Galau dan Apresiasi
Minggu, 17 September 2023 - 21:00 WIB
Sekar Mayang
Editor dan pengulas buku, hidup di Bali
GEMA gerakan membaca begitu kencang sekian tahun belakangan. Akan tetapi, sudahkah kita benar-benar membaca makna dari sebuah tulisan? Membaca tentu berbeda dengan memahami. Memang sebaiknya begitu, bahwa rangkaian kata tersebut tak hanya dibunyikan, tetapi juga dipahami esensinya, bahkan diulik latar belakangnya. Sebab, kata-kata (tulisan) adalah hasil/produk kebudayaan. Ini termasuk untuk urusan sastra.
baca juga: Buku Teladan dari Tiongkok Diluncurkan
“Di tangan seorang pecandu yang suka utak-atik, galau menjadi umpan. Galau menjadi atraktif dan rekreatif. Galau diolah. Galau menumbuhkan inspirasi. Galau menjelma menjadi kata yang lembut sekaligus galak. Galau diapresiasi ke dalam rupa karya.” (halaman vi)
Dalam bukunya yang berjudul Melawan Sistem Perbudakan, Nawal El Saadawi menjelaskan bahwa awal mula lahirnya tulisan adalah sebuah situasi yang bernama ketidaknyamanan. Seorang laki-laki yang baru saja bertemu dengan seorang perempuan, kesulitan untuk tidur di malam hari. Pikirannya dipenuhi sosok perempuan tersebut.
Berkali-kali menghela napas berat nan panjang sebab ada sebentuk rasa nyeri di dadanya. Ketidaknyamanan membuatnya tidak bisa tidur. Akhirnya, ia nyalakan laptop, lalu menumpahkan perasaannya. Atau, ia ambil gitar, ia nyanyikan sebuah lagu (atau malah mencipta yang baru) demi tersalurkannya emosi nan tak nyaman tersebut. Atau, ia ambil sepotong kayu, dibentuk menjadi hati, dan ia ukir inisial si perempuan.
Contoh lainnya ketika seseorang melihat ketidakadilan, tetapi tidak punya daya untuk melawan secara langsung, maka biasanya akan memanfaatkan seni untuk bersuara. Seperti yang dilakukan Pram kala membela para proletar.
Ada produk dari ketidaknyamanan. Di luar tinjauan kualitas, tiap karya adalah baik adanya. Itulah yang penulis coba bicarakan melalui buku ini. Bahwa kita sebagai penikmat karya sastra memang perlu sedikit galau untuk bisa menghasilkan sebuah karya, yaitu sebuah ulasan.
Editor dan pengulas buku, hidup di Bali
GEMA gerakan membaca begitu kencang sekian tahun belakangan. Akan tetapi, sudahkah kita benar-benar membaca makna dari sebuah tulisan? Membaca tentu berbeda dengan memahami. Memang sebaiknya begitu, bahwa rangkaian kata tersebut tak hanya dibunyikan, tetapi juga dipahami esensinya, bahkan diulik latar belakangnya. Sebab, kata-kata (tulisan) adalah hasil/produk kebudayaan. Ini termasuk untuk urusan sastra.
baca juga: Buku Teladan dari Tiongkok Diluncurkan
“Di tangan seorang pecandu yang suka utak-atik, galau menjadi umpan. Galau menjadi atraktif dan rekreatif. Galau diolah. Galau menumbuhkan inspirasi. Galau menjelma menjadi kata yang lembut sekaligus galak. Galau diapresiasi ke dalam rupa karya.” (halaman vi)
Dalam bukunya yang berjudul Melawan Sistem Perbudakan, Nawal El Saadawi menjelaskan bahwa awal mula lahirnya tulisan adalah sebuah situasi yang bernama ketidaknyamanan. Seorang laki-laki yang baru saja bertemu dengan seorang perempuan, kesulitan untuk tidur di malam hari. Pikirannya dipenuhi sosok perempuan tersebut.
Berkali-kali menghela napas berat nan panjang sebab ada sebentuk rasa nyeri di dadanya. Ketidaknyamanan membuatnya tidak bisa tidur. Akhirnya, ia nyalakan laptop, lalu menumpahkan perasaannya. Atau, ia ambil gitar, ia nyanyikan sebuah lagu (atau malah mencipta yang baru) demi tersalurkannya emosi nan tak nyaman tersebut. Atau, ia ambil sepotong kayu, dibentuk menjadi hati, dan ia ukir inisial si perempuan.
Contoh lainnya ketika seseorang melihat ketidakadilan, tetapi tidak punya daya untuk melawan secara langsung, maka biasanya akan memanfaatkan seni untuk bersuara. Seperti yang dilakukan Pram kala membela para proletar.
Ada produk dari ketidaknyamanan. Di luar tinjauan kualitas, tiap karya adalah baik adanya. Itulah yang penulis coba bicarakan melalui buku ini. Bahwa kita sebagai penikmat karya sastra memang perlu sedikit galau untuk bisa menghasilkan sebuah karya, yaitu sebuah ulasan.
tulis komentar anda