MK Tolak Uji Materi UU Partisipasi Publik
Kamis, 14 September 2023 - 15:54 WIB
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi ( MK ) menolak uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) tentang Partisipasi Publik. Perkara nomor 82/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Almizan Ulfa.
Ketua MK Anwar Usman mengatakan, pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan A Quo. Namun, permohonan pemohon soal pengujian Pasal 96 ayat 6 dan 8 UU 13 tahun 2022 tidak beralasan menurut hukum.
"Permohonan pemohon berkenaan dengan pengujian Pasal 96 ayat (9) UU 13/2022 tidak jelas atau kabur (obscuur)," kata Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2023).
Anwar Usman mengatakan, permohonan soal Pasal 96 ayat 9 UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801) tidak dapat diterima.
"Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya," katanya.
Dalam sidang sebelumnya, Almizan yang hadir tanpa kuasa hukum menyebutkan Pasal 96 ayat (6), ayat (8) dan ayat (9) UU P3 bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 serta Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Pemohon mempertanyakan ketidakkonsistenan antara Pasal 96 ayat (1) dengan ayat (6), ayat (8), dan ayat (9) UU P3 dengan mencermati dua kata kunci 'berhak' dan 'dapat'.
Untuk memenuhi hak ini, pemerintah wajib mendengarkan, mempertimbang, dan memberikan jawaban atas pendapat yang diberikan masyarakat, di antaranya melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi, kegiatan konsultasi publik.
Namun atas adanya pilihan pada norma tersebut dapat bermakna multitafsir dan tidak memiliki kepastian hukum. Sebab pembentuk undang-undang dapat saja menggunakan salah satu dari pilihan yang ada tersebut saat melakukan penyusunan peraturan perundang-undangan.
Justru hal yang dinilai perlu menurut Pemohon berupa prinsip-prinsip yang menjamin suara masyarakat didengar, dipertimbangkan, dan ditanggapi seefisien mungkin dalam satu jalur atau koridor yang efisien dan berkelanjutan hingga tercapainya tujuan pastisipasi publik.
Untuk itu, dalam petitumnya, Almizan meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 96 ayat (6), ayat (8) dan ayat (9) UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan konstitusionalitas bersyarat.
Ketua MK Anwar Usman mengatakan, pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan A Quo. Namun, permohonan pemohon soal pengujian Pasal 96 ayat 6 dan 8 UU 13 tahun 2022 tidak beralasan menurut hukum.
"Permohonan pemohon berkenaan dengan pengujian Pasal 96 ayat (9) UU 13/2022 tidak jelas atau kabur (obscuur)," kata Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2023).
Anwar Usman mengatakan, permohonan soal Pasal 96 ayat 9 UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801) tidak dapat diterima.
"Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya," katanya.
Dalam sidang sebelumnya, Almizan yang hadir tanpa kuasa hukum menyebutkan Pasal 96 ayat (6), ayat (8) dan ayat (9) UU P3 bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 serta Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Pemohon mempertanyakan ketidakkonsistenan antara Pasal 96 ayat (1) dengan ayat (6), ayat (8), dan ayat (9) UU P3 dengan mencermati dua kata kunci 'berhak' dan 'dapat'.
Untuk memenuhi hak ini, pemerintah wajib mendengarkan, mempertimbang, dan memberikan jawaban atas pendapat yang diberikan masyarakat, di antaranya melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi, kegiatan konsultasi publik.
Namun atas adanya pilihan pada norma tersebut dapat bermakna multitafsir dan tidak memiliki kepastian hukum. Sebab pembentuk undang-undang dapat saja menggunakan salah satu dari pilihan yang ada tersebut saat melakukan penyusunan peraturan perundang-undangan.
Justru hal yang dinilai perlu menurut Pemohon berupa prinsip-prinsip yang menjamin suara masyarakat didengar, dipertimbangkan, dan ditanggapi seefisien mungkin dalam satu jalur atau koridor yang efisien dan berkelanjutan hingga tercapainya tujuan pastisipasi publik.
Untuk itu, dalam petitumnya, Almizan meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 96 ayat (6), ayat (8) dan ayat (9) UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan konstitusionalitas bersyarat.
(abd)
tulis komentar anda