Tangkal Depresi, Cegah Bunuh Diri
loading...
A
A
A
JAKARTA - "Saya sebagai orang tua kecewa dengan kesimpulan itu ( depresi ) karena enggak mungkin anak saya bunuh diri. Kalau orang depresi menurut saya ya, awam, paling enggak dia tidak bisa kerja, tidak punya harapan.”
Dua penggal kalimat itu telontar dari bibir Suwandi, ayah Yodi Prabowo , editor salah satu stasiun TV yang meninggal karena bunuh diri. Raut duka masih terpancar dari wajah Suwandi saat melayani wawancara sebuah stasiun TV pada Sabtu (25/7) itu. Suwandi tidak percaya anaknya bunuh diri akibat depresi karena tidak menunjukkan tanda-tanda ada tekanan mental.
Penyebab kematian Yodi memang sempat menjadi teka-teki selama dua pekan. Namun semua itu terjawab setelah polisi mengungkap bahwa pemuda tersebut tidak dibunuh, melainkan bunuh diri dengan menusuk dirinya dengan pisau yang ia beli sendiri. Motivasi bunuh diri diduga karena depresi .
Kasus Yodi Prabowo mengonfirmasi bahaya depresi yang bisa berujung kematian dengan cara bunuh diri. Kasus depresi dan kesehatan mental lain perlu diberi perhatian lebih demi mencegah jatuhnya korban bunuh diri berikutnya. Pentingnya kampanye kesehatan mental kian relevan seiring pandemi corona (Covid-19) yang membuat tekanan yang dipikul seseorang bisa menjadi lebih berat. (Baca: Psikolog: Kematian Yogi Prabowo Mirip Kasus Vokalis Linkin Park)
Hubungan antara kesehatan mental dan pandemi ini telah dikonfirmasi oleh WHO. Pada Mei 2020 organisasi kesehatan dunia itu melaporkan ke Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan krisis kesehatan mental yang membayangi negara-negara di dunia akibat Covid-19. Peringatan WHO ini dinilai penting menjadi kepedulian negara-negara yang selama ini perhatiannya terhadap kesehatan mental masih minim, termasuk Indonesia.
Karena itu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk fokus terhadap masalah tersebut. Negara perlu lebih giat melakukan upaya, terutama tindakan preventif dan promotif, agar penderita gangguan kejiwaan bisa terhindar dari hal buruk.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJ) DKI Jakarta Nova Riyanti Yusuf menyebut Indonesia termasuk negara yang belum mengarusutamakan kesehatan jiwa. “Ya, mau gimana lagi, kita juga sama termasuk yang enggak (perhatian),” kata Nova saat dihubungi kemarin.
Di masa pandemi ini, menurut Nova, perhatian terhadap kondisi kesehatan mental masyarakat makin penting. Dia memaparkan fakta betapa tingginya pengaruh pandemi tersebut terhadap kesehatan mental masyarakat. Menurutnya PDSKJI pernah membuka layanan swaperiksa untuk masyarakat.
Hingga 14 Mei lalu ada 2.364 responden dari 34 provinsi. Sekitar 72% peserta swaperiksa ini perempuan. Dari situ ketahuan peserta yang mengalami masalah psikologi sebanyak 69%. Perinciannya 68% cemas, 67% depresi, dan 77% trauma psikologis di masa Covid-19. (Baca juga: Kenapa Yodi Prabowo Bunuh Diri di Tempat Terpencil)
Nova menyebut, jika peserta lebih banyak yang terlibat, bisa jadi temuan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) juga lebih besar. “Harapannya, kalau ODMK ini ditangani segera, mereka tidak sampai menjadi ODGJ atau orang dengan gangguan jiwa,” papar mantan anggota DPR itu.
Untuk meringankan tekanan mental di masa pandemi, Nova menyampaikan sejumlah cara. Di antaranya secara spiritual mendekatkan diri kepada Tuhan, melakukan meditasi atau yoga, memperbanyak komunikasi dengan orang lain lewat media sosial (medsos) atau melalui layanan pesan.
Dengan cara itu akan terbangun ketahanan emosional yang baik. “Terbangun emotional resilience atau kemampuan untuk melampaui kondisi-kondisi tidak beruntung seperti bencana, masalah keluarga, pekerjaan, masalah dengan sekolah, dan sebagainya,” urai Nova.
Kesadaran masyarakat untuk membantu orang yang mengalami gangguan kesehatan mental di Indonesia masih rendah. Tidak sedikit yang menuding orang yang sedang stres atau depresi sebagai pribadi yang lebay atau lemah. Padahal, depresi merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada otak.
Dalam kasus kematian Yodi Prabowo, ada tanda-tanda yang dinilai bahwa pemuda itu sedang menyiapkan aksi nekat mengakhiri hidup. Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, ada dua indikasi yang sebangun dengan temuan polisi bahwa Yodi bunuh diri. Pertama, cuplikan kesaksian bahwa Yodi berkata, "...kalau nanti aku enggak ada, kamu sedih enggak?" Menurut Reza, awam barangkali menganggap sepele perkataan semacam itu. Tapi dari perspektif psikologi, kalimat tersebut merupakan pertanda depresi ataupun depresi reaktif (depresi situasional).
Disebut depresi ketika tekanan berlangsung dalam waktu panjang sehingga terjadi penumpukan tekanan batin. Sementara itu depresi reaktif terjadi ketika individu berhadapan dengan trauma spesifik dan berlangsung dalam kurun lebih singkat. Apabila tidak segera diatasi, depresi reaktif tentu berpeluang memburuk menjadi depresi klinis.
“Perkataan korban, seperti yang diucapkan ulang oleh saksi, mengandung pemikiran tentang bunuh diri. Pemikiran semacam ini sama sekali tidak boleh dianggap enteng,” ujarnya saat dihubungi.
Menurut Reza, simpulan WHO menyebutkan bahwa sekitar 60% kasus bunuh diri memiliki transisi dalam bentuk pemikiran tentang bunuh diri menuju ke rencana bunuh diri, lalu berlanjut ke langkah bunuh diri. Itu berlangsung dalam kurun 12 bulan sejak pemikiran muncul untuk pertama kalinya.
Masyarakat menurut dia perlu lebih serius menyikapi perkataan tentang bunuh diri yang dikemukakan siapa pun. Perlakuannya sama ketika otoritas penerbangan tidak menoleransi ucapan "bom". “Ekspresi semacam itu patut ditafsirkan sebagai permintaan tolong sehingga pendengarnya perlu menyemangati orang-orang dengan suicidal ideation untuk selekasnya mencari bantuan medis dan psikis,” tandasnya.
Pendiri Yayasan Sehat Mental Indonesia (YSMI) Rama Giovani menegaskan, anggapan bahwa depresi karena seseorang itu lemah adalah keliru. (Baca juga: Mesir Terima LIma Jet Tempur Rusia Sukhoi Su-35 Meski AS Marah)
“Sebagian orang belum menganggap depresi sebagai hal serius sehingga kerap menganggap penderita lebay dan sekadar menyarankan agar lebih banyak beribadah,” ujar dokter spesialis kesehatan jiwa ini saat dihubungi kemarin.
Padahal, kata dia, seharusnya ketika di lingkungan sekitar ada orang yang menunjukkan tanda-tanda depresi berupa gangguan perilaku atau emosi, seharusnya diberi dukungan.
“Bukan justru menganggapnya lemah, tapi harus di-support. Kalau perlu sarankan dia ke ahli karena masalah mental itu memang ada yang harus ditangani oleh orang profesional,” ujarnya.
Kesehatan mental seseorang terganggu bisa disebabkan banyak faktor, antara lain biologis, psikologis, sosial, kultural, maupun spiritual. “Banyak yang bisa jadi pemicunya, kompleks. Bahkan gangguan mental bisa terjadi sejak dari janin karena saat hamil ibu sedang ada masalah,” ujarnya.
Rama mendukung agar kampanye kesehatan mental untuk mencegah depresi terus dilakukan. Apalagi masih banyak orang yang belum paham tentang bahaya depresi. Memang dia mengakui saat ini kampanye kesehatan mental sudah lebih baik dibanding 10 tahun lalu karena ada platform media sosial yang menyediakan banyak informasi. (Baca juga: Sambangi Muhammadiyah, Nadiem Makarim Bungkam)
“Tapi perlu terus memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa depresi itu riil ada, enggak bohong. Itu bukan hanya karena kelemahan iman. Kalau ada indikasi gangguan emosi, tolong datang ke profesional,” tandasnya.
Persoalan Regulasi
Di tengah situasi sulit akibat pandemi, pemerintah diminta lebih memperhatikan kesehatan mental masyarakat. Nova Riyanti Yusuf mengatakan, masalah kesehatan mental belum menjadi prioritas pemerintah. Alasannya hingga hari ini belum ada peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa). Selain itu dari sisi anggaran juga masih kecil. Meskipun anggaran naik menjadi Rp45 miliar dari sebelumnya Rp9,5 miliar, hal itu dialokasikan untuk IPWL (instansi penerima wajib lapor) terkait kasus narkotika.
“Nah, anggarannya harus dinaikkan untuk kegiatan promotif, preventif. Kalau yang kuratif nggak masalah, tingkatkan saja,” ujarnya.
Tindakan preventif gangguan kesehatan mental bisa dilakukan dengan memperkuat telemedicine yang ada. Menurut dia, masyarakat yang berkonsultasi lewat Sehatpedia saat ini memang gratis, namun psikiater yang mendampinginya harus tetap dibayar agar mereka memberikan jasanya tidak asal-asalan. Pemerintah, menurut Nova, harus menyiapkan infrastruktur untuk menghadapi arus masalah kejiwaan yang akan muncul di masa depan. “Jadi enggak cuma kesiapan tenaga kesehatan jiwanya, tapi juga teknologinya. Misalnya mau pakai telemedicine harus disiapin dong. Anggarannya jangan sekecil itu,” ujarnya. (Baca juga: Indonesia-Turki Coba Kerjasama di Bidang Penerbangan dan Antariksa)
Menanggapi tudingan pemerintah masih abai pada kesehatan mental warganya, pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membantah. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Fidiansjah mengatakan sudah ada beberapa peraturan turunan UU Keswa yang dibuat.
“Memang belum semua, tapi kalau dikatakan belum ada, salah. Turunan berupa peraturan narkotika sudah ada, aturan turunan tentang orang dengan gangguan jiwa juga ada,” ucapnya saat dihubungi.
Dia menegaskan, sejumlah indikator menunjukkan pemerintah sangat member perhatian terhadap kesehatan mental masyarakat. Salah satunya orang dengan gangguan jiwa berat harus diobati sesuai dengan standar. Setiap provinsi dan kabupaten/kota disebutnya harus menyiapkan standar pelayanan orang dengan gangguan jiwa. “Apa kurangnya pemerintah?” kata dia.
Di masa pandemi ini pun regulasi disiapkan. Di antaranya menyusun buku pedoman dukungan pedoman kesehatan jiwa dan psikososial. Pihaknya juga menyiapkan buku untuk AKB (adaptasi kebiasaan baru) sehingga akan ada revisi buku kedua tentang bagaimana menyiapkan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial pada tatanan baru.
Kemenkes juga menyiapkan hotline 119 dengan ekstensi 8 khusus untuk kesehatan jiwa yang bisa dihubungi setiap saat. Kemenkes juga memiliki banyak perkumpulan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap kesehatan jiwa.
“Ada banyak, ada perhimpunan skizofrenia, ada perhimpunan bipolar, ada perhimpunan autis, ada perhimpunan orang untuk tercegah bunuh diri,” ujarnya. (Lihat videonya: Akibat hubungan Arus Pendek Listrik, Gudang Penyimpanan Beras Terbakar)
Fidiansjah juga mengajak masyarakat untuk sadar bahwa jiwa adalah bagian integral manusia. Jiwa perlu sehat sebagaimana fisik manusia. Dia meminta agar upaya mencari pertolongan mental sebagai upaya promotif preventif kesehatan jiwa dibudayakan. Terhadap gangguan kesehatan fisik masyarakat disebutnya sudah semakin sadar, tetapi belum untuk kesehatan jiwa.
“Puskesmas merupakan tempat yang tepat dijadikan upaya preventif promotif terhadap kesehatan jiwa sebelum terlambat, karena kalau sudah masuk rumah sakit jiwa itu sudah terlambat,” tandasnya. (Kiswondari/Bakti)
Dua penggal kalimat itu telontar dari bibir Suwandi, ayah Yodi Prabowo , editor salah satu stasiun TV yang meninggal karena bunuh diri. Raut duka masih terpancar dari wajah Suwandi saat melayani wawancara sebuah stasiun TV pada Sabtu (25/7) itu. Suwandi tidak percaya anaknya bunuh diri akibat depresi karena tidak menunjukkan tanda-tanda ada tekanan mental.
Penyebab kematian Yodi memang sempat menjadi teka-teki selama dua pekan. Namun semua itu terjawab setelah polisi mengungkap bahwa pemuda tersebut tidak dibunuh, melainkan bunuh diri dengan menusuk dirinya dengan pisau yang ia beli sendiri. Motivasi bunuh diri diduga karena depresi .
Kasus Yodi Prabowo mengonfirmasi bahaya depresi yang bisa berujung kematian dengan cara bunuh diri. Kasus depresi dan kesehatan mental lain perlu diberi perhatian lebih demi mencegah jatuhnya korban bunuh diri berikutnya. Pentingnya kampanye kesehatan mental kian relevan seiring pandemi corona (Covid-19) yang membuat tekanan yang dipikul seseorang bisa menjadi lebih berat. (Baca: Psikolog: Kematian Yogi Prabowo Mirip Kasus Vokalis Linkin Park)
Hubungan antara kesehatan mental dan pandemi ini telah dikonfirmasi oleh WHO. Pada Mei 2020 organisasi kesehatan dunia itu melaporkan ke Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan krisis kesehatan mental yang membayangi negara-negara di dunia akibat Covid-19. Peringatan WHO ini dinilai penting menjadi kepedulian negara-negara yang selama ini perhatiannya terhadap kesehatan mental masih minim, termasuk Indonesia.
Karena itu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk fokus terhadap masalah tersebut. Negara perlu lebih giat melakukan upaya, terutama tindakan preventif dan promotif, agar penderita gangguan kejiwaan bisa terhindar dari hal buruk.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJ) DKI Jakarta Nova Riyanti Yusuf menyebut Indonesia termasuk negara yang belum mengarusutamakan kesehatan jiwa. “Ya, mau gimana lagi, kita juga sama termasuk yang enggak (perhatian),” kata Nova saat dihubungi kemarin.
Di masa pandemi ini, menurut Nova, perhatian terhadap kondisi kesehatan mental masyarakat makin penting. Dia memaparkan fakta betapa tingginya pengaruh pandemi tersebut terhadap kesehatan mental masyarakat. Menurutnya PDSKJI pernah membuka layanan swaperiksa untuk masyarakat.
Hingga 14 Mei lalu ada 2.364 responden dari 34 provinsi. Sekitar 72% peserta swaperiksa ini perempuan. Dari situ ketahuan peserta yang mengalami masalah psikologi sebanyak 69%. Perinciannya 68% cemas, 67% depresi, dan 77% trauma psikologis di masa Covid-19. (Baca juga: Kenapa Yodi Prabowo Bunuh Diri di Tempat Terpencil)
Nova menyebut, jika peserta lebih banyak yang terlibat, bisa jadi temuan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) juga lebih besar. “Harapannya, kalau ODMK ini ditangani segera, mereka tidak sampai menjadi ODGJ atau orang dengan gangguan jiwa,” papar mantan anggota DPR itu.
Untuk meringankan tekanan mental di masa pandemi, Nova menyampaikan sejumlah cara. Di antaranya secara spiritual mendekatkan diri kepada Tuhan, melakukan meditasi atau yoga, memperbanyak komunikasi dengan orang lain lewat media sosial (medsos) atau melalui layanan pesan.
Dengan cara itu akan terbangun ketahanan emosional yang baik. “Terbangun emotional resilience atau kemampuan untuk melampaui kondisi-kondisi tidak beruntung seperti bencana, masalah keluarga, pekerjaan, masalah dengan sekolah, dan sebagainya,” urai Nova.
Kesadaran masyarakat untuk membantu orang yang mengalami gangguan kesehatan mental di Indonesia masih rendah. Tidak sedikit yang menuding orang yang sedang stres atau depresi sebagai pribadi yang lebay atau lemah. Padahal, depresi merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada otak.
Dalam kasus kematian Yodi Prabowo, ada tanda-tanda yang dinilai bahwa pemuda itu sedang menyiapkan aksi nekat mengakhiri hidup. Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, ada dua indikasi yang sebangun dengan temuan polisi bahwa Yodi bunuh diri. Pertama, cuplikan kesaksian bahwa Yodi berkata, "...kalau nanti aku enggak ada, kamu sedih enggak?" Menurut Reza, awam barangkali menganggap sepele perkataan semacam itu. Tapi dari perspektif psikologi, kalimat tersebut merupakan pertanda depresi ataupun depresi reaktif (depresi situasional).
Disebut depresi ketika tekanan berlangsung dalam waktu panjang sehingga terjadi penumpukan tekanan batin. Sementara itu depresi reaktif terjadi ketika individu berhadapan dengan trauma spesifik dan berlangsung dalam kurun lebih singkat. Apabila tidak segera diatasi, depresi reaktif tentu berpeluang memburuk menjadi depresi klinis.
“Perkataan korban, seperti yang diucapkan ulang oleh saksi, mengandung pemikiran tentang bunuh diri. Pemikiran semacam ini sama sekali tidak boleh dianggap enteng,” ujarnya saat dihubungi.
Menurut Reza, simpulan WHO menyebutkan bahwa sekitar 60% kasus bunuh diri memiliki transisi dalam bentuk pemikiran tentang bunuh diri menuju ke rencana bunuh diri, lalu berlanjut ke langkah bunuh diri. Itu berlangsung dalam kurun 12 bulan sejak pemikiran muncul untuk pertama kalinya.
Masyarakat menurut dia perlu lebih serius menyikapi perkataan tentang bunuh diri yang dikemukakan siapa pun. Perlakuannya sama ketika otoritas penerbangan tidak menoleransi ucapan "bom". “Ekspresi semacam itu patut ditafsirkan sebagai permintaan tolong sehingga pendengarnya perlu menyemangati orang-orang dengan suicidal ideation untuk selekasnya mencari bantuan medis dan psikis,” tandasnya.
Pendiri Yayasan Sehat Mental Indonesia (YSMI) Rama Giovani menegaskan, anggapan bahwa depresi karena seseorang itu lemah adalah keliru. (Baca juga: Mesir Terima LIma Jet Tempur Rusia Sukhoi Su-35 Meski AS Marah)
“Sebagian orang belum menganggap depresi sebagai hal serius sehingga kerap menganggap penderita lebay dan sekadar menyarankan agar lebih banyak beribadah,” ujar dokter spesialis kesehatan jiwa ini saat dihubungi kemarin.
Padahal, kata dia, seharusnya ketika di lingkungan sekitar ada orang yang menunjukkan tanda-tanda depresi berupa gangguan perilaku atau emosi, seharusnya diberi dukungan.
“Bukan justru menganggapnya lemah, tapi harus di-support. Kalau perlu sarankan dia ke ahli karena masalah mental itu memang ada yang harus ditangani oleh orang profesional,” ujarnya.
Kesehatan mental seseorang terganggu bisa disebabkan banyak faktor, antara lain biologis, psikologis, sosial, kultural, maupun spiritual. “Banyak yang bisa jadi pemicunya, kompleks. Bahkan gangguan mental bisa terjadi sejak dari janin karena saat hamil ibu sedang ada masalah,” ujarnya.
Rama mendukung agar kampanye kesehatan mental untuk mencegah depresi terus dilakukan. Apalagi masih banyak orang yang belum paham tentang bahaya depresi. Memang dia mengakui saat ini kampanye kesehatan mental sudah lebih baik dibanding 10 tahun lalu karena ada platform media sosial yang menyediakan banyak informasi. (Baca juga: Sambangi Muhammadiyah, Nadiem Makarim Bungkam)
“Tapi perlu terus memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa depresi itu riil ada, enggak bohong. Itu bukan hanya karena kelemahan iman. Kalau ada indikasi gangguan emosi, tolong datang ke profesional,” tandasnya.
Persoalan Regulasi
Di tengah situasi sulit akibat pandemi, pemerintah diminta lebih memperhatikan kesehatan mental masyarakat. Nova Riyanti Yusuf mengatakan, masalah kesehatan mental belum menjadi prioritas pemerintah. Alasannya hingga hari ini belum ada peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa). Selain itu dari sisi anggaran juga masih kecil. Meskipun anggaran naik menjadi Rp45 miliar dari sebelumnya Rp9,5 miliar, hal itu dialokasikan untuk IPWL (instansi penerima wajib lapor) terkait kasus narkotika.
“Nah, anggarannya harus dinaikkan untuk kegiatan promotif, preventif. Kalau yang kuratif nggak masalah, tingkatkan saja,” ujarnya.
Tindakan preventif gangguan kesehatan mental bisa dilakukan dengan memperkuat telemedicine yang ada. Menurut dia, masyarakat yang berkonsultasi lewat Sehatpedia saat ini memang gratis, namun psikiater yang mendampinginya harus tetap dibayar agar mereka memberikan jasanya tidak asal-asalan. Pemerintah, menurut Nova, harus menyiapkan infrastruktur untuk menghadapi arus masalah kejiwaan yang akan muncul di masa depan. “Jadi enggak cuma kesiapan tenaga kesehatan jiwanya, tapi juga teknologinya. Misalnya mau pakai telemedicine harus disiapin dong. Anggarannya jangan sekecil itu,” ujarnya. (Baca juga: Indonesia-Turki Coba Kerjasama di Bidang Penerbangan dan Antariksa)
Menanggapi tudingan pemerintah masih abai pada kesehatan mental warganya, pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membantah. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Fidiansjah mengatakan sudah ada beberapa peraturan turunan UU Keswa yang dibuat.
“Memang belum semua, tapi kalau dikatakan belum ada, salah. Turunan berupa peraturan narkotika sudah ada, aturan turunan tentang orang dengan gangguan jiwa juga ada,” ucapnya saat dihubungi.
Dia menegaskan, sejumlah indikator menunjukkan pemerintah sangat member perhatian terhadap kesehatan mental masyarakat. Salah satunya orang dengan gangguan jiwa berat harus diobati sesuai dengan standar. Setiap provinsi dan kabupaten/kota disebutnya harus menyiapkan standar pelayanan orang dengan gangguan jiwa. “Apa kurangnya pemerintah?” kata dia.
Di masa pandemi ini pun regulasi disiapkan. Di antaranya menyusun buku pedoman dukungan pedoman kesehatan jiwa dan psikososial. Pihaknya juga menyiapkan buku untuk AKB (adaptasi kebiasaan baru) sehingga akan ada revisi buku kedua tentang bagaimana menyiapkan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial pada tatanan baru.
Kemenkes juga menyiapkan hotline 119 dengan ekstensi 8 khusus untuk kesehatan jiwa yang bisa dihubungi setiap saat. Kemenkes juga memiliki banyak perkumpulan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap kesehatan jiwa.
“Ada banyak, ada perhimpunan skizofrenia, ada perhimpunan bipolar, ada perhimpunan autis, ada perhimpunan orang untuk tercegah bunuh diri,” ujarnya. (Lihat videonya: Akibat hubungan Arus Pendek Listrik, Gudang Penyimpanan Beras Terbakar)
Fidiansjah juga mengajak masyarakat untuk sadar bahwa jiwa adalah bagian integral manusia. Jiwa perlu sehat sebagaimana fisik manusia. Dia meminta agar upaya mencari pertolongan mental sebagai upaya promotif preventif kesehatan jiwa dibudayakan. Terhadap gangguan kesehatan fisik masyarakat disebutnya sudah semakin sadar, tetapi belum untuk kesehatan jiwa.
“Puskesmas merupakan tempat yang tepat dijadikan upaya preventif promotif terhadap kesehatan jiwa sebelum terlambat, karena kalau sudah masuk rumah sakit jiwa itu sudah terlambat,” tandasnya. (Kiswondari/Bakti)
(ysw)