Terobosan Baru Mahkamah Agung, Koruptor Bisa Dihukum Seumur Hidup
Senin, 03 Agustus 2020 - 07:08 WIB
Andi menandaskan, dengan ada Perma Nomor 1 Tahun 2020, putusan hakim tipikor di semua tingkatan pengadilan dari tingkat pertama hingga MA dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang menyangkut Pasal 2 atau Pasal 3 lebih akuntabilitas.
Artinya, pidana yang dijatuhkan itu dapat dipertanggungjawabkan dari segi keadilan, proporsional, keserasian, dan kemanfaatan. “Terutama bila dikaitkan dengan satu perkara dengan perkara lainnya yang serupa,” ujarnya.
Ketua Muda MA Bidang Pengawasan ini melanjutkan, hakikatnya perma ini digodok hampir dua tahun lamanya oleh kelompok kerja (pokja) sesuai Keputusan Ketua MA Nomor: 189/KMA/SK/IX/2018. Pokja ini bekerja sama dengan Tim Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI). Pokja MA dan Tim MaPPI juga telah melakukan pembahasan dan diskusi dengan instansi penegak hukum lainnya antara lain kejaksaan, KPK, dan kalangan akademisi.
Dia memaparkan, pedoman pemidanaan ini mengatur antara lain mengenai penentuan berat-ringannya hukuman yang akan dijatuhkan sehingga hakim tipikor dalam menetapkan berat-ringannya pidana harus mempertimbangkan kategori kerugian keuangan negara. Berikutnya, tingkat kesalahan terdakwa, dampak dan keuntungan, rentang penjatuhan pidana, keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, serta yang lainnya. “Untuk jelasnya dalam perma tersebut antara lain dapat dilihat pada Lampiran Perma tentang Tahap III - Pasal 12, Memilih Rentang Penjatuhan Pidana,” ucapnya.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri yang dikonfirmasi menyatakan, jika dilihat secara utuh, sebenarnya Perma Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor tidak mengatur semua pasal dalam UU Pemberantasan Tipikor seperti pasal suap-menyuap, pemerasan dalam jabatan, gratifikasi, serta tindak pidana korupsi lainnya. (Baca: Daftar negara Resesi Akibat Corona, dari Amerika hingga Spanyol)
Meski begitu, KPK secara kelembagaan tetap menyambut baik pengesahan dan pemberlakuan perma dimaksud. “Harapannya tentu dengan adanya pedoman pemidanaan tersebut, tidak akan terjadi lagi adanya disparitas dalam putusan tipikor," kata Ali saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (2/8/2020) sore.
Dia pun mengajak semua pihak, termasuk KPK, membangun sikap optimistis ke depan bahwa Perma Nomor 1 Tahun 2020 akan efektif dan dipatuhi oleh para hakim di semua tingkatkan pengadilan hingga tingkat MA. Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya, kata Ali, tentu pedoman tersebut merupakan satu di antara ikhtiar dalam upaya pemberantasan korupsi saat ini di Indonesia.
“Oleh karena itu, sudah seharusnya parameter penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut dapat diwujudkan dalam pemidanaan oleh para hakim yang menyidangkan perkara tipikor dari hakim tingkat pertama hingga MA,” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menilai, secara pribadi dan sebagai mitra kerja MA, Sahroni menyambut baik penerbitan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tersebut. Pasalnya, aturan ini memberikan tolok ukur yang jelas bagi jumlah dan jenis hukuman yang dijatuhkan kepada seorang terpidana korupsi. Dalam pandangannya, selama ini dalam praktik banyak terjadi disparitas yang mencolok dari satu koruptor dengan koruptor lainnya. (Baca juga: Jika Tak Dibeli AS, TikTok Bisa Musnahkan YouTube dan Facebook)
“Karenanya, dengan adanya perma ini, diharapkan adanya kepastian hukuman yang memiliki dasar aturan yang lebih kuat. Tentunya kami (Komisi III) harapkan pedoman tersebut dapat menjadi jawaban bahwa tidak akan ada lagi disparitas hukuman pidana yang begitu jauh bagi koruptor,” tegas Sahroni saat dihubungi KORAN SINDO, Minggu (2/8/2020) sore.
Artinya, pidana yang dijatuhkan itu dapat dipertanggungjawabkan dari segi keadilan, proporsional, keserasian, dan kemanfaatan. “Terutama bila dikaitkan dengan satu perkara dengan perkara lainnya yang serupa,” ujarnya.
Ketua Muda MA Bidang Pengawasan ini melanjutkan, hakikatnya perma ini digodok hampir dua tahun lamanya oleh kelompok kerja (pokja) sesuai Keputusan Ketua MA Nomor: 189/KMA/SK/IX/2018. Pokja ini bekerja sama dengan Tim Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI). Pokja MA dan Tim MaPPI juga telah melakukan pembahasan dan diskusi dengan instansi penegak hukum lainnya antara lain kejaksaan, KPK, dan kalangan akademisi.
Dia memaparkan, pedoman pemidanaan ini mengatur antara lain mengenai penentuan berat-ringannya hukuman yang akan dijatuhkan sehingga hakim tipikor dalam menetapkan berat-ringannya pidana harus mempertimbangkan kategori kerugian keuangan negara. Berikutnya, tingkat kesalahan terdakwa, dampak dan keuntungan, rentang penjatuhan pidana, keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, serta yang lainnya. “Untuk jelasnya dalam perma tersebut antara lain dapat dilihat pada Lampiran Perma tentang Tahap III - Pasal 12, Memilih Rentang Penjatuhan Pidana,” ucapnya.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri yang dikonfirmasi menyatakan, jika dilihat secara utuh, sebenarnya Perma Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor tidak mengatur semua pasal dalam UU Pemberantasan Tipikor seperti pasal suap-menyuap, pemerasan dalam jabatan, gratifikasi, serta tindak pidana korupsi lainnya. (Baca: Daftar negara Resesi Akibat Corona, dari Amerika hingga Spanyol)
Meski begitu, KPK secara kelembagaan tetap menyambut baik pengesahan dan pemberlakuan perma dimaksud. “Harapannya tentu dengan adanya pedoman pemidanaan tersebut, tidak akan terjadi lagi adanya disparitas dalam putusan tipikor," kata Ali saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (2/8/2020) sore.
Dia pun mengajak semua pihak, termasuk KPK, membangun sikap optimistis ke depan bahwa Perma Nomor 1 Tahun 2020 akan efektif dan dipatuhi oleh para hakim di semua tingkatkan pengadilan hingga tingkat MA. Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya, kata Ali, tentu pedoman tersebut merupakan satu di antara ikhtiar dalam upaya pemberantasan korupsi saat ini di Indonesia.
“Oleh karena itu, sudah seharusnya parameter penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut dapat diwujudkan dalam pemidanaan oleh para hakim yang menyidangkan perkara tipikor dari hakim tingkat pertama hingga MA,” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menilai, secara pribadi dan sebagai mitra kerja MA, Sahroni menyambut baik penerbitan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tersebut. Pasalnya, aturan ini memberikan tolok ukur yang jelas bagi jumlah dan jenis hukuman yang dijatuhkan kepada seorang terpidana korupsi. Dalam pandangannya, selama ini dalam praktik banyak terjadi disparitas yang mencolok dari satu koruptor dengan koruptor lainnya. (Baca juga: Jika Tak Dibeli AS, TikTok Bisa Musnahkan YouTube dan Facebook)
“Karenanya, dengan adanya perma ini, diharapkan adanya kepastian hukuman yang memiliki dasar aturan yang lebih kuat. Tentunya kami (Komisi III) harapkan pedoman tersebut dapat menjadi jawaban bahwa tidak akan ada lagi disparitas hukuman pidana yang begitu jauh bagi koruptor,” tegas Sahroni saat dihubungi KORAN SINDO, Minggu (2/8/2020) sore.
tulis komentar anda