Akademisi Nilai MK Terancam Jadi Lembaga Perusak Konstitusi
Senin, 16 Oktober 2023 - 23:22 WIB
JAKARTA - Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie menilai hal yang paling aneh dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat usia capres-cawapres dalam UU Pemilu adalah mengenai putusan yang berbeda dengan petitum yang sama.
Dia mempertanyakan mengapa tiga perkara sebelumnya, amar putusan menolak seluruh permohonan para pemohon yang diajukan PSI, Partai Garuda, dan lainnya. Sementara, permohonan dari mahasiswa UNS sebagai pemohon, objectum litisnya dan petitumnya mirip, tapi amar putusan mengabulkan sebagian.
"Jika putusan ini benar dipengaruhi kehadiran Ketua MK Anwar Usman, maka sebenarnya MK berada dalam bahaya," ujarnya, Senin (16/10/2023).
Dalam beberapa perkara yang ditolak, Ketua MK tidak hadir dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Namun, dalam perkara yang dikabulkan sebagian, kehadiran Anwar Usman dalam RPH bisa membalikkan putusan sebelumnya.
Kejanggalan ini ternyata juga diakui beberapa hakim MK seperti Prof Saldi Isra. "Kita semua tahu, Ketua MK memiliki conflict of interest dengan norma yang sedang diajukan judicial review. Karena menyangkut peluang Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang memiliki hubungan kekeluargaan," kata Gugun.
Dalam konteks ini, MK terpancing dalam judicial activisme yang ikut memutus perkara yang sebenarnya masuk dalam open legal policy yang jadi domain lembaga legislatif dan pemerintah.
Gugun mencurigai MK justru tidak konsisten dalam judicial activisme yang mengarah pada judicialication of politic. Misalnya dalam pengujian pasal Presidential Threshold, MK menahan diri atau dikenal dengan judicial restraint.
Mahkamah menyerahkan kepada pembentuk undang-undang. Tapi, dalam kasus syarat usia pimpinan KPK yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, MK terpancing memutus dan jelas menguntungkan Nurul Ghufron.
Gugun menyayangkan inkonsistensi MK dalam judicial activisme yang sangat politis dan berpihak kepada investasi politik keluarga menjadi warning bahwa lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) ini bisa jadi tidak mendapat kepercayaan publik.
"Kalau sudah tidak mendapat tempat di hati masyarakat, MK terancam menjadi lembaga penghancur konstitusi," tegasnya.
Dia mempertanyakan mengapa tiga perkara sebelumnya, amar putusan menolak seluruh permohonan para pemohon yang diajukan PSI, Partai Garuda, dan lainnya. Sementara, permohonan dari mahasiswa UNS sebagai pemohon, objectum litisnya dan petitumnya mirip, tapi amar putusan mengabulkan sebagian.
"Jika putusan ini benar dipengaruhi kehadiran Ketua MK Anwar Usman, maka sebenarnya MK berada dalam bahaya," ujarnya, Senin (16/10/2023).
Dalam beberapa perkara yang ditolak, Ketua MK tidak hadir dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Namun, dalam perkara yang dikabulkan sebagian, kehadiran Anwar Usman dalam RPH bisa membalikkan putusan sebelumnya.
Kejanggalan ini ternyata juga diakui beberapa hakim MK seperti Prof Saldi Isra. "Kita semua tahu, Ketua MK memiliki conflict of interest dengan norma yang sedang diajukan judicial review. Karena menyangkut peluang Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang memiliki hubungan kekeluargaan," kata Gugun.
Dalam konteks ini, MK terpancing dalam judicial activisme yang ikut memutus perkara yang sebenarnya masuk dalam open legal policy yang jadi domain lembaga legislatif dan pemerintah.
Gugun mencurigai MK justru tidak konsisten dalam judicial activisme yang mengarah pada judicialication of politic. Misalnya dalam pengujian pasal Presidential Threshold, MK menahan diri atau dikenal dengan judicial restraint.
Mahkamah menyerahkan kepada pembentuk undang-undang. Tapi, dalam kasus syarat usia pimpinan KPK yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, MK terpancing memutus dan jelas menguntungkan Nurul Ghufron.
Gugun menyayangkan inkonsistensi MK dalam judicial activisme yang sangat politis dan berpihak kepada investasi politik keluarga menjadi warning bahwa lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) ini bisa jadi tidak mendapat kepercayaan publik.
"Kalau sudah tidak mendapat tempat di hati masyarakat, MK terancam menjadi lembaga penghancur konstitusi," tegasnya.
(jon)
tulis komentar anda