Terobosan Baru Mahkamah Agung, Koruptor Bisa Dihukum Seumur Hidup
Senin, 03 Agustus 2020 - 07:08 WIB
JAKARTA - Ini peringatan bagi para pejabat negara yang bernafsu mengorupsi uang rakyat. Jika nekat melakukan korupsi senilai Rp100 miliar atau lebih dengan dampak yang menyusahkan masyarakat, mereka akan divonis pidana penjara seumur hidup.
Hukuman tersebut bisa terjadi karena Mahkamah Agung (MA) membuat terobosan baru untuk mengantisipasi disparitas pidana bagi para pelaku korupsi dengan mengesahkan Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Perma ini ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada 8 Juli 2020, diundangkan pada 24 Juli 2020, dan mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Kendati demikian, tidak serta-merta mereka yang terlibat korupsi Rp100 miliar layak divonis seumur hidup karena ada prasyarat lainnya.
Prasyarat lain di antaranya terdakwa memiliki peran yang paling signifikan, menggunakan modus operandi atau sarana/teknologi canggih, korupsi dilakukan dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi dalam skala nasional, berdampak nasional, dan mengakibatkan hasil pekerjaan sama sekali tidak dapat dimanfaatkan. (Baca: Percepat Penanganan Perkara, MA Bentuk Tim Pemilah)
Selain itu, korupsi yang dilakukan juga mengakibatkan penderitaan bagi kelompok masyarakat rentan seperti orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, perempuan hamil, dan penyandang disabilitas; nilai kekayaan terdakwa sebesar 50%-nya atau lebih didapat dari hasil korupsi; dan uang yang dikorupsi dikembalikan kurang dari 10%.
Meski tidak semua pasal diatur dalam perma tersebut, optimisme publik harus tetap ada ketika perma diberlakukan. Namun, tentu saja pengawasan harus dilakukan secara maksimal agar implementasinya benar-benar efektif.
“Dengan adanya pedoman pemidanaan ini, hakim tipikor dalam menjatuhkan pidana hendaknya memperhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan untuk mewujudkan keadilan. Dengan terbitnya pedoman pemidanaan ini pula, diharapkan hakim tipikor dapat menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa,” ungkap Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro Andi kepada KORAN SINDO kemarin.
Perbedaan penjatuhan hukuman atau vonis yang signifikan (disparitas) bagi pelaku korupsi masih terus terjadi. Disparitas tersebut bukan hanya berhubungan dengan pidana penjara, melainkan juga mencakup denda, pidana tambahan uang pengganti, pidana tambahan pencabutan hak politik, hingga perampasan aset hasil korupsi.
Sepanjang 2019, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat rata-rata vonis pidana penjara bagi koruptor hanya dua tahun tujuh bulan. Padahal, korupsi diyakini oleh kita bersama sebagai extra-ordinary crime atau kejahatan luar biasa. (Baca juga: Afhanistan-Pakistan Baku Tembak saat Idul Adha, 22 Orang Tewas)
Hukuman tersebut bisa terjadi karena Mahkamah Agung (MA) membuat terobosan baru untuk mengantisipasi disparitas pidana bagi para pelaku korupsi dengan mengesahkan Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Perma ini ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada 8 Juli 2020, diundangkan pada 24 Juli 2020, dan mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Kendati demikian, tidak serta-merta mereka yang terlibat korupsi Rp100 miliar layak divonis seumur hidup karena ada prasyarat lainnya.
Prasyarat lain di antaranya terdakwa memiliki peran yang paling signifikan, menggunakan modus operandi atau sarana/teknologi canggih, korupsi dilakukan dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi dalam skala nasional, berdampak nasional, dan mengakibatkan hasil pekerjaan sama sekali tidak dapat dimanfaatkan. (Baca: Percepat Penanganan Perkara, MA Bentuk Tim Pemilah)
Selain itu, korupsi yang dilakukan juga mengakibatkan penderitaan bagi kelompok masyarakat rentan seperti orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, perempuan hamil, dan penyandang disabilitas; nilai kekayaan terdakwa sebesar 50%-nya atau lebih didapat dari hasil korupsi; dan uang yang dikorupsi dikembalikan kurang dari 10%.
Meski tidak semua pasal diatur dalam perma tersebut, optimisme publik harus tetap ada ketika perma diberlakukan. Namun, tentu saja pengawasan harus dilakukan secara maksimal agar implementasinya benar-benar efektif.
“Dengan adanya pedoman pemidanaan ini, hakim tipikor dalam menjatuhkan pidana hendaknya memperhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan untuk mewujudkan keadilan. Dengan terbitnya pedoman pemidanaan ini pula, diharapkan hakim tipikor dapat menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa,” ungkap Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro Andi kepada KORAN SINDO kemarin.
Perbedaan penjatuhan hukuman atau vonis yang signifikan (disparitas) bagi pelaku korupsi masih terus terjadi. Disparitas tersebut bukan hanya berhubungan dengan pidana penjara, melainkan juga mencakup denda, pidana tambahan uang pengganti, pidana tambahan pencabutan hak politik, hingga perampasan aset hasil korupsi.
Sepanjang 2019, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat rata-rata vonis pidana penjara bagi koruptor hanya dua tahun tujuh bulan. Padahal, korupsi diyakini oleh kita bersama sebagai extra-ordinary crime atau kejahatan luar biasa. (Baca juga: Afhanistan-Pakistan Baku Tembak saat Idul Adha, 22 Orang Tewas)
tulis komentar anda