena tidak hanya memberikan dampak terhadap korban saja, tetapi juga pada pola pikir bermasyarakat secara luas,” imbuh dia. (Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual Tinggi, RUU PKS Diminta Tak Ditunda Lagi)
Namun, Bintang menyadari RUU PKS memunculkan pro kontra di masyarakat. Terdapat kelompok masyarakat yang masih menganggap muatan materi RUU PKS tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku. “Ini menjadi tantangan bagi kita semua. Namun di balik tantangan pasti ada peluang. Sebagai leading sector pemerintah, saya mewakili seluruh perempuan, anak dan masyarakat mengharapkan agar upaya menghentikan mata rantai kekerasan seksual menjadi prioritas bagi kita semua,” ujarnya. (Baca juga: Libatkan Anak dalam Buat Kebijakan, Kementerian PPPA Raih Apresiasi PBB)
Dalam beberapa pekan terakhir, Bintang mengaku banyak mendapatkan masukan, pandangan, surat terbuka, orasi dan lainnya dari berbagai elemen masyarakat. Tidak hanya dari kaum perempuan, tetapi juga dari akademisi, mahasiswa, praktisi, tokoh masyarakat. Mereka mendesak perlunya payung hukum yang komprehensif yang mencakup pencegahan, penanganan, pemulihan, pemberdayaan dan menjamin penegakkan hukum untuk memberikan efek jera kepada para pelaku.
(cip)
tulis komentar anda