Setelah Djoko Tjandra Tertangkap
Rabu, 05 Agustus 2020 - 06:16 WIB
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
ARTIKEL ini diberi judul setelah Djoko Tjandra Tertangkap untuk menunjukkan tiga hal. Pertama, tentu harus diberikan apresiasi kepada pihak kepolisian yang telah menangkap Djoko Tjandra dari pelariannya selama 11 tahun. Kedua, timbul pertanyaan apa yang harus dilakukan setelah Djoko Tjandra tertangkap. Mengeksekusi hukuman dua tahun saja tentu tidak cukup, mengingat Djoko Tjandra sudah melarikan diri dengan membuat ‘drama’ yang melibatkan banyak penegak hukum hingga lurah.
Ketiga, judul dalam artikel ini menggunakan istilah ‘tertangkap’ karena sejatinya upaya perburuan besar-besaran terhadap Djoko Tjandra dimulai setelah masyarakat anti korupsi Indonesia (MAKI) mengungkap kehadiran Djoko Tjandra dalam agenda pertama sidang permohonan peninjauan kembali di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Demikian juga MAKI, mengungkapkan temuan berbagai dokumen yang mencengangkan masyarakat. Temuan-temuan tersebut pada akhirnya memberi dorongan lebih pada aparat penegak hukum untuk menangkap Djoko Tjandra dari pelariannya selama 11 tahun.
Artinya, dalam hal ini penangkapan Djoko Tjandra pada 30 Juli 2020 diinisiasi oleh sejumlah fakta yang diungkapkan oleh MAKI. Dalam hal ini selain apresiasi patut diberikan kepada kepolisian, apresiasi juga patut diberikan kepada MAKI. Tanpa adanya informasi yang sedemikian lengkapnya dari MAKI tentu penangkapan Djoko Tjandra belum tentu dilakukan, mengingat dalam masa buronnya selama 11 tahun justru oknum aparat penegak hukum bertindak melindungi pelarian tersebut dan melakukan upaya merintangi penegakan hukum (obstruction of justice).
Fakta yang diungkapkan MAKI tersebut valid dan menimbulkan pilihan bagi institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, imigrasi hingga pengadilan untuk memilih stigma menjadi pelindung buron atau membersihkan stigma tersebut dengan menangkap Djoko Tjandra dan mengungkap pihak-pihak yang telah membantu upaya pelarian Djoko Tjandra. Termasuk tindakannya masuk dan keluar dari wilayah Indonesia. Setelah euforia tertangkapnya Djoko Tjandra maka pertanyaan kritis selanjutnya adalah apa yang dapat dilakukan dengan tertangkapnya Djoko Tjandra? Hal itu mengingat banyak pihak yang terkait dalam peristiwa pelarian Djoko Tjandra harus diungkap peran dan motifnya satu persatu dan dalam kepentingan ini tentu Djoko Tjandra tahu akan jawabannya.
Game Theory dan Prisoners Dilemma
Tentu setelah tertangkapnya Djoko Tjandra dan terungkapnya fakta para pihak yang membantu pelariannya selama ini akan menimbulkan kepentingan yang berbeda antara Djoko Tjandra maupun para pihak yang terlibat membantu pelariannya selama ini. Dalam mengurai persoalan ini, terutama setelah tertangkapnya Djoko Tjandra, aparat penegak hukum harus memetakan kepentingan seluruh pihak yang terlibat dengan model game theory. Myerson (1994), mendefinisikan game theory sebagai studi model keputusan logis dalam konflik diantara pengambil keputusan yang rasional. Situasi Djoko Tjandra dan seluruh pihak yang terlibat dalam hal ini harus ditangani dengan konsep game theory.
Dalam bidang hukum game theory dikembangkan pada model aplikatif yang dinamakan model prisoners dilemma dalam hukum terapan. Teori prisoners dilemma lahir atas riset beberapa orang penjahat yang baru tertangkap dan ditempatkan secara terpisah dengan interogasi terpisah maka hipotesis yang terjadi adalah jika A mengaku dan B tidak mengaku maka B akan dihukum 20 tahun. Demikian sebaliknya jika masing masing diam maka masing masing hanya akan terkena hukuman 1 tahun. Jika keduanya mengaku maka akan dihukum 5 tahun.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
ARTIKEL ini diberi judul setelah Djoko Tjandra Tertangkap untuk menunjukkan tiga hal. Pertama, tentu harus diberikan apresiasi kepada pihak kepolisian yang telah menangkap Djoko Tjandra dari pelariannya selama 11 tahun. Kedua, timbul pertanyaan apa yang harus dilakukan setelah Djoko Tjandra tertangkap. Mengeksekusi hukuman dua tahun saja tentu tidak cukup, mengingat Djoko Tjandra sudah melarikan diri dengan membuat ‘drama’ yang melibatkan banyak penegak hukum hingga lurah.
Ketiga, judul dalam artikel ini menggunakan istilah ‘tertangkap’ karena sejatinya upaya perburuan besar-besaran terhadap Djoko Tjandra dimulai setelah masyarakat anti korupsi Indonesia (MAKI) mengungkap kehadiran Djoko Tjandra dalam agenda pertama sidang permohonan peninjauan kembali di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Demikian juga MAKI, mengungkapkan temuan berbagai dokumen yang mencengangkan masyarakat. Temuan-temuan tersebut pada akhirnya memberi dorongan lebih pada aparat penegak hukum untuk menangkap Djoko Tjandra dari pelariannya selama 11 tahun.
Artinya, dalam hal ini penangkapan Djoko Tjandra pada 30 Juli 2020 diinisiasi oleh sejumlah fakta yang diungkapkan oleh MAKI. Dalam hal ini selain apresiasi patut diberikan kepada kepolisian, apresiasi juga patut diberikan kepada MAKI. Tanpa adanya informasi yang sedemikian lengkapnya dari MAKI tentu penangkapan Djoko Tjandra belum tentu dilakukan, mengingat dalam masa buronnya selama 11 tahun justru oknum aparat penegak hukum bertindak melindungi pelarian tersebut dan melakukan upaya merintangi penegakan hukum (obstruction of justice).
Fakta yang diungkapkan MAKI tersebut valid dan menimbulkan pilihan bagi institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, imigrasi hingga pengadilan untuk memilih stigma menjadi pelindung buron atau membersihkan stigma tersebut dengan menangkap Djoko Tjandra dan mengungkap pihak-pihak yang telah membantu upaya pelarian Djoko Tjandra. Termasuk tindakannya masuk dan keluar dari wilayah Indonesia. Setelah euforia tertangkapnya Djoko Tjandra maka pertanyaan kritis selanjutnya adalah apa yang dapat dilakukan dengan tertangkapnya Djoko Tjandra? Hal itu mengingat banyak pihak yang terkait dalam peristiwa pelarian Djoko Tjandra harus diungkap peran dan motifnya satu persatu dan dalam kepentingan ini tentu Djoko Tjandra tahu akan jawabannya.
Game Theory dan Prisoners Dilemma
Tentu setelah tertangkapnya Djoko Tjandra dan terungkapnya fakta para pihak yang membantu pelariannya selama ini akan menimbulkan kepentingan yang berbeda antara Djoko Tjandra maupun para pihak yang terlibat membantu pelariannya selama ini. Dalam mengurai persoalan ini, terutama setelah tertangkapnya Djoko Tjandra, aparat penegak hukum harus memetakan kepentingan seluruh pihak yang terlibat dengan model game theory. Myerson (1994), mendefinisikan game theory sebagai studi model keputusan logis dalam konflik diantara pengambil keputusan yang rasional. Situasi Djoko Tjandra dan seluruh pihak yang terlibat dalam hal ini harus ditangani dengan konsep game theory.
Dalam bidang hukum game theory dikembangkan pada model aplikatif yang dinamakan model prisoners dilemma dalam hukum terapan. Teori prisoners dilemma lahir atas riset beberapa orang penjahat yang baru tertangkap dan ditempatkan secara terpisah dengan interogasi terpisah maka hipotesis yang terjadi adalah jika A mengaku dan B tidak mengaku maka B akan dihukum 20 tahun. Demikian sebaliknya jika masing masing diam maka masing masing hanya akan terkena hukuman 1 tahun. Jika keduanya mengaku maka akan dihukum 5 tahun.
tulis komentar anda