Tangkal Depresi, Cegah Bunuh Diri
Kamis, 30 Juli 2020 - 08:29 WIB
JAKARTA - "Saya sebagai orang tua kecewa dengan kesimpulan itu ( depresi ) karena enggak mungkin anak saya bunuh diri. Kalau orang depresi menurut saya ya, awam, paling enggak dia tidak bisa kerja, tidak punya harapan.”
Dua penggal kalimat itu telontar dari bibir Suwandi, ayah Yodi Prabowo , editor salah satu stasiun TV yang meninggal karena bunuh diri. Raut duka masih terpancar dari wajah Suwandi saat melayani wawancara sebuah stasiun TV pada Sabtu (25/7) itu. Suwandi tidak percaya anaknya bunuh diri akibat depresi karena tidak menunjukkan tanda-tanda ada tekanan mental.
Penyebab kematian Yodi memang sempat menjadi teka-teki selama dua pekan. Namun semua itu terjawab setelah polisi mengungkap bahwa pemuda tersebut tidak dibunuh, melainkan bunuh diri dengan menusuk dirinya dengan pisau yang ia beli sendiri. Motivasi bunuh diri diduga karena depresi .
Kasus Yodi Prabowo mengonfirmasi bahaya depresi yang bisa berujung kematian dengan cara bunuh diri. Kasus depresi dan kesehatan mental lain perlu diberi perhatian lebih demi mencegah jatuhnya korban bunuh diri berikutnya. Pentingnya kampanye kesehatan mental kian relevan seiring pandemi corona (Covid-19) yang membuat tekanan yang dipikul seseorang bisa menjadi lebih berat. (Baca: Psikolog: Kematian Yogi Prabowo Mirip Kasus Vokalis Linkin Park)
Hubungan antara kesehatan mental dan pandemi ini telah dikonfirmasi oleh WHO. Pada Mei 2020 organisasi kesehatan dunia itu melaporkan ke Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan krisis kesehatan mental yang membayangi negara-negara di dunia akibat Covid-19. Peringatan WHO ini dinilai penting menjadi kepedulian negara-negara yang selama ini perhatiannya terhadap kesehatan mental masih minim, termasuk Indonesia.
Karena itu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk fokus terhadap masalah tersebut. Negara perlu lebih giat melakukan upaya, terutama tindakan preventif dan promotif, agar penderita gangguan kejiwaan bisa terhindar dari hal buruk.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJ) DKI Jakarta Nova Riyanti Yusuf menyebut Indonesia termasuk negara yang belum mengarusutamakan kesehatan jiwa. “Ya, mau gimana lagi, kita juga sama termasuk yang enggak (perhatian),” kata Nova saat dihubungi kemarin.
Di masa pandemi ini, menurut Nova, perhatian terhadap kondisi kesehatan mental masyarakat makin penting. Dia memaparkan fakta betapa tingginya pengaruh pandemi tersebut terhadap kesehatan mental masyarakat. Menurutnya PDSKJI pernah membuka layanan swaperiksa untuk masyarakat.
Hingga 14 Mei lalu ada 2.364 responden dari 34 provinsi. Sekitar 72% peserta swaperiksa ini perempuan. Dari situ ketahuan peserta yang mengalami masalah psikologi sebanyak 69%. Perinciannya 68% cemas, 67% depresi, dan 77% trauma psikologis di masa Covid-19. (Baca juga: Kenapa Yodi Prabowo Bunuh Diri di Tempat Terpencil)
Nova menyebut, jika peserta lebih banyak yang terlibat, bisa jadi temuan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) juga lebih besar. “Harapannya, kalau ODMK ini ditangani segera, mereka tidak sampai menjadi ODGJ atau orang dengan gangguan jiwa,” papar mantan anggota DPR itu.
Dua penggal kalimat itu telontar dari bibir Suwandi, ayah Yodi Prabowo , editor salah satu stasiun TV yang meninggal karena bunuh diri. Raut duka masih terpancar dari wajah Suwandi saat melayani wawancara sebuah stasiun TV pada Sabtu (25/7) itu. Suwandi tidak percaya anaknya bunuh diri akibat depresi karena tidak menunjukkan tanda-tanda ada tekanan mental.
Penyebab kematian Yodi memang sempat menjadi teka-teki selama dua pekan. Namun semua itu terjawab setelah polisi mengungkap bahwa pemuda tersebut tidak dibunuh, melainkan bunuh diri dengan menusuk dirinya dengan pisau yang ia beli sendiri. Motivasi bunuh diri diduga karena depresi .
Kasus Yodi Prabowo mengonfirmasi bahaya depresi yang bisa berujung kematian dengan cara bunuh diri. Kasus depresi dan kesehatan mental lain perlu diberi perhatian lebih demi mencegah jatuhnya korban bunuh diri berikutnya. Pentingnya kampanye kesehatan mental kian relevan seiring pandemi corona (Covid-19) yang membuat tekanan yang dipikul seseorang bisa menjadi lebih berat. (Baca: Psikolog: Kematian Yogi Prabowo Mirip Kasus Vokalis Linkin Park)
Hubungan antara kesehatan mental dan pandemi ini telah dikonfirmasi oleh WHO. Pada Mei 2020 organisasi kesehatan dunia itu melaporkan ke Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan krisis kesehatan mental yang membayangi negara-negara di dunia akibat Covid-19. Peringatan WHO ini dinilai penting menjadi kepedulian negara-negara yang selama ini perhatiannya terhadap kesehatan mental masih minim, termasuk Indonesia.
Karena itu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk fokus terhadap masalah tersebut. Negara perlu lebih giat melakukan upaya, terutama tindakan preventif dan promotif, agar penderita gangguan kejiwaan bisa terhindar dari hal buruk.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJ) DKI Jakarta Nova Riyanti Yusuf menyebut Indonesia termasuk negara yang belum mengarusutamakan kesehatan jiwa. “Ya, mau gimana lagi, kita juga sama termasuk yang enggak (perhatian),” kata Nova saat dihubungi kemarin.
Di masa pandemi ini, menurut Nova, perhatian terhadap kondisi kesehatan mental masyarakat makin penting. Dia memaparkan fakta betapa tingginya pengaruh pandemi tersebut terhadap kesehatan mental masyarakat. Menurutnya PDSKJI pernah membuka layanan swaperiksa untuk masyarakat.
Hingga 14 Mei lalu ada 2.364 responden dari 34 provinsi. Sekitar 72% peserta swaperiksa ini perempuan. Dari situ ketahuan peserta yang mengalami masalah psikologi sebanyak 69%. Perinciannya 68% cemas, 67% depresi, dan 77% trauma psikologis di masa Covid-19. (Baca juga: Kenapa Yodi Prabowo Bunuh Diri di Tempat Terpencil)
Nova menyebut, jika peserta lebih banyak yang terlibat, bisa jadi temuan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) juga lebih besar. “Harapannya, kalau ODMK ini ditangani segera, mereka tidak sampai menjadi ODGJ atau orang dengan gangguan jiwa,” papar mantan anggota DPR itu.
tulis komentar anda