Jagat Rindu Lare dan Sora
Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:13 WIB
Di sini,Usman seperti hendak menabok pembaca, bahwa tidak ada yang luput dari benang-benang semesta.Kita lihat sisi Lare. Gadis itu berkata, “Seseorang yang sepasang matanya bertanggung jawab atas kebahagiaanku di muka bumi ini…” (halaman 39)
Pada banyak kesempatan, saya menemukan orang-orang berpendapat bahwa bahan bakar sebuah karangan adalah luka atau penderitaan. Nawal El Saadawi juga memiliki pendapat senada, bahwa ada korelasinya antara kemarahan dan kreativitas.
Hanya saja, momen patah hati itu sebenarnya tidak bisa dikarang-karang. Tidak seperti Kidung Sorandaka―Sora―yang merencanakan kepatahan bagi hatinya demi sebentuk puisi. Akan tetapi, Sora betulan melakukannya, sampai patah sungguhan saat harus kehilangan Lare Segara―kehilangan denyut kehidupan, kehilangan cintanya.
Sebenarnya Lare juga paham bahwa cinta tidak harus digenggam. Cinta itu membebaskan. Maka, melepaskan adalah cara untuk menjaga cinta agar tetap hidup. Hanya saja, menyebut kebahagiaannya ada di tangan orang lain sejatinya kurang tepat. Kebahagiaan, apa pun bentuknya, adalah tanggung jawab kita sendiri. Menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain adalah salah satu cara cepat menuju kematian―material dan non material.
baca juga: Buku-Buku Terlarang Abad 21, Da Vinci Code Terjual 80 Juta Copy
“Kalau ada pertanyaan apakah cinta itu masih ada? Aku akan menjawabnya tegas. Ya, cinta itu masih tegak di sana, di puncak menara yang menjulang di hatiku. Aku masih mencintaimu, Sora, tetapi di saat yang sama, aku harus menyingkirkanmu dari kehidupanku. Aku harus menyelamatkan kehidupanku dengan pergi jauh ke tempat yang sama sekali tidak ada hubungannya denganmu.” (halaman 33)
Lare menyadari kesalahannya, bahwa ia tidak boleh menyerahkan hidup begitu saja menuju kematian. Hidup harus dirayakan, meskipun luka tetap mendampingi. Sebab, hanya dengan merasakan luka, kita betulan hidup. Merasakan, mengenali, dan membiarkannya berlalu. Dan, ketika luka kembali muncul, kita sudah tahu harus bagaimana.
Begitulah yang Lare lakukan. Ia mengenali saat-saat kerinduan maha besar itu datang sepaket dengan rasa nyeri. Ia gegas menciptakan salurannya agar tak berlama-lama macet. Dengan begitu, pikiran positif akan kembali mendominasi.
Semesta bersenang hati mewujudkan impian indah jiwa-jiwa yang tenang. Yang perlu kita kerjakan hanyalah percaya. Maka, benang-benang gaib akan terulur dengan sendirinya, dengan cara yang bahkan tak pernah kita bayangkan. Di sini lain, Sora juga paham, berdiam diri tak selalu berhasil memecahkan situasi rumit. Manusia memang harus bergerak. Setidaknya, menjadikan diri berdaya untuk kehidupannya sendiri.
Ekspresi dan Eksperimen
Pada banyak kesempatan, saya menemukan orang-orang berpendapat bahwa bahan bakar sebuah karangan adalah luka atau penderitaan. Nawal El Saadawi juga memiliki pendapat senada, bahwa ada korelasinya antara kemarahan dan kreativitas.
Hanya saja, momen patah hati itu sebenarnya tidak bisa dikarang-karang. Tidak seperti Kidung Sorandaka―Sora―yang merencanakan kepatahan bagi hatinya demi sebentuk puisi. Akan tetapi, Sora betulan melakukannya, sampai patah sungguhan saat harus kehilangan Lare Segara―kehilangan denyut kehidupan, kehilangan cintanya.
Sebenarnya Lare juga paham bahwa cinta tidak harus digenggam. Cinta itu membebaskan. Maka, melepaskan adalah cara untuk menjaga cinta agar tetap hidup. Hanya saja, menyebut kebahagiaannya ada di tangan orang lain sejatinya kurang tepat. Kebahagiaan, apa pun bentuknya, adalah tanggung jawab kita sendiri. Menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain adalah salah satu cara cepat menuju kematian―material dan non material.
baca juga: Buku-Buku Terlarang Abad 21, Da Vinci Code Terjual 80 Juta Copy
“Kalau ada pertanyaan apakah cinta itu masih ada? Aku akan menjawabnya tegas. Ya, cinta itu masih tegak di sana, di puncak menara yang menjulang di hatiku. Aku masih mencintaimu, Sora, tetapi di saat yang sama, aku harus menyingkirkanmu dari kehidupanku. Aku harus menyelamatkan kehidupanku dengan pergi jauh ke tempat yang sama sekali tidak ada hubungannya denganmu.” (halaman 33)
Lare menyadari kesalahannya, bahwa ia tidak boleh menyerahkan hidup begitu saja menuju kematian. Hidup harus dirayakan, meskipun luka tetap mendampingi. Sebab, hanya dengan merasakan luka, kita betulan hidup. Merasakan, mengenali, dan membiarkannya berlalu. Dan, ketika luka kembali muncul, kita sudah tahu harus bagaimana.
Begitulah yang Lare lakukan. Ia mengenali saat-saat kerinduan maha besar itu datang sepaket dengan rasa nyeri. Ia gegas menciptakan salurannya agar tak berlama-lama macet. Dengan begitu, pikiran positif akan kembali mendominasi.
Semesta bersenang hati mewujudkan impian indah jiwa-jiwa yang tenang. Yang perlu kita kerjakan hanyalah percaya. Maka, benang-benang gaib akan terulur dengan sendirinya, dengan cara yang bahkan tak pernah kita bayangkan. Di sini lain, Sora juga paham, berdiam diri tak selalu berhasil memecahkan situasi rumit. Manusia memang harus bergerak. Setidaknya, menjadikan diri berdaya untuk kehidupannya sendiri.
Ekspresi dan Eksperimen
tulis komentar anda