Galau dan Apresiasi

Minggu, 17 September 2023 - 21:00 WIB
Yang namanya konflik, tentu saja merupakan benturan dua kubu dengan berbagai kepentingan. Sementara itu, ternyata tidak sedikit karya fiksi yang tak ubahnya catatan harian yang divermak. Populer dan laris belum tentu berkualitas baik. Begitu pula sebaliknya, yang berkualitas (atau bolehlah kita sebut sastra kelas berat) belum tentu diramalkan sulit laris.

Saya sendiri masih percaya bahwa karya-karya awal seorang penulis menjadi patokan karya-karya berikutnya dalam lingkup kualitas. Sebut saja nama Leila S Chudori dan Ayu Utami. Peminatnya membeludak. Yang saya paham, walaupun Laut Bercerita hanya dijadikan film pendek, ternyata ketenarannya cukup panjang.

Sejauh ini, bagi saya, gado-gado adalah menu makanan yang cukup komplit. Ada karbohidrat, sayur, dan protein. Begitu pula dengan buku ini. Penulis tidak hanya berani memberi kritik, tetapi juga menebar pujian terhadap detail yang menurutnya genial. “Saya menilai, buku ini cakap cerita.” (halaman 62). Pujian itu muncul ketika penulis mengulas buku (novel memoar) Fiersa Besari yang berjudul Arah Langkah.

Dan, bicara soal diksi genial, saya yakin, pembaca akan mengalami upgrading alias kenaikan level perkara perbendaharaan kata. Iya, Anton Suparyanta tampaknya hobi memakai lema-lema tak umum. Membuat saya sendiri berkali-kali membuka kamus demi memahami maknanya. Akan tetapi, bukankah buku bagus akan membuat pembacanya lebih cerdas? Tak hanya paham detail-detail ulasan sekian karya, tetapi juga menambah koleksi kosakata.

Banyak Sudut untuk Memandang

“Kegiatan membacakan dongeng adalah satu media komunikasi yang ampuh ketika mentransfer ide kepada anak dengan kemasan menawan.” (halaman 67)

Kita tahu bahwa mendongeng punya manfaat besar, meskipun (menurut penulis) kita harus mulai memodifikasi tokoh kancil agar terlepas dari karakter cerdas-namun-licik. Paparannya cukup jelas dan gamblang disampaikan. Namun, justru pembahasan soal dongeng ini menyentil benak saya. Apa pasal? Ya, sebab penulis membuat satu tema itu menjadi tiga judul tulisan.

Suatu hari, Bandung Mawardi (Kabut) pernah memberi tahu saya bahwa satu buku bisa dibuatkan dua atau tiga buah ulasan. Ambil inti temanya, dalami, lalu tulis. Akan tetapi, kenapa, sih, sampai perlu menulis lebih dari satu ulasan? Kenapa tidak dijadikan satu saja sekalian? Alasan utamanya adalah ruang.

Tiap rubrik jelas punya jatah ruang masing-masing, termasuk ulasan. Media daring mungkin punya ruang yang lebih, tetapi tetap saja ada batasnya. Ini untuk mencegah kebosanan pembaca. Tidak semua pembaca betah sampai akhir demi mendapat manfaat bacaan. Seringnya mereka hanya butuh inti dari sebuah tulisan untuk mereka olah sendiri.

Bagi para pengulas sendiri, membuat beberapa tulisan merupakan media latihan yang efektif. Setidaknya, kita akan terbiasa berpikir cepat dan praktis dalam memetakan gagasan. Tentu akan sangat menghemat waktu dan tenaga, mengingat para pengulas biasanya punya antrean panjang judul buku yang harus mereka baca.

Buku ini mungil, dengan jumlah halaman tidak sampai dua ratus, tetapi memuat banyak bahan renungan. Apresiasi yang membawa pembaca menikmati geliat galau sastra. Jadi, sudahkah Anda galau hari ini?

Judul buku : Jenama dan Jemawa (Selilit Esai dan Kritik Sastra)

Penulis : Anton Suparyanta

Penerbit : Beranda

Cetak : Pertama, Maret 2023

Tebal : xii + 166 halaman

ISBN : 978-6235453-04-0
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More