Setelah Djoko Tjandra Tertangkap
loading...
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
ARTIKEL ini diberi judul setelah Djoko Tjandra Tertangkap untuk menunjukkan tiga hal. Pertama, tentu harus diberikan apresiasi kepada pihak kepolisian yang telah menangkap Djoko Tjandra dari pelariannya selama 11 tahun. Kedua, timbul pertanyaan apa yang harus dilakukan setelah Djoko Tjandra tertangkap. Mengeksekusi hukuman dua tahun saja tentu tidak cukup, mengingat Djoko Tjandra sudah melarikan diri dengan membuat ‘drama’ yang melibatkan banyak penegak hukum hingga lurah.
Ketiga, judul dalam artikel ini menggunakan istilah ‘tertangkap’ karena sejatinya upaya perburuan besar-besaran terhadap Djoko Tjandra dimulai setelah masyarakat anti korupsi Indonesia (MAKI) mengungkap kehadiran Djoko Tjandra dalam agenda pertama sidang permohonan peninjauan kembali di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Demikian juga MAKI, mengungkapkan temuan berbagai dokumen yang mencengangkan masyarakat. Temuan-temuan tersebut pada akhirnya memberi dorongan lebih pada aparat penegak hukum untuk menangkap Djoko Tjandra dari pelariannya selama 11 tahun.
Artinya, dalam hal ini penangkapan Djoko Tjandra pada 30 Juli 2020 diinisiasi oleh sejumlah fakta yang diungkapkan oleh MAKI. Dalam hal ini selain apresiasi patut diberikan kepada kepolisian, apresiasi juga patut diberikan kepada MAKI. Tanpa adanya informasi yang sedemikian lengkapnya dari MAKI tentu penangkapan Djoko Tjandra belum tentu dilakukan, mengingat dalam masa buronnya selama 11 tahun justru oknum aparat penegak hukum bertindak melindungi pelarian tersebut dan melakukan upaya merintangi penegakan hukum (obstruction of justice).
Fakta yang diungkapkan MAKI tersebut valid dan menimbulkan pilihan bagi institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, imigrasi hingga pengadilan untuk memilih stigma menjadi pelindung buron atau membersihkan stigma tersebut dengan menangkap Djoko Tjandra dan mengungkap pihak-pihak yang telah membantu upaya pelarian Djoko Tjandra. Termasuk tindakannya masuk dan keluar dari wilayah Indonesia. Setelah euforia tertangkapnya Djoko Tjandra maka pertanyaan kritis selanjutnya adalah apa yang dapat dilakukan dengan tertangkapnya Djoko Tjandra? Hal itu mengingat banyak pihak yang terkait dalam peristiwa pelarian Djoko Tjandra harus diungkap peran dan motifnya satu persatu dan dalam kepentingan ini tentu Djoko Tjandra tahu akan jawabannya.
Game Theory dan Prisoners Dilemma
Tentu setelah tertangkapnya Djoko Tjandra dan terungkapnya fakta para pihak yang membantu pelariannya selama ini akan menimbulkan kepentingan yang berbeda antara Djoko Tjandra maupun para pihak yang terlibat membantu pelariannya selama ini. Dalam mengurai persoalan ini, terutama setelah tertangkapnya Djoko Tjandra, aparat penegak hukum harus memetakan kepentingan seluruh pihak yang terlibat dengan model game theory. Myerson (1994), mendefinisikan game theory sebagai studi model keputusan logis dalam konflik diantara pengambil keputusan yang rasional. Situasi Djoko Tjandra dan seluruh pihak yang terlibat dalam hal ini harus ditangani dengan konsep game theory.
Dalam bidang hukum game theory dikembangkan pada model aplikatif yang dinamakan model prisoners dilemma dalam hukum terapan. Teori prisoners dilemma lahir atas riset beberapa orang penjahat yang baru tertangkap dan ditempatkan secara terpisah dengan interogasi terpisah maka hipotesis yang terjadi adalah jika A mengaku dan B tidak mengaku maka B akan dihukum 20 tahun. Demikian sebaliknya jika masing masing diam maka masing masing hanya akan terkena hukuman 1 tahun. Jika keduanya mengaku maka akan dihukum 5 tahun.
Dalam konsep prisoners dilemma masing masing pelaku kriminal akan memilih pilihan yang menghasilkan insentif bagi dirinya sendiri dengan memperhitungkan keterangan pihak lain. Karena pada umumnya model penyidikan prisoners dilemma diimplementasikan pada model kejahatan yang melibatkan beberapa pihak dan peran masing masing pihak saling berkaitan. Kondisi ini sama persis dengan situasi relasi antara Djoko Tjandra dan para pihak yang membantu pelariannya saat ini setelah semua fakta terungkap.
Dalam kasus tertangkapnya Djoko Tjandra maka baik bagi Djoko Tjandra itu sendiri maupun bagi pihak lainnya yang terlibat pilihan paling logis adalah mengarahkan keterangan untuk mendapat hukuman serendah mungkin. Dalam perspektif prisoners dilemma, sebenarnya setelah Djoko Tjandra tertangkap situasinya menjadi berbalik. Sebelum Djoko Tjandra tertangkap artinya peran strategis ada pada pihak yang membantu (Djoko Tjandra memiliki ketergantungan yang tinggi). Setelah Djoko Tjandra tertangkap maka situasi menjadi sebaliknya yakni posisi Djoko Tjandra menjadi lebih strategis guna mendukung maupun melemahkan alibi pihak lainnya yang terlibat (baik yang sudah diproses secara hukum maupun belum).
Posisi Djoko Tjandra dalam hal ini adalah ‘nothing to lose, something to gain’, yakni posisi tanpa beban. Artinya, sudah pasti harus menjalani hukuman dua tahun ditambah akan dikenai pemberatan (hukuman) karena melarikan diri. Namun tentu dalam hal ini Djoko Tjandra akan mengambil insentif potongan hukuman atas peristiwa pelarian dirinya, jika ia kooperatif pada pihak penyidik. Sehingga hasil penyidikan terhadap Djoko Tjandra tentu akan dapat menguatkan dan mengkonfirmasi keterangan pihak lainnya yang terlibat sebelumnya.
Dalam konteks inilah keterangan Djoko Tjandra menjadi sangat strategis untuk mengungkap secara terang benderang motif dan keterlibatan masing masing pihak sesuai fakta kronologis yang telah ‘disodorkan’ oleh MAKI. Bagi Djoko Tjandra, kini alternatif logis terbaik adalah memberikan pengakuan yang sejujurnya termasuk menguraikan keterlibatan masing-masing pihak yang membantu pelariannya. Tidak ada insentif bagi Djoko Tjandra jika ia tidak memberikan keterangan secara jujur, termasuk menutupi keterlibatan seluruh pihak yang membantu pelariannya.
Sebaliknya, kemungkinan penegak hukum akan mempertimbangkan insentif pengurangan hukuman atas tindakan melarikan diri setelah diputus penjara dua tahun dalam kasus cessie bank Bali. Mengingat penyidikan pada Djoko Tjandra merupakan pintu masuk yang strategis untuk mengungkap motif, peran serta keterlibatan oknum yang membantu pelariannya maka insentif pengurangan hukuman pada Djoko Tjandra dapat dipertimbangkan.
Penyidikan yang efektif pada Djoko Tjandra akan dapat membantu pihak kepolisian untuk menelusuri peran dan motif para pihak yang membantu pelariannya. Lebih lanjut hasil penyidikan terhadap Djoko Tjandra akan menggambarkan modus operandi dari jaringan oknum perintang penegakan hukum (obstruction of justice). Dengan penyidikan yang efektif terhadap Djoko Tjandra ditambah fakta dan dokumen yang ada maka akan membuat para pelaku lain tidak memiliki banyak pilihan untuk memberikan keterangan secara jujur sehingga akan terungkap rangkaian, pola, dan motif dari tindak pidana itu sendiri.
Lebih jauh, hasil penyidikan dari kasus Djoko Tjandra ini dapat dipergunakan sebagai momentum untuk mengetahui dan memberantas secara tuntas modus operandi dari oknum perintang penegakan hukum (obstruction of justice) yang umumnya dilakukan secara terorganisir dan rapi. Momentum ini dapat dipandang sebagai peluang upaya pembersihan oknum mafia penegakan hukum yang secara nyata masih ada dan menjadi momok bagi penegakan hukum yang objektif.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
ARTIKEL ini diberi judul setelah Djoko Tjandra Tertangkap untuk menunjukkan tiga hal. Pertama, tentu harus diberikan apresiasi kepada pihak kepolisian yang telah menangkap Djoko Tjandra dari pelariannya selama 11 tahun. Kedua, timbul pertanyaan apa yang harus dilakukan setelah Djoko Tjandra tertangkap. Mengeksekusi hukuman dua tahun saja tentu tidak cukup, mengingat Djoko Tjandra sudah melarikan diri dengan membuat ‘drama’ yang melibatkan banyak penegak hukum hingga lurah.
Ketiga, judul dalam artikel ini menggunakan istilah ‘tertangkap’ karena sejatinya upaya perburuan besar-besaran terhadap Djoko Tjandra dimulai setelah masyarakat anti korupsi Indonesia (MAKI) mengungkap kehadiran Djoko Tjandra dalam agenda pertama sidang permohonan peninjauan kembali di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Demikian juga MAKI, mengungkapkan temuan berbagai dokumen yang mencengangkan masyarakat. Temuan-temuan tersebut pada akhirnya memberi dorongan lebih pada aparat penegak hukum untuk menangkap Djoko Tjandra dari pelariannya selama 11 tahun.
Artinya, dalam hal ini penangkapan Djoko Tjandra pada 30 Juli 2020 diinisiasi oleh sejumlah fakta yang diungkapkan oleh MAKI. Dalam hal ini selain apresiasi patut diberikan kepada kepolisian, apresiasi juga patut diberikan kepada MAKI. Tanpa adanya informasi yang sedemikian lengkapnya dari MAKI tentu penangkapan Djoko Tjandra belum tentu dilakukan, mengingat dalam masa buronnya selama 11 tahun justru oknum aparat penegak hukum bertindak melindungi pelarian tersebut dan melakukan upaya merintangi penegakan hukum (obstruction of justice).
Fakta yang diungkapkan MAKI tersebut valid dan menimbulkan pilihan bagi institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, imigrasi hingga pengadilan untuk memilih stigma menjadi pelindung buron atau membersihkan stigma tersebut dengan menangkap Djoko Tjandra dan mengungkap pihak-pihak yang telah membantu upaya pelarian Djoko Tjandra. Termasuk tindakannya masuk dan keluar dari wilayah Indonesia. Setelah euforia tertangkapnya Djoko Tjandra maka pertanyaan kritis selanjutnya adalah apa yang dapat dilakukan dengan tertangkapnya Djoko Tjandra? Hal itu mengingat banyak pihak yang terkait dalam peristiwa pelarian Djoko Tjandra harus diungkap peran dan motifnya satu persatu dan dalam kepentingan ini tentu Djoko Tjandra tahu akan jawabannya.
Game Theory dan Prisoners Dilemma
Tentu setelah tertangkapnya Djoko Tjandra dan terungkapnya fakta para pihak yang membantu pelariannya selama ini akan menimbulkan kepentingan yang berbeda antara Djoko Tjandra maupun para pihak yang terlibat membantu pelariannya selama ini. Dalam mengurai persoalan ini, terutama setelah tertangkapnya Djoko Tjandra, aparat penegak hukum harus memetakan kepentingan seluruh pihak yang terlibat dengan model game theory. Myerson (1994), mendefinisikan game theory sebagai studi model keputusan logis dalam konflik diantara pengambil keputusan yang rasional. Situasi Djoko Tjandra dan seluruh pihak yang terlibat dalam hal ini harus ditangani dengan konsep game theory.
Dalam bidang hukum game theory dikembangkan pada model aplikatif yang dinamakan model prisoners dilemma dalam hukum terapan. Teori prisoners dilemma lahir atas riset beberapa orang penjahat yang baru tertangkap dan ditempatkan secara terpisah dengan interogasi terpisah maka hipotesis yang terjadi adalah jika A mengaku dan B tidak mengaku maka B akan dihukum 20 tahun. Demikian sebaliknya jika masing masing diam maka masing masing hanya akan terkena hukuman 1 tahun. Jika keduanya mengaku maka akan dihukum 5 tahun.
Dalam konsep prisoners dilemma masing masing pelaku kriminal akan memilih pilihan yang menghasilkan insentif bagi dirinya sendiri dengan memperhitungkan keterangan pihak lain. Karena pada umumnya model penyidikan prisoners dilemma diimplementasikan pada model kejahatan yang melibatkan beberapa pihak dan peran masing masing pihak saling berkaitan. Kondisi ini sama persis dengan situasi relasi antara Djoko Tjandra dan para pihak yang membantu pelariannya saat ini setelah semua fakta terungkap.
Dalam kasus tertangkapnya Djoko Tjandra maka baik bagi Djoko Tjandra itu sendiri maupun bagi pihak lainnya yang terlibat pilihan paling logis adalah mengarahkan keterangan untuk mendapat hukuman serendah mungkin. Dalam perspektif prisoners dilemma, sebenarnya setelah Djoko Tjandra tertangkap situasinya menjadi berbalik. Sebelum Djoko Tjandra tertangkap artinya peran strategis ada pada pihak yang membantu (Djoko Tjandra memiliki ketergantungan yang tinggi). Setelah Djoko Tjandra tertangkap maka situasi menjadi sebaliknya yakni posisi Djoko Tjandra menjadi lebih strategis guna mendukung maupun melemahkan alibi pihak lainnya yang terlibat (baik yang sudah diproses secara hukum maupun belum).
Posisi Djoko Tjandra dalam hal ini adalah ‘nothing to lose, something to gain’, yakni posisi tanpa beban. Artinya, sudah pasti harus menjalani hukuman dua tahun ditambah akan dikenai pemberatan (hukuman) karena melarikan diri. Namun tentu dalam hal ini Djoko Tjandra akan mengambil insentif potongan hukuman atas peristiwa pelarian dirinya, jika ia kooperatif pada pihak penyidik. Sehingga hasil penyidikan terhadap Djoko Tjandra tentu akan dapat menguatkan dan mengkonfirmasi keterangan pihak lainnya yang terlibat sebelumnya.
Dalam konteks inilah keterangan Djoko Tjandra menjadi sangat strategis untuk mengungkap secara terang benderang motif dan keterlibatan masing masing pihak sesuai fakta kronologis yang telah ‘disodorkan’ oleh MAKI. Bagi Djoko Tjandra, kini alternatif logis terbaik adalah memberikan pengakuan yang sejujurnya termasuk menguraikan keterlibatan masing-masing pihak yang membantu pelariannya. Tidak ada insentif bagi Djoko Tjandra jika ia tidak memberikan keterangan secara jujur, termasuk menutupi keterlibatan seluruh pihak yang membantu pelariannya.
Sebaliknya, kemungkinan penegak hukum akan mempertimbangkan insentif pengurangan hukuman atas tindakan melarikan diri setelah diputus penjara dua tahun dalam kasus cessie bank Bali. Mengingat penyidikan pada Djoko Tjandra merupakan pintu masuk yang strategis untuk mengungkap motif, peran serta keterlibatan oknum yang membantu pelariannya maka insentif pengurangan hukuman pada Djoko Tjandra dapat dipertimbangkan.
Penyidikan yang efektif pada Djoko Tjandra akan dapat membantu pihak kepolisian untuk menelusuri peran dan motif para pihak yang membantu pelariannya. Lebih lanjut hasil penyidikan terhadap Djoko Tjandra akan menggambarkan modus operandi dari jaringan oknum perintang penegakan hukum (obstruction of justice). Dengan penyidikan yang efektif terhadap Djoko Tjandra ditambah fakta dan dokumen yang ada maka akan membuat para pelaku lain tidak memiliki banyak pilihan untuk memberikan keterangan secara jujur sehingga akan terungkap rangkaian, pola, dan motif dari tindak pidana itu sendiri.
Lebih jauh, hasil penyidikan dari kasus Djoko Tjandra ini dapat dipergunakan sebagai momentum untuk mengetahui dan memberantas secara tuntas modus operandi dari oknum perintang penegakan hukum (obstruction of justice) yang umumnya dilakukan secara terorganisir dan rapi. Momentum ini dapat dipandang sebagai peluang upaya pembersihan oknum mafia penegakan hukum yang secara nyata masih ada dan menjadi momok bagi penegakan hukum yang objektif.
(ras)