Bacaan dan Tempat

Sabtu, 15 Juli 2023 - 07:32 WIB
Di novel dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Matilda (1993), Troald Dahl sedang melakukan “penghasutan terindah” agar bocah-bocah suka ke perpustakaan. Ia menjadikan Matilda sebagai panutan:

“Pada hari ketika ayahnya menolak membelikan buku, sorenya Matilda pergi berjalan kaki seorang diri ke perpustakaan umum di desanya. Setibanya di sana, ia memperkenalkan diri kepada Mrs Phelps, wanita yang mengurus perpustakaan itu. Matilda bertanya, apakah ia diperbolehkan duduk sebentar untuk membaca buku di situ….” Ia tak diantar bapak atau ibu. Keberanian bagi bocah bernafsu buku.

Ia ketagihan buku. Ia betah di perpustakaan. Rold Dahl mengisahkan: “Berjalan kaki dari rumah ke perpustakaan hanya makan waktu sepuluh menit. Jadi ada waktu dua jam baginya untuk duduk dengan asyik di sebuah sudut yang nyaman, membaca buku demi buku. Ketika semua buku anak-anak yang ada di situ sudah habis dibaca, Matilda mulai berkeliaran mencari buku bacaan yang lain.”

Nasib berbeda dengan Neil Gaiman. Matilda rakus buku di perpustakaan. Ia pun sosok bermasalah di rumah dan sekolah. Buku membuat ia girang dan “mengurangi” petaka-petaka di hadapan kaum bebal dan kaum marah.

baca juga: Seribu Cinta, Seribu Buku, MNC Peduli dan Sekolah Regina Pacis Jakarta Gelar Donasi Buku

Neil Gaiman (saat bocah) dan Matilda membaca buku-buku edisi cetak. Di tangan, pangkuan, atau meja, buku itu kertas-kertas dijilid. Kenikmatan membaca buku sambil memberi amatan atas penampilan buku.

Julian Baggini memberi kabar terbaru: “Memilih buku untuk dibawa berlibur jadi makin sulit beberapa tahun belakangan. Sekarang pertanyaannya bukan cuma apa yang mau dibaca, tapi bagaimana membacanya–di kertas, tablet, e-reader, atau malah handphone–dan tiap orang punya pendirian soal mana yang terbaik.”

Roald Dahl tak pernah memunculkan adegan Matilda membaca buku di tablet. Bocah itu bersama buku-buku di rak. Pada saat membaca, ia berhadapan kertas. Kini, masalah buku makin dipermasalahkan dengan ribut-ribut dan argumentasi-argumentasi mudah patah gara-gara kertas dan elektronik.

Kita merindu menjadi Neil Gaiman atau Matilda. Zaman sudah berubah. Posisi diri di rumah atau perpustakaan tak lagi harus dipikirkan seperti masa lalu. Buku-buku tak selalu di rak atau lemari. Katalog tak cuma di kartu-kartu. Tubuh sedang membaca tanpa kewajiban di tangan tampak buku.

baca juga: Membaca Buku Dunia dan Indonesia

Kita bertambah masalah bila membuka buku berjudul 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad 21 (2018) garapan Yuval Noah Harari. Ia bercerita bukan sebagai pengunjung perpustakaan atau pembaca buku di rumah. Cerita cukup mengejutkan sebagai penulis buku: “Ketika saya menerbitkan buku, penerbit meminta saya untuk menulis deskripsi singkat yang mereka gunakan untuk publikasi daring. Tetapi, mereka memilih pakar khusus, yang menyesuaikan apa yang saya tulis dengan selera algoritma Google .”

Kita sedang mendapat pengakuan tentang penulisan dan penerbitan buku tak lagi sama dengan puluhan tahun lalu. Yuval tetap memastikan buku-buku itu mendapat pembeli dibawa masuk rumah dan perpustakaan. Wujud buku pun bukan sekadar edisi kertas. Begitu.

Judul : Kenapa Masa Depan Kita Bergantung pada Perpustakaan,

Membaca, dan Melamun?

Penulis : Neil Gaiman, Julian Baggini, Maggie Gram

Penerjemah : Ageng Indra

Penerbit : Pojok Cerpen dan Tanda Baca

Cetak : II, 2023

Tebal : 58 halaman
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More