Soal Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres, Ini Pandangan Jimly Asshiddiqie
Minggu, 15 Oktober 2023 - 15:55 WIB
JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), J imly Asshiddiqie mengatakan masalah batasan usia capres dan cawapres tidak bisa dipandang sebagai diskriminasi. Menurutnya, masalah umur adalah salah satu bagian dari persyaratan kerja.
Hal ini disampaikan Jimly menanggapi tentang judicial review (JR) batasan usia capres-cawapres yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ke MK. Jimly mengatakan masalah umur bukan masalah diskriminasi atau ketidakadilan.
“Itu persyaratan pekerjaan. Setiap jenis pekerjaan persyaratannya beda-beda, termasuk persoalan usia,” ujar Jimly dalam keterangannya, Minggu (15/10/2023).
Dia mencontohkan, persyaratan usia PNS dengan TNI. “Kalau kemudian TNI menganggap TNI tidak adil lalu mengajukan JR agar disamakan dengan PNS umur 60, dengan alasan masih kuat (jadi TNI). Apakah itu bisa dinilai sebagai diskriminasi? Tentu tidak. Itu adalah syarat pekerjaan yang beda-beda asal diatur dengan UU,” jelas Jimly.
Kalau kemudian MK membuat keputusan yang berbeda dengan pendapat masyarakat, kata Jimly, maka harus tetap dihormati. Sebab, hakim konstitusi memiliki kewenangan memutuskan hal itu.
Dijelaskannya, DPR dan MK sama-sama pembentuk UU sehingga oleh perumus ide MK pertama di dunia, Hans Kelsen disebut bahwa Parlemen adalah positif legislator yang mengadakan pasal, sementara MK adalah negatif legislator meniadakan pasal.
“Dicoret dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan konstitusi dan memunculkan norma baru,” kata Jimly.
Jimly mengajak masyarakat menunggu putusan MK seperti apa. “Kita hormati walaupun kita tidak suka. Terlebih kalau putusannya tidak aklamasi. Misalnya ada dissenting opinion opinion. Malah itu menunjukkan adanya perdebatan internal (MK),” papar Jimly.
Ditanya apakah persoalan capres-cawapres ini mirip dengan calon independen atau presidential threshold? Jimly membenarkan. Menurutnya, UUD tidak mengatur masalah usia capres atau cawapres dan masalah itu diserahkan pada pembuat UU.
"Tapi UU ini tidak boleh keluar dari semangat UUD," ucapnya.
Hal ini disampaikan Jimly menanggapi tentang judicial review (JR) batasan usia capres-cawapres yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ke MK. Jimly mengatakan masalah umur bukan masalah diskriminasi atau ketidakadilan.
“Itu persyaratan pekerjaan. Setiap jenis pekerjaan persyaratannya beda-beda, termasuk persoalan usia,” ujar Jimly dalam keterangannya, Minggu (15/10/2023).
Dia mencontohkan, persyaratan usia PNS dengan TNI. “Kalau kemudian TNI menganggap TNI tidak adil lalu mengajukan JR agar disamakan dengan PNS umur 60, dengan alasan masih kuat (jadi TNI). Apakah itu bisa dinilai sebagai diskriminasi? Tentu tidak. Itu adalah syarat pekerjaan yang beda-beda asal diatur dengan UU,” jelas Jimly.
Kalau kemudian MK membuat keputusan yang berbeda dengan pendapat masyarakat, kata Jimly, maka harus tetap dihormati. Sebab, hakim konstitusi memiliki kewenangan memutuskan hal itu.
Dijelaskannya, DPR dan MK sama-sama pembentuk UU sehingga oleh perumus ide MK pertama di dunia, Hans Kelsen disebut bahwa Parlemen adalah positif legislator yang mengadakan pasal, sementara MK adalah negatif legislator meniadakan pasal.
“Dicoret dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan konstitusi dan memunculkan norma baru,” kata Jimly.
Jimly mengajak masyarakat menunggu putusan MK seperti apa. “Kita hormati walaupun kita tidak suka. Terlebih kalau putusannya tidak aklamasi. Misalnya ada dissenting opinion opinion. Malah itu menunjukkan adanya perdebatan internal (MK),” papar Jimly.
Ditanya apakah persoalan capres-cawapres ini mirip dengan calon independen atau presidential threshold? Jimly membenarkan. Menurutnya, UUD tidak mengatur masalah usia capres atau cawapres dan masalah itu diserahkan pada pembuat UU.
Baca Juga
"Tapi UU ini tidak boleh keluar dari semangat UUD," ucapnya.
(kri)
tulis komentar anda