Peraturan Kejaksaan 15/2020 Jawaban Suara Keadilan Masyarakat
Kamis, 06 Agustus 2020 - 19:08 WIB
Lebih jauh Sunarta meyakinkan UU Kejaksaan melandasi jaksa untuk menggali nilai keadilan di masyarakat. Di situlah, kewenangan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif lahir. “Ketika Penuntut Umum memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa sarana koersif (pengendalian yang bersifat paksaan) yang berupa sarana penal (pidana) dapat diganti dengan sarana reparatif (perbaikan dan pemulihan) dengan syarat tertentu,” pesannya.
Kendati akan ada konsekuensi perlawanan yuridisnya, namun Sunarta meyakini Peraturan Kejaksaan tersebut dibangun dengan bangunan kognisi dan konstruksi logika. “Karena hukum acara pidana kita tidak mengenal mediasi penal. Karena hukum pidana materiil dan formil kita masih berorientasi pada pembalasan terhadap perbuatan pidananya saja (Daad Strafrecht) dan belum bergeser kepada perbuatan dan pelaku tindak pidana (Daad – Dader Strafrecht), apalagi terhadap paradigma kepentingan korban,” beber Sunarta.
Dia menambahkan, filosofi keadilannya masih membalas daripada memulihkan. ” Oleh karena itu kami harus membangun construction logic-nya dengan membuat penyesuaian pada hukum yang masih berlaku (existing),” sambungnya.
Sunarta juga berpesan agar jajaran kejaksaan dapat menerapkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15/2020 dengan baik. Menurut Sunarta, dalam Pasal 3 Peraturan Kejaksaan tersebut dinyatakan bahwa penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum. Penutupan perkara demi kepentingan hukum tersebut dilakukan ketika terdakwa meninggal dunia, kedaluwarsa penuntutan pidana, telah ada putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem). Hal lain yang dapat menjadi alasan penutupan perkara yaitu pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali serta telah adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sesuai Pasal 4 dalam beleid tersebut dilakukan dengan memperhatikan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi; penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; respons dan keharmonisan masyarakat; serta kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Adapun syarat tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif diatur dalam Pasal 5. Ayat 1 pasal ini di antaranya menyebutkan syarat penutupan tindak pidana meliputi tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2,5 juta.
Kendati akan ada konsekuensi perlawanan yuridisnya, namun Sunarta meyakini Peraturan Kejaksaan tersebut dibangun dengan bangunan kognisi dan konstruksi logika. “Karena hukum acara pidana kita tidak mengenal mediasi penal. Karena hukum pidana materiil dan formil kita masih berorientasi pada pembalasan terhadap perbuatan pidananya saja (Daad Strafrecht) dan belum bergeser kepada perbuatan dan pelaku tindak pidana (Daad – Dader Strafrecht), apalagi terhadap paradigma kepentingan korban,” beber Sunarta.
Dia menambahkan, filosofi keadilannya masih membalas daripada memulihkan. ” Oleh karena itu kami harus membangun construction logic-nya dengan membuat penyesuaian pada hukum yang masih berlaku (existing),” sambungnya.
Sunarta juga berpesan agar jajaran kejaksaan dapat menerapkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15/2020 dengan baik. Menurut Sunarta, dalam Pasal 3 Peraturan Kejaksaan tersebut dinyatakan bahwa penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum. Penutupan perkara demi kepentingan hukum tersebut dilakukan ketika terdakwa meninggal dunia, kedaluwarsa penuntutan pidana, telah ada putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem). Hal lain yang dapat menjadi alasan penutupan perkara yaitu pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali serta telah adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sesuai Pasal 4 dalam beleid tersebut dilakukan dengan memperhatikan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi; penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; respons dan keharmonisan masyarakat; serta kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Adapun syarat tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif diatur dalam Pasal 5. Ayat 1 pasal ini di antaranya menyebutkan syarat penutupan tindak pidana meliputi tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2,5 juta.
(cip)
tulis komentar anda