Dispute Royalti Ilustrasi dalam Film
Senin, 04 September 2023 - 11:32 WIB
Hal lain yang juga berpotensi menimbulkan keributan adalah soal besaran angka yang ditetapkan oleh LMKN. Melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, tarif royalti untuk bioskop dipungut secara lumpsum sebesar Rp. 3.600.000,- (tiga juta enam ratus ribu rupiah) per layar per tahun. Besaran angka tersebut, sejauh yang saya tahu, tidak pernah dirundingkan dengan pihak-pihak terkait, yakni pihak Bioskop dan Produser. Sehingga penetapan tersebut semena-mena dan bisa dianggap memberatkan.
Lalu, penarikan royalti secara lumpsum juga bisa mengundang perdebatan serius. Hak Cipta adalah hak eksklusif milik Pencipta baik yang dilakukan sendiri atau bersama orang lain. Maka, konpensasi atau nilai ekonomi yang timbul dari sebuah Ciptaan haruslah diberikan kepada masing-masing Pencipta. Selain itu, nilai sebuah ciptaan bisa berbeda-beda harganya tergantung si pencipta. Maka, penarikan secara lumpsum bisa saja mengutungkan buat salah satu pencipta, tapi bisa dianggap merugikan bagi pencipta yang lain.
Surat Kuasa dari Pencipta juga hal yang tak kalah pentingnya. Seperti telah diatur oleh undang-undang, bahwa yang berhak untuk menagih royalti adalah mereka yang mendapat suarat kuasa untuk itu. Maka, LMKN atau LMK (dalam hal ini WAMI) yang menagih royalti harus dapat menunjukkan bukti bahwa dia mendapat surat kuasa dari para Pencipta yan g menjadi anggotanya. WAMI tidak berhak menagih royalti dari mereka yang bukan anggotanya. Jika penciptanya adalah orang asing, setidak-tidaknya adalah kuasa dari counterpart-nya di mana sang pencipta tergabung.
Dan tentang kuasa ini, pihak Produser, bioskop maupun platfom lain berhak meminta bukti suarat kuasa itu. Juga bukti bahwa benar royalti yang ditarik oleh LMKN dan LMK diberikan kepada mereka yang berhak. Jika LMKN atau LMK tidak dapat memberikan bukti-bukti tersebut, bisa saja timbul dugaan bahwa uang pembayaran royalti tidak disalurkan sebagaimana mestinya.
Lalu bagaimana sebaiknya semua masalah ini diselesaikan? Usulan saya, pertama, penarikan royalti tidak dilakukan pada ilustrasi di dalam film, tetapi musik yang diputar di lobi bioskop (musik yang sudah difikasi). Kedua, angka yang ditetapkan dikoreksi berdasarkan kesepakatan para pihak yang terkait. Ketiga, sebagai konsekuensi logis, Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, tarif royalti untuk bioskop dikoreksi atau diganti dengan keputusan baru yang lebih masuk akal dan dapat diterima oleh semua pihak.
Lalu, penarikan royalti secara lumpsum juga bisa mengundang perdebatan serius. Hak Cipta adalah hak eksklusif milik Pencipta baik yang dilakukan sendiri atau bersama orang lain. Maka, konpensasi atau nilai ekonomi yang timbul dari sebuah Ciptaan haruslah diberikan kepada masing-masing Pencipta. Selain itu, nilai sebuah ciptaan bisa berbeda-beda harganya tergantung si pencipta. Maka, penarikan secara lumpsum bisa saja mengutungkan buat salah satu pencipta, tapi bisa dianggap merugikan bagi pencipta yang lain.
Surat Kuasa dari Pencipta juga hal yang tak kalah pentingnya. Seperti telah diatur oleh undang-undang, bahwa yang berhak untuk menagih royalti adalah mereka yang mendapat suarat kuasa untuk itu. Maka, LMKN atau LMK (dalam hal ini WAMI) yang menagih royalti harus dapat menunjukkan bukti bahwa dia mendapat surat kuasa dari para Pencipta yan g menjadi anggotanya. WAMI tidak berhak menagih royalti dari mereka yang bukan anggotanya. Jika penciptanya adalah orang asing, setidak-tidaknya adalah kuasa dari counterpart-nya di mana sang pencipta tergabung.
Dan tentang kuasa ini, pihak Produser, bioskop maupun platfom lain berhak meminta bukti suarat kuasa itu. Juga bukti bahwa benar royalti yang ditarik oleh LMKN dan LMK diberikan kepada mereka yang berhak. Jika LMKN atau LMK tidak dapat memberikan bukti-bukti tersebut, bisa saja timbul dugaan bahwa uang pembayaran royalti tidak disalurkan sebagaimana mestinya.
Lalu bagaimana sebaiknya semua masalah ini diselesaikan? Usulan saya, pertama, penarikan royalti tidak dilakukan pada ilustrasi di dalam film, tetapi musik yang diputar di lobi bioskop (musik yang sudah difikasi). Kedua, angka yang ditetapkan dikoreksi berdasarkan kesepakatan para pihak yang terkait. Ketiga, sebagai konsekuensi logis, Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, tarif royalti untuk bioskop dikoreksi atau diganti dengan keputusan baru yang lebih masuk akal dan dapat diterima oleh semua pihak.
(wur)
Lihat Juga :
tulis komentar anda